Share ke media
Opini Publik

Demokrasi: Simbiosis Mutualisme antara Penguasa dan Pengusaha

19 Mar 2024 06:30:29621 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambaar : kompas.id - Menghapus Dwifungsi Oligarki - 26 Februari 2023

Samarinda - Kericuhan terjadi dalam rapat pleno hasil perhitungan suara pemilu (pemilihan umum) di Kecamatan Sangatta Utara, Kutai Timur pada Selasa, 27 Februari 2024. Para saksi dan penyelenggara saling berdebat terkait perolehan dan selisih suara yang signifikan. Kekecewaan disampaikan oleh Parjono sebagai saksi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal ini karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk mengecek data yang diklaimnya menunjukkan selisih suara yang signifikan.

Ketua Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK) Sangatta Utara, Sirajudin Takeama Maran, mengakui adanya selisih data. Sirajudin menjelaskan bahwa PPK berupaya menyelesaikan kericuhan ini dengan mencocokkan data bersama panitia pengawas (Panwas). (rmolaceh.id, 27/02/2024)

Sementara itu, telah ditemukan 310 dugaan pelanggaran dalam pemilu 2024 oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Indonesian Corruption Watch (ICW). Andi Rezaldy sebagai Wakil Ketua Koordinator Kontras menyatakan dalam keterangan tertulisnya bahwa, “Secara umum, kami menemukan sebanyak 310 peristiwa dugaan kecurangan meliputi pelanggaran netralitas, manipulasi suara, penggunaan fasilitas negara oleh kandidat, politik uang hingga bentuk-bentuk kecurangan lainnya.” pada Jumat (23/02/2024). Andi juga menyampaikan, beberapa kecurangan bersifat struktural karena mengikut sertakan aparat seperti penyelenggara pemilu, struktur pemerintahan atau aparatur sipil negara. (kompas.com, 23/02/2024)

Jimly Asshiddqie yang merupakan mantan Ketua MK menilai kecurangan memang terjadi di setiap pemilu sejak orde baru. Jimly mengungkapan bahwa “Pelanggaran yang biasa disebut kecurangan massif selalu terjadi dalam pemilu sejak orde baru, dan juga pemilu masa reformasi sejak 1999, sejak dimulainya pilpres langsung pertama pada tahun 2004 hingga pemilu 2009, 2014, 2019, bahkan 2024 pada saat dimulainya pemilu serentak,” ungkapnya. (detik.com, 24/02/2024)

Dari fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa masalahnya bukan hanya ada pada orang. Karena kecurangan-kecurangan tersebut jamak terjadi bahkan terjadi setiap pemilu dilangsungkan.

Selain itu, mereka yang berseteru baik individu ataupun partai politik pada kesempatan yang lain menjadi kawan sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada teman dan lawan yang abadi dalam sistem demokrasi namun yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.

Hal tersebut lumrah terjadi dalam sistem politik demokrasi. Sistem demokrasi dibangun di atas asas sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga wajar jika untuk mencapai “kursi” kekuasaan dapat menghalalkan segala cara walaupun melanggar aturan agama.

Prinsip kedaulatan rakyat yang dielu-elukan dalam sistem demokrasi hanyalah kamuflase semata. Seolah rakyat diberikan hak politik namun nyatanya yang tampil sebagai pemenang adalah para pemilik modal. Tidak heran jika pemilu selesai, rakyat pun ditinggalkan. Terlihat dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh penguasa terpilih tidak sesuai dengan kepentingan rakyat namun sesuai keinginan para pemilik modal. Akhirnya, penguasa adalah representasi para pemilik modal bukan representasi rakyat.

Anggaran fantastis pemilu dalam setiap periodenya menunjukkan bahwa demokrasi berbiaya mahal. Besaran “mahar” yang harus dibayar oleh para calon juga tidak sedikit. Biaya minimal pencalonan caleg menurut riset dari lembaga Prajna Research Indonesia (2023): Calon anggota DPR RI membutuhkan dana sekitar Rp1 miliar-Rp2 miliar, calon anggota DPRD Provinsi membutuhkan dana sekitar Rp500 juta-Rp1 miliar, dan calon anggota DPRD kabupaten/kota membutuhkan dana sekitar Rp250 juta-Rp300 juta. Biaya pencalonan capres dan cawapres: pada tahun 2014, Jokowi-Jusuf Kalla Rp312,38 miliar, Prabowo-Hatta Rajasa Rp166,56 miliar. Tahun 2019, Jokowi-Ma’ruf Amin Rp606,7 miliar, Prabowo-Sandiaga Rp213,2 miliar. Sementara tahun 2024 (dana awal kampanye), Anies-Muhaimin Rp1 miliar, Prabowo-Gibran Rp31,43 miliar, dan Ganjar-Mahfud Rp23,32 miliar.

Sehingga tidak mengherankan jika para calon yang nantinya terpilih akan melakukan korupsi. Data Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga Juli 2023 mengungkapkan bahwa sebanyak 344 kasus korupsi melibatkan anggota DPR dan DPRD.

Mahalnya demokrasi meniscayakan hubungan penguasa dan para pemilik modal menjadi sangat erat. Keduanya bersimbiosis mutualisme untuk mendapatkan kekuasaan sekaligus menambah keuntungan para pemilik modal. Kredo fox populi fox dei (suara rakyat suara Tuhan yang disucikan) hanyalah lip service saja untuk menyenangkan dan menenangkan rakyat. Inilah cacat bawaan demokrasi. Demokrasi dibangun di atas asas yang rusak dan melahirkan berbagai aturan yang tidak akan menyejahterakan rakyat melainkan menyejahterakan para pemilik modal. Tidak heran jika di dalam sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Perubahan tidak boleh hanya fokus kepada pergantian pemimpin namun harus mengarah kepada perubahan sistem kepemimpinan yakni mewujudkan sistem kepemimpinan Islam. Sistem kepemimpinan Islam yakni khilafah dibangun di atas kesadaran ruhiyah bahwa konsekuensi keimanan seorang hamba adalah dengan menaati seluruh aturan Allah termasuk dalam menjalani kehidupan. Penerapan aturan Allah pasti akan membawa pada kesejahteraan dan keberkahan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al A’raf ayat 96 yang artinya “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”

Kekuasaaan di dalam Islam adalah untuk menerapkan aturan-aturan Islam bukan untuk mencari kedudukan dan materi. Para penguasa yang lahir dari sistem kepemimpinan Islam menyadari bahwa semuanya akan dipertanggungjawabkan termasuk pengurusan mereka terhadap rakyatnya.

Sejarah telah mencatat bahwa khilafah telah memberikan kesejahteraan sebagaimana yang dituliskan Will Durant (sejarawan barat) dalam bukunya Story of Civilization, bersama istrinya Ariel Durant, ia mengatakan: “Para Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat, kabar tersebut sampai ke banyak raja-raja Eropa, salah satunya Raja Leo III the Isaurian Kaisar Romawi. Ia berkata, “Seorang penguasa yang adil telah mati. Aku tak takjub jika ada biarawan yang meninggalkan dunia demi ibadahnya. Aku takjub pada manusia yang bisa menguasai dunia namun ia meninggalkannya.”

Selama sistem Islam ditegakkan, umat Islam hidup dalam kesejahteraan serta kemuliaan. Penguasa dan rakyat dalam sistem Islam berjalan sesuai aturan Tuhannya. Satu sama lain saling mendukung dalam ketaatan dengan dasar keimanan semata bukan yang lain apalagi materi.

Benar bahwa dalam sejarah peradaban Islam ada masa-masa kelam. Namun, kesalahan-kesalahan tersebut karena penguasa telah melakukan penyimpangan, sementara rakyat tidak menjalankan peran amar makruf nahi mungkar bukan ada pada sistem Islam sebagaimana cacat bawaan yang terdapat pada sistem politik demokrasi.

Hal ini menunjukkan sisi kemanusiaan sistem Islam. Sistem Islam dijalankan oleh manusia sementara manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Namun, keburukannya yang sedikit tidak akan pernah menghapus fakta kegemilangan sejarah peradaban Islam yang telah tegak pada kurun waktu yang sangat lama dan para sejarawan yang jujur dan mencintai kebenaran telah mengakuinya. Wallahualam bissawab.

Oleh: Maulina Rufaida, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial)