Samarinda - Saat ini Indonesia tengah menghadapi situasi “Darurat Seks Bebas” Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebut, hubungan seks luar nikah remaja 15-19 tahun mengalami peningkatan. Kasus pada perempuan usia 15-19 tahun sebanyak 59%, sedangkan pada laki-laki 74%.
Salah satu dampak seks bebas adalah hamil di luar nikah. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, pada 2023, 80% dispensasi nikah karena faktor hamil di luar nikah. Sejak 2016 dispensasi nikah meningkat tujuh kali lipat. Data Pengadilan Agama pada 2022 menunjukkan bahwa dispensasi nikah yang dikabulkan hakim mencapai 52.338 dengan angka tertinggi berasal dari Jawa Timur, yakni sebanyak 29,4% atau 15 ribu. Kita tentu masih ingat, pada 2023, sebanyak 191 pelajar di Ponorogo meminta dispensasi nikah dini karena hamil di luar nikah. Fakta yang sama terjadi di daerah lainnya. Meskipun berdasarkan data BPS dalam kurun waktu 10 tahun terakhir persentase pemuda yang berstatus kawin semakin menurun sedangkan pemuda yang belum kawin semakin meningkat.
Dikutip dari detikHealth, Kepala BKKBN dr Hasto Wardoyo mengatakan, tren pernikahan atau menikah dini di Indonesia turun dalam 10 tahun terakhir. Dari semua 40 orang per 1.000 penduduk, kini berada di angka 26 per 1.000 penduduk. Dari usia, pergeseran rata-rata pernikahan perempuan dilaporkan mundur setiap tahun. Hasto menyebut dari semula berada di bawah 20 tahun, kini rata-rata perempuan menikah saat berusia 22 tahun. Namun kabar buruknya tren hubungan seksual remaja di luar nikah justru meningkat.
Penguasa negeri ini sebenarnya sudah memahami bahwa kondisi generasi kita sedang tidak baik-baik saja dan telah berupaya menyelesaikan persoalan generasi ini dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, salah satunya dalah dikeluarkannya PP No 28 Tahun 2024 pada akhir bulan Juli 2024. Namun sayangnya kebijakan pemerintah ini sangat kental dengan mindset liberalisme dan sekulerisme, alih- alih menyelamatkan generasi dari keruskan akibat seks bebas yang terjadi justru sebaliknya pemerintah seolah sengaja mendorong generasi muda masuk ke dalam jurang kenistaan.
Disisi lain kuatnya sekulerisme menjadikan rezim yang berkuasa saat ini bersikap “tidak ramah” terhadap agama (khususnya Islam) generasi muda yang menunjukan identitas Islam sebagai bentuk ketaatan terhadap agama dianggap intoleran dan radikal. Rezim sengaja mengeluarkan kebijakan yang membatasi bahkan melarang penggunaan symbol- symbol agama dengan alasan moderasi beragama. Masih segar dalam ingatan kita dikeluarkannya keputusan BPIP no 30 tahun 2024 yang berisi tentang Pakaian, atribut dan tampang muka pasukan pengibar bendera dalam peringatan HUT RI ke 79, yang menjadi pangkal pelarangan penggunaan jilbab bagi Muslimah yang menjadi pasukan pengibar bendera.
Liberalisme dan Moderasi Penyebab Persoalan Generasi
Maraknya perilaku perzinaan tidak lepas dari kuatnya pengaruh paham liberal. Dr. Sulaiman al Khurasyi mengatakan, “Liberalisme adalah aliran pemikiran yang berorientasi kepada kebebasan individu, berpandangan wajibnya menghormati kemerdekaan setiap orang, meyakini bahwa tugas pokok negara adalah melindungi kebebasan warganya seperti kebebasan berpikir dan berekspresi, kepemilikan swasta dan yang lainnya. Aliran pemikiran ini membatasi peran penguasa dan menjauhkan pemerintah dari kegiatan pasar. Aliran ini juga dibangun diatas prinsip sekuler yang mengagungkan kemanusiaan dan berpandangan bahwa manusia dapat dengan sendirinya mengetahui segala kebutuhan hidupnya.
Paham liberal kemudian disebarluaskan oleh Barat ke negeri- negeri kaum muslimin melalui kekuatan politik ekonomi dan media yang mereka miliki. Tidak hanya liberalisme Barat juga menyebarluaskan ide pluralisme, yang dimanifesstasikan dalam bentuk moderasi beragama.
Adapun konsep moderasi beragama adalah amunisi dan alternative kebijakan Pemerintah dalam menanggulangi paham keagamaan yang ekstrem. Paham keagamaan moderat dianggap mampu menanggulangi penyebaran ideologi radikalisme. Seperti halnya liberalisme, moderasi beragama juga lahir dari sekulerisme. Perbedaannya jika liberalisme lahir pada abad pertengahan moderasi beragama lahir pasca peristiwa 9/11.
Narasi moderasi beragama adalah bagian dari proyek deradikalisasi. Peristiwa runtuhnya WTC di New York City Amerika pada 11 September 2001 selalu dijadikan argumen program deradikalisasi. Pasca runtuhnya WTC, Presiden Amerika menyerukan: bersama Amerika atau bersama terorisme. Program war on terrorism dan dilanjutkan dengan war on radicalism tak lebih dari upaya serangan terhadap Islam. Dari sinilah program moderasi beragama bisa ditemukan jejak historis, politis dan ideologis dan siapa yang mendanai proyek deradikalisasi ini.
Liberalisme dan moderasi beragama inilah yang digunakan oleh Barat sebagai senjata untuk merusak dan menjauhkan umat Islam dan generasinya dari aqidah dan nilai- nilai islam. Dalam masyarakat yang menganut liberalisme, setiap persoalan dipandang berdasarkan kacamata liberal. Tidak terkecuali masalah seksual. Oleh sebab itu dalam penyelesaian persoalan seks bebas, mindset yang digunakan pemerintah adalah liberalisme sekularisme. Paradigma inilah yang memunculkan malapetaka seks bebas di kalangan remaja. Kehidupan sekuler yang jauh dari aturan agama menjadikan perbuatan yang haram dianggap halal, semisal pacaran yang tidak dianggap perbuatan tercela dan maksiat, padahal pintu pertama menuju perzinaan adalah aktivitas pacaran. Gaya hidup liberal melahirkan perilaku hedonis permisif. Standar perbuatan tidak bersandar pada halal dan haram, tetapi berkiblat pada nilai kebebasan yang dijajakan paham liberalisme. Imbasnya, kemaksiatan dinormalisasi dan aturan Islam makin terasing dari kehidupan remaja kita.
Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan seks bebas (termasuk PP 28 Tahun 2024) makin menegaskan status Indonesia sebagai negara sekuler yang memaklumi dan menormalkan zina atas nama kebebasan berperilaku. Negeri ini sedang berjalan di ambang kehancuran generasi akibat rusaknya moral generasi.
Disisi lain derasnya arus moderasi beragama telah menciptakan generasi yang apatis, individualis, toleransi keblabasan termasuk terhadap hal- hal yang diharamkan dengan dalih kebebasan. Dalam masyarakat yang moderat guru yang menyuruh anak memakai kerudung dituding melakukan pemaksaan dan pelanggaran hak asasi. Ketika anak pacaran, mereka justru dibiarkan karena dianggap sebagai ranah privasi bagian dari kebebasan individu. Pendidikan seks dimasukkan dalam kurikulum dengan dalih melindungi hak individu.
Moderasi semakin menyuburkan liberalisme, dari moderasi beragama lahirlah generasi Islam yang jauh dari hakikat Islam kafah, Mengalami krisis identitas, merebak islamophobia, dan menganggap Islam bukan sebagai solusi kehidupan karena semua agama benar. Pada akhirnya generasi muslim menjadi enggan memperjuangkan Islam kaffah karena disibukan oleh dunianya.
Derasnya liberalisme dan moderasi menyebabkan lahirnya kebijakan dan opini yang menyesatkan. Gempuran paham kebebasan, disertai dengan sekularisasi sistem pendidikan telah menimbulkan kerusakan moral pada generasi. Pada tataran masyarakat munculah pemikiran pacaran dan seks pra nikah adalah hal yang wajar, lebih jauh seks pra nikah boleh dilakukan asalkan aman ( jika tidak menyebabkan kehamilan dan menularkan PMS). Ketika perilaku liberal tidak dapat dibendung lagi, maka pada tataran negara dibuatlah regulasi- regulasi yang mengatur agar kebebasan individu tetap terjamin dan resikonya dapat diminimalisir. Munculah kebijakan- kebijakan sesat yang semakin memperparah kerusakan generasi muda akibat seks bebas, diantaranya: pertama, Kampanye Seks Edukasi yang tidak dijelaskan secara gamblang siapa sasarannya apakah untuk pasangan halal atau bukan, remaja atau dewasa.
Kedua, Pelarangan Pernikahan Dini, Peraturan ini lahir menyikapi tingginya pengajuan dispensasi menikah pada usia dibawah 20 tahun. Tingginya angka kehamilan di luar nikah yang mendorong permintaan dispensasi nikah pada remaja mencerminkan kerusakan akhlak yang luar biasa. Persoalan inilah yang semestinya dicarikan solusi. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Upaya menyelamatkan generasi dari pergaulan bebas melalui pernikahan justru dipersulit dengan berbagai macam persyaratan. disisi lain perilaku seks bebas justru dibiarkan bahkan difasilitasi dengan dalih kebebasan individu.
Ketiga, UU TPPKS dan Permendikbud No 30 tahun 2021 tentang satgas TPPKS Pembentukan Satgas PPKS ditujukan untuk mewujudkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan PT. Kehadiran Satgas PPKS diklaim akan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual. Kalimat ini seolah- olah luhur, faktanya public justru pesimis satgas PPKS akan bisa menyolusi masalah kekerasan seksual di kampus. Sebab kurikulum pendidikan yang berlaku di negeri ini masih sekuler. Agama yang semestinya menjadi pandangan hidup diganti dengan budaya materialisme dan serba permisif. Ditambah lagi dengan penerapan kampus merdeka yang menanamkan nilai-nilai moderasi dalam beragama. Peserta didik akan terus menjadi pelaku gaya hidup liberal. Kasus kekerasan seksual pun kian bertambah setiap waktu. Kebijakan ini disinyalir semakin menyuburkan seks bebas di dunia Pendidikan khususnya kampus karena hanya fokus untuk kekerasan seksual, sedangkan zina atau hubungan suka sama suka tidak termasuk di dalamnya.
Keempat, PP no 28 Tahun 2024, Peraturan Pemerintah (PP) 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menuai kontroversi di ruang publik. PP ini mengatur banyak hal, di antaranya tentang penyediaan alat kontrasepsi pada usia anak dan sekolah. Berikut bunyi Pasal 103 Ayat (4) huruf e PP 28 Tahun 2024, “(4) Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: (a) deteksi dini penyakit atau skrining; (b) pengobatan; (c) rehabilitasi; (d) konseling; dan (e) penyediaan alat kontrasepsi.” Pasal penyediaan alat kontrasepsi memicu kontroversi sebab dalam PP tersebut hanya menjelaskan usia sekolah dan remaja, tidak ada penyebutan pemberian kontrasepsi berlaku hanya untuk pasangan halal. Maka wajarlah jika PP no 28 Tahun 2024 disinyalir semakin menyuburkan seks bebas di kalangan generasi muda.
Islam Mewujudkan Generasi Cemerlang
Islam memiliki paradigma berbeda dalam penyelamatan generasi. Melalui institusi negara, yakni Daulah Khilafah, Islam menerapkan seperangkat hukum yang menyelesaikan masalah mulai dari akar sampai ke cabang-cabangnya. Hukum ini diterapkan oleh penguasa yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap rakyat, melainkan juga bertanggung jawab langsung kepada Allah SWT.
Pemimpin dalam Islam memiliki dua fungsi. Pertama: Fungsi pemeliharaan urusan rakyat. Ini sebagaimana disabdakan Rasulullah saw.:
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawa-ban atas pihak yang kalian pimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam al-Baghawi (w. 516 H) menjelaskan makna ar-râ’in dalam hadis ini, yakni pemelihara yang dipercaya atas apa yang ada pada dirinya. Ar-Ri’âyah adalah memelihara sesuatu dan baiknya pengurusan. Di antara bentuknya adalah pemeliharaan atas urusan-urusan rakyat dan perlindungan atas mereka (Al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, 10/61).
Kedua: Fungsi sebagai junnah (perisai). Hal itu sebagaimana pujian yang dituturkan Rasulullah saw. kepada sosok penguasa yang dibaiat oleh kaum Muslim untuk menegakkan hukum-hukum Allah, melindungi harta kehormatan dan darah kaum Muslim. Nabi Muhammad saw. bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu perisai; (orang-orang) akan berperang di belakang dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muttafaqun ’alayh).
Negara adalah benteng sesungguhnya yang akan melindungi generasi dari perusakan apapun. Mekanisme perlindungan dilakukan secara sistemik, meliputi berbagai aspek yang terkait langsung maupun tidak langsung, antara lain melalui berbagai pengaturan sistem ekonomi, Pendidikan, social, media massa dan system sanksi yang semua itu hanya bisa ditepakan oleh negara yang memiliki ideologi yang kuat yang menjadikan islam sebagai sistematuran yang kaffah.
Oleh Yuli Fitriah, S.Pd (Guru dan Pemerhati Generasi)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru