Samarinda - Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) kini tengah menjadi sorotan. Kurikulum PAUD telah direvisi, diselaraskan dengan kurikulum merdeka belajar yang juga diberlakukan di jenjang pendidikan sekolah maupun perguruan tinggi. Dalam acara pengukuhan Bunda PAUD dan Pokja Bunda PAUD pada 29 Mei 2023 lalu, Walikota Balikpapan, Rahmad Mas’ud menyampaikan bahwa Bunda PAUD memiliki peran strategis dalam membantu, medampingi, serta terlibat dalam mewujudkan institusi PAUD berkualitas. Menurutnya, Bunda PAUD adalah lokomotif untuk mendorong segenap elemen masyarakat di kecamatan maupun kelurahan untuk mengembangkan pendidikan anak usia dini. Rahmad mengharapkan Bunda PAUD bisa mengembangkan pendidikan melalui satuan PAUD di Kota Balikpapan, untuk membentuk insan, serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan berkarakter, dengan berlandaskan gotong royong (tribunkaltim.com, 29/05/2023).
Bunda PAUD Kaltim, Hj Erni Makmur Hadi Mulyadi juga menghadiri kegiatan Komitmen Bersama Bunda PAUD Mendukung Gerakan Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan di Jakarta pada 7 Juni 2023 lalu. Kegiatan ini digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan dihadiri oleh Mendikbudristek, Nadiem Makarim. Nadiem menyampaikan bahwa kegiatan ini adalah cerminan semangat utama merdeka belajar yang sangat dijunjung tinggi. Kunci kesuksesan merdeka belajar adalah kolaborasi dan gotong royong. Menindaklanjuti hal itu, Hj Erni mengajak semua untuk menjaga hak anak dengan memberikan dukungan penuh pada gerakan transisi PAUD ke SD yang menyenangkan (kaltimprov.go.id, 7/06/2023).
Kolaborasi Merdeka Belajar dan Moderasi Pendidikan
Kurikulum merdeka belajar memang sedang digalakkan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi. Seperti yang disampaikan oleh Mendikbudristek dan Walikota Balikpapan, prinsip dari merdeka belajar ini adalah kolaborasi dan gotong royong. Artinya, tanggungjawab pendidikan tidak hanya dipegang oleh negara, melainkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari sekolah, guru, wali murid, hingga masyarakat sekitar dalam lingkup kecamatan dan kelurahan masing-masing.
Dalam kurikulum baru PAUD, disematkan capaian pembelajaran elemen jati diri yang salah satu poin capaiannya adalah agar anak menunjukkan perasaan bangga terhadap identitas keluarganya, latar belakang budayanya, dan jati dirinya sebagai anak Indonesia yang berlandaskan pancasila. Anak akan dibiasakan untuk menghargai, menghormati, dan memahami bahwa ada orang lain yang memiliki identitas berbeda.
Juga terdapat projek penguatan profil pelajar pancasila, di mana peserta didik akan diarahkan untuk menjadikan pancasila sebagai pegangan hidup. Pancasila tidak hanya dipelajari sebagai konteks, tapi sampai pada bagaimana pengaplikasiannya dalam kehidupan yang nyata.
Sekilas pandang memang tidak ada yang salah, tapi sayangnya fakta menunjukkan hal yang berbeda. Makna menghargai orang lain atau menghargai perbedaan atau biasa disebut toleransi, sering dikaburkan.
Tidak jarang kita temui kasus toleransi menyasar dan menyudutkan umat Islam. Kepada pemeluk agama lain atau kebudayaan daerah, umat Islam diharuskan menghormati, menerima, bahkan diperbolehkan ikut serta dalam kegiatannya. Padahal jika kita pelajari banyak sekali ritual kebudayaan daerah ataupun perayaan umat non muslim yang tidak boleh diikuti oleh kaum muslim.
Sebaliknya, jika ada umat Islam yang ‘keukeuh’ pada aturan agama, tidak mau mengikuti perayaan atau ritual yang bertentangan dengan Islam, maka akan dianggap intoleran bahkan radikal.
Tantangan pendidikan pada anak usia dini sekarang ini sebenarnya tidak hanya soal kolaborasi ataupun toleransi. Dari segi kesadaran orang tua misalnya, saat ini banyak orang tua yang tidak sadar bahwa tanggung jawab pendidikan anak adalah di tangan orang tua. Kebanyakan dari mereka merasa tidak mampu mendidik dan tidak bisa menjadi teladan untuk anaknya, sehingga menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada lembaga pendidikan.
Di sisi lain, kondisi hidup saat ini yang serba sulit, menjadikan beban hidup semakin berat, sehingga ibu harus ikut bekerja. Kesibukan bekerja inilah yang sering kali membuat ibu tidak fokus menjalankan perannya sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya. Ditambah lagi, sistem pendidikan saat ini tidak fokus pada akidah Islam, sehingga para pelajar lemah keimanannya, hal ini lah yang membuat banyak sekali kasus pelajar yang dengan mudah melakukan berbagai kemaksiatan dan tindak kriminal.
Semua ini terjadi, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan sistem yang diterapkan saat ini yakni sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini telah menjauhkan peran agama dalam kehidupan. Walhasil, pendidikan pun dibangun atas asas sekuler, mulai PAUD hingga perguruan tinggi. Maka wajar, capaiannya pun hanya bernilai materi semata.
Termasuk, para ibu yang turut menanggung ekonomi keluarga yang semakin berat sehingga abai dengan pendidikan utama anak-anaknya, karena negara dengan sistem kapitalismenya telah gagal menyejahterakan rakyatnya. Angka kemiskinan terus meroket, sementara pengurusan negara semakin berkurang. Berbagai subsidi negara telah banyak dilepaskan dari rakyat. Maka wajar harga-harga semakin mahal dan rakyat tidak mampu menjangkaunya.
Oleh karena itu, butuh peran negara agar ibu dan ayah bisa menjalankan perannya secara optimal. Ibu bisa menjadi ‘ummu wa madrosatul ula’ bagi anak-anaknya, dan ayah bisa optimal mencari nafkah, dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para ayah. Begitu pula dalam mengganti sistem pendidikan tentu butuh peran besar negara.
Pendidikan PAUD dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, pendidikan harus berlandaskan akidah Islam. Khusus pada pendidikan anak usia dini difokuskan kepada pembentukan akidah Islam. Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa anak dalah amanah yang Allah titipkan kepada orang tua, sehingga orang tua harus mendidiknya sesuai dengan tujuan penciptaan yang telah Allah tetapkan. Yaitu, yang terdapat dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (TQS. Adz-Dzariyat: 56)
dan surat Al-Baqarah ayat 30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (TQS. Al-Baqarah: 30)
Berdasarkan hal ini, untuk membentuk anak menjadi seorang hamba yang senantiasa beribadah kepada Allah dan menjadi khalifah atau pemimpin, maka pada anak usia dini yang pertama kali harus dilakukan adalah membangun akidah Islam. Dengan cara mengenalkan kepada agama Islam dan mengenalkan Allah dengan cara yang menyenangkan seperti bersyukur atas pemberian Allah atau mengagumi ciptaan-Nya. Tidak perlu mengenalkan pemahaman, kebudayaan, ataupun keyakinan yang bertentangan dengan Islam.
Adapun sebagai seorang muslim yang hidup dalam sistem kapitalisme sekarang, maka kita wajib mempelajari Islam, agar memahami pandangan Islam tentang pendidikan. Sehingga tidak salah langkah dalam memberikan pendidikan pada anak-anak kita. Kedua, harus senantiasa berusaha ‘iltizam bil hukmi syar’i’ atau terikat dengan hukum syara’, agar kita tidak mudah terbawa arus yang semakin menjauhkan kita dari Islam. Ketiga, berusaha melakukan perubahan sistem yang tidak sesuai dengan Islam melalui dakwah penyebaran pemahaman Islam.
Wallahu a’lam…...
Oleh: Ns. Rizqa Fadlilah, S.Kep (Pemerhati Masalah Sosial)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru