SAMARINDA- Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) cabang Samarinda untuk kedua kalinya menggelar aksi depan Kantor Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Jalan M Yamin, Kamis (5/12/2019).
Kali ini Permahi Samarinda membawa empat tuntutan, diantaranya meminta Ketua PN Samarinda mundur dari jabatan karena dinilai gagal menjalankan amanat UU nomor 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Tuntutan lain, Permahi juga meminta pecat oknum hakim yang tidak menjalankan perintah UU 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Permahi juga meminta Ketua PN Samarinda memberikan klarifikasi dan permohonan maaf atas tudingan aksi Permahi sebelumnya disponsori.
Tuntutan terakhir, Permahi meminta kepada Presiden Joko Widodo mengusut tuntas mafia hukum dan mafia tanah di Indonesia secara umum dan Kaltim, Samarinda secara khusus.
Dalam aksinya, mahasiswa secara bergantian melakukan orasi. Mereka membawa spanduk berisi empat tuntutan dan poster-poster bertuliskan “ Ada duit kasus jalan” ; “Maaf jalan anda terganggu, keadilan dikorupsi” hingga beberapa poster lainnya.
Massa juga membakar ban hingga kobaran api menjulang tinggi.
Pengeras suara (Soundsystem) disusun diatas mobil pikap. Koordinator aksi memegang megafon bersuara lancang.
Aksi berlangsung kurang lebih 2 jam dimulai sekitar pukul 11.00 wita.
Pantauan lokasi, lalu lintas disepanjang Jalan M Yamin sempat terganggu. Petugas polisi terlihat sibuk mengatur lalu lintas pengendara.
Dedi Dores Ketua Permahi Samarinda, menjelaskan sudah 74 tahun bangsa ini merdeka, dan cita-cita pencetus bangsa ini menjadikan supermasi hukum yang berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Namun atas ulah oknum-oknum mafia hukum menjadikan kekuasaan jadi kesewenangan-wenangan.
“Siapa yang memiliki modal dia akan menang di hadapan hukum. Termasuk merampas hak-hak rakyat kecil atas ketidaktahuan hukum. Tidak mesti dia harus dikriminalisasi secara brutal dan hal itu telah terjadi kepada saudara kita Achmad AR AMJ masyarakat sipil di Kota Samarinda,” jelas Dedi.
Dalam kasus Achmad yang divonis 2 tahun penjara karena kasus pemalsuan tanda tangan adalah kasus yang dipaksakan.
“Kami melihatnya terkesan sangat di paksakan sehingga ada aroma ketidakadilan,” ungkap Dedi.
Karena itu, Permahi Samarinda mengharuskan lembaga Peradilan haruslah independen dan para manjelis hakim tidak berpihak karena sejatinya hakim sebagai tangan tuhan di dunia ini untuk memutus suatu perkara.
“Biarlah hitam tetap hitam, yang putih akan tetap putih,” Dedi mengakhiri.
Humas PN Samarinda, Abdul Rahman Karim angkat bicara menanggapi aksi Permahi.
Dia mengatakan permintaan Ketua PN Samarinda mundur dari jabatannya itu tak bisa diwujudkan, karena posisi tersebut bukan jabatan politik.
“Pemilihannya melalui serangkaian tes hingga tak bisa sembarangan menduduki posisi ketua itu,” terangnya.
Kemudian, soal tuntutan lain, Abdul Karim meminta jika para pihak yang berperkara tak puas dengan putusan hakim, maka silahkan menempuh jalur hukum.
“Kalau tidak puas silahkan banding. Jangan sampai kita teriak menegakan hukum, tapi justru melanggar hukum,” ungkapnya.
Soal tuntutan pecat oknum hakim, Abdul Karim mengatakan hakim punya kode etik. Jika dinilai bersalah atau melanggar kode etik, maka silahkan lapor ke lembaga pengawas kehakiman.
“Kan ada jalur pengaduan, bisa melapor ke Badan Pengawas Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial,” tutupnya.
(*)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru