Cengkraman penjajahan asing makin terasa sejak Pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Selain belum mampu membangkitkan perekonomian nasional, sejumlah paket kebijakan justru menjerumuskan Indonesia makin dalam pada jurang ekonomi liberal.
Melalui paket kebijakan ekonomi jilid X Pemerintah sudah mengizinkan pihak asing menguasai berbagai sektor usaha di tanah air. Ada 35 sektor usaha yang boleh dimiliki asing yang sebelumnya masuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Bahkan beberapa di antaranya boleh dikuasai hingga 100 persen, seperti sektor karet, gula, jalan tol, bahan baku obat dan lemari pendingin penyimpan ikan atau cold storage.
Banyak kalangan menilai kebijakan ini bagian dari liberalisasi ekonomi yang sangat pro asing. Dengan penyerahan sejumlah garapan untuk dikuasai pihak asing tentu akan menyulitkan dalam hal pengendalian (kontrol) serta berpotensi mematikan perekonomian dalam negeri.
Sangat jelas, paket ekonomi dan berbagai kebijakan Pemerintah justru menjadi karpet merah untuk kaum kapitalis asing-aseng. Asing juga semakin menguasai Indonesia akibat terus membengkaknya utang luar negeri. Seperti yang diberitakan Jakarta, CNN Indonesia-Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negri (ULN) Indonesia pada kuartal pertama tahun ini mencapai US$ 387,5 Miliar atau sekitar Rp 5.425 triliun (kurs Rp 14 Ribu per dolar AS). Angka tersebut naik 8,7 persen dibanding periode yang sama tahun lalu US$ 330,04 miliar. Selasa(15/5). Untuk jumlah utang Indonesia ke China terus meningkat sejak 2015 atau setelah Presiden Joko Widodo memimpin.
Berdasarkan data yang dirilis situs Bank Indonesia tercatat pada Juli, jumlah utang ke Negeri Tirai Bambu pada Mei 2017 sebesar 15,491 miliar dollar AS atau sekitar Rp 206 triliun. Peningkatan jumlah utang ke China sejalan dengan naiknya utang Indonesia. Secara total utang luar negeri Indonesia pada Mei 2017 tercatat 333,6 miliar dollar AS tumbuh sebesar 5,5 persen.
Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan perwakilan PGI, Senin (31/7) meminta masyarakat tak khawatir dengan kondisi utang dalam negeri. Peningkatan jumlah utang tak lepas dari keputusan pemerintah untuk membangun infrastruktur. ”Oleh karena keterbatasan APBN terserap banyak untuk membayar bunga utang, maka mau tidak mau pemerintah harus menempuh investasi. Dan itu berarti menambah ini semua,” jelas Sekretaris Utama PGI, pendeta Gomar Gultom di Kompleks Istana Kepresidenan (republika.co.id, Jakarta, Senin (31/7))
Pemerintahan Jokowi yang terlalu sering berutang dikhawatirkan oleh banyak kalangan akan memberikan celah bagi penguasaan aset-aset BUMN oleh pihak asing-aseng. Pemberian utang oleh China kepada Indonesia tentu tidak gratis. Pasalnya selain harus membayar bunga, utang tersebut juga mensyaratkan berbagai hal. Di antara syaratnya Pemerintah menyetujui masuknya pekerja China sebagai bagian dari syarat investasi dari pinjaman pemerintah kepada China dan diisyaratkan bahwa BUMN Indonesia yang menggarap proyek-proyek tersebut harus bekerjasama dengan BUMN milik China.
Jelas sudah bahaya yang mengancam negeri ini. Faktanya, saat ini pendatang China terus meningkat, sebagian adalah pendatang illegal. Semua pendatang illegal tersebut tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Padahal menurut Badan Pusat Statistika (BPS) tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2017 lalu pengangguran naik menjadi 7,04 juta jiwa, dari yang sebelumnya hanya 7,03 juta jiwa di bulan Agustus 2016.
Dengan adanya serbuan tenaga kerja China itu maka persoalan pengangguran akan semakin parah. Tentu karena para pencari kerja di negeri ini harus bersaing dengan para pekerja luar negeri, terutama dari China tersebut. Tentu ini adalah ancaman nyata. Sebetulnya, masih banyak masalah yang dihadapi negeri ini. Contohnya adalah masalah minimnya pemasukan negara, melebarnya defisit anggaran, ketergantungan pada impor, gejolak harga yang belum bisa dikendalikan, masih lemahnya pemberantasan korupsi dan seabrek masalah lainnya. Dan semua permasalahan ini harus dihadapi oleh rakyat negeri ini.
Tak dapat disangkal, bahwa semua persoalan yang ada tersebut adalah buah dari leluasanya kaum kapitalis dan imperialis (penjajahan) menancapkan pengaruhnya disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tidak memperdulikan syariat Allah SWT, sehingga rakyatlah yang harus menerima getirnya kehidupan ini. Padahal Allah telah memperingatkan kita dalam firmannya “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-ku sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (TQS Thaha (20):124).” Dan Rasulullah SAW juga telah mengingatkan para penguasa yang menipu rakyatnya dengan ancaman yang keras “ tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sementar dia dalam keadaan menipu (menghianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Al Bukhari dan Muslim).
Kerusakan dan penderitaan yang terjadi pada masyarakat Indonesian tentu bukan hanya karena para pemimpin yang tidak amanah, tetapi karena Pemerintah berkiblat pada kapitalisme-liberalisme dalam penerapan kebijakan publiknya. Hal yang bathil inilah penyebab utama rakyat Indonesia semakin menderita, ibarat kata pepatah “bak ayam mati di lumbung padi”.
Dimana seharusnya tugas dan peran penguasa dalam Islam adalah melakukan ri’ayah asy-sy’un al-ummah (mengelola urusan umat). Negara tidak boleh menyerahkan aset-aset negeri kepada asing maupun aseng yang menyebabkan mereka menjajah umat. Negara pun tidak boleh melakukan transaksi utang-piutang dengan praktik ribawi yang sangat merugikan umat baik kerugian secara substansial, maupun hilangnya ridho dan berkah Allah SWT. “Pemimpin yang memimpin masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya,” (HR al- Bukhari dan Muslim).
Penerapan ekonomi syariah dalam mengelola kekayaan dan perekonomian negara juga akan bisa menyediakan sumber dana yang dibutuhkan untuk pembangunan, termaksud pembangunan infrastruktur. Utang dengan bunga (riba) apalagi dari asing juga tidak akan bisa masuk sebab hal itu diharamkan oleh agama. Dengan itu semua dampak buruk akibat utang termaksuk serbuan tenaga asing dan intervensi asing bisa dihilangkan.
Kemandirian dalam negeri pun bisa diwujudkan sebab liberalisasi yang menyebabkan ketergantungan tidak akan terjadi. Sudah seharusnya segala hal yang bertentangan dengan syar’i harus dicampakkan, segeralah kembali pada aturan Islam. Karena hanya Islamlah satu-satunya aturan yang dapat menyelamatkan negeri ini. Dimana Islam akan membangun kemandirian umat dan menciptakan ekonomi yang berkeadilan serta penuh berkah dari Allah SWT, karena semua dibangun semata-mata di atas dasar ketakwaan. Wallahua’lam. (*Red/dr)
Ratna Munjiah (Pemerhati Sosial Masyarakat)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru