Innalillahi…
Sungguh miris hati kita para ibu melihat situasi dan kondisi yang terjadi pada anak-anak yang mengalami kasus bullying secara verbal, non verbal, hingga fisik dan seksual.
Bagaimana tidak, jika anak yang pada masa ini sangat membutuhkan penjagaan secara intens oleh orangtua, keluarga, maupun dunia disekitarnya. Justru mereka lah yang menjadi sasaran kekerasan tersebut karena kemampuan penjagaan diri yang sangat lemah, mereka mudah dipengaruhi, dan belum mampu mengkomunikasikan permasalahan yang menimpanya.
Berbagai upaya kemudian dilakukan oleh berbagai pihak, setelah menerima aduan berbagai jenis kekerasan dan kasus demi kasus yang terjadi pada anak.
Tidak bisa dipungkiri, saat ini anak menjadi salah satu korban pelampiasan dari emosi orang-orang disekitarnya, karena dianggap sebagai sebuah beban tersendiri yang menguras waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit dalam pengasuhannya.
Maka ketika orangtua tersibukkan dengan aktifitas bekerja, sehingga kurang dalam memperhatikan, menjaga, mengawasi sang anak. Abai terhadap proses tumbuh kembang sang anak. Tidak membersamai dikala anak melewati fase demi fase kehidupannya. Dan memandang anak hanya sebagai calon penerus tanggungjawab kedepan dalam perkara memenuhi materi.
Maka sangat mungkin sekali anak menjadi korban kekerasan oleh orang terdekatnya, bisa jadi justru pelaku kekerasan tersebut ialah orangtua sang anak, keluarga, jasa penitipan anak, dan lainnya.
Mengapa kasus yang sama terus terjadi, bahkan berulang kepada anak ?
Tentu kita harus menyamakan persepsi kita memandang bahwa, kasus ini merupakan fenomena dimasa kehidupan kita yang diatur oleh sistem kapitalis sekuler. Dimana sebuah aturan itu lahir dari buah pemikiran manusia yang terbatas, dalam menjangkau perihal baik dan buruk atas sebuah aktifitas.
Maka sangat wajar, dalam sistem kapitalis sekuler ini, masyarakat terbentuk pola berfikirnya bahwa kehidupan berfokus pada pencarian kebahagiaan semata.
Termasuk dalam konsep berkeluarga, kehadiran anak hanya sebagai salah satu faktor pelengkap kebahagiaan. Namun visi misi menjadi orangtua itu sendiri bisa jadi tidak terkonsep secara benar, sehingga dalam membersamai anak, orangtua bisa salah mengatur skala prioritasnya.
Anak merupakan sebuah amanah dari Allah SWT yang diberikan kepada seorang hamba yang dipilih OlehNya. Anak sendiri lahir kedunia bukan tanpa maksud, didalam al Qur’an disebutkan bahwa Allah SWT berfirman dalam Surat Hud ayat 6 yang artinya, “Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya”
Dan kemudian dalam ayat lainnya Surat Az-Zariyat Ayat 56 “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Maka sesungguhnya, memahami maksud dan tujuan Allah menciptakan diri kita, memberikan pasangan dalam kehidupan kita melalui pernikahan, dan mengatur seluruh urusan kita. Tidak lain adalah agar tercapai segala tujuan penciptaan tersebut. Sehingga setiap orangtua paham betul posisinya dalam rumahtangga.
Ibu sebagai yang bertanggungjawab didalam rumahnya, harta suaminya, anaknya. Dan ayah bertugas menafkahi keluarganya dengan harta yang halal, serta mendidik istri dan anaknya sesuai pedoman hukum islam. Dan bukan menjadikan anak sebagai komoditas ekonomi yang kelak akan melanjutkan fungsi sebagai mesin pencetak uang, atau justru menjadi objek pemuas nafsu kekerasan bahkan seksual.
Namun pertanyaannya, sudahkah setiap individu muslim paham hal tersebut ? Atau, sudahkah setiap orangtua paham maksud Allah dalam hal ini ?
Lalu, sudahkah optimal dalam menjalankannya ?
Islam merupakan agama yang sempurna, memberikan aturan bagi kehidupan manusia. Agar manusia mulia, dan dapat menyelesaikan persoalan didalam hidupnya dengan cara yang benar.
Tentu hal ini tidak mudah jika bukan dijalankan secara sistem selayaknya masalah yang timbul juga akibat sistem rusak. Yang mana kasus kekerasan pada anak kian hari bukan semakin turun jumlah dan jenis nya. Namun justru makin bertambah dan semakin sadis. Astagfirullah.
Sistem aturan islam menempatkan segala sesuatu pada tempat seharusnya. Mengoptimalkan peran ikhtiar manusia dalam mencapainya. Dan menjadikan satu-satunya standar benar dan salah, maupun baik dan buruk kepada Pembuat Aturan Hidup yakni Allah SWT.
Maka menjadi tugas kita semua didalam sebuah masyarakat, dimana disana ada individu, keluarga, kelompok masyarakat, dan negara harus sama dalam pola berfikirnya, pola bersikapnya, dan merasakan hal yang sama akan sebuah persoalan hidup. Yang tidak bisa dipisahkan antara kehidupan dan aturan Allah itu sendiri seperti saat ini.
Mengembalikan kehidupan dalam aturan islam, sudah selayaknya kita perjuangkan. Dan tegaknya aturan islam, tentu bukan tanpa upaya bersama. Karena setiap diri kita akan bertanggungjawab atas hal ini. Dan upaya kita akan mendapat balasan pahala yang besar dari sisi Allah SWT apalagi dibulan mulia ini yang Allah janjikan berlipat ganda.
Wallahu’alam bishowab.
Oleh : Fitri Eka Artika (Pemerhati Remaja dan Generasi)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru