Samarinda - Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Edi Damansyah membuka rapat Koordinasi dan Evaluasi Pembangunan Kawasan Pertanian Dalam Rangka Terus Mewujudkan Kutai Kartanegara Sebagai Lumbung Pangan Kaltim dan Evaluasi Pengendalian Inflasi, pekan tadi di Aula Kantor Bappeda Kukar Lt.1 Tenggarong.
Dalam arahannya Bupati Kukar Edi Damansyah mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan landasan evaluasi apa yang sudah dikerjakan oleh badan atau dinas khususnya Dinas pertanian, perternakan dan juga Dinas perikanan dan kelautan di 5 kawasan pertanian yang sudah ditentukan, yaitu Marangkayu, Sebulu, Muara Kaman, Tenggarong, Loa Kulu dan Tenggarong Seberang.( https://kaltim.tribunnews.com/2023/11/19/wujudkan-lumbung-pangan-kaltim-pemkab-kukar-gelar-rakor-evaluasi-pembangunan-pertanian)
Lumbung pangan atau yang lagi tren dengan sebutan program food estate merupakan kebijakan pemerintah yang memiliki konsep pengembangan pangan secara terintegrasi. Kebijakan yang digagas Jokowi ini bahkan menjadi salah satu kebijakan yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Dan dalam kebijakan tersebut menyatakan bahwa terdapat empat pilar ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan dan kestabilan yang berarti jika empat pilar ini tidak terpenuhi maka negara masih belum bisa dikatakan sebagai negara dengan ketahanan yang baik.
Sebagaimana diketahui Kukar merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai lumbung pangan Kaltim bahkan nasional. Demikianlah progam ini sedang berjalan dan menjadi fokus Pemkab Kukar saat ini. Bahkan digadang-gadang menjadikan Kukar sebagai penyokong kebutuhan pangan IKN nantinya. Namun mengingat Kaltim juga merupakan wilayah tambang maka akan menjadi dilematis bagaimana program ini berjalan. Hal ini terbukti dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang rutin merilis naik turunnya pertumbuhan ekonomi Kaltim selalu tergantung pada sektor pertambangan. Artinya dominasi sektor pertambangan dan penggalian sangat berpengaruh dalam menentukan perekonomian Kaltim.
Kebijakan Kukar sebagai wilayah lumbung pangan dianggap tidaklah tepat sasaran, utamanya Tenggarong Seberang yang wilayahnya justru dikuasi para penambang bahkan tidak jarang kemudian lahan pertanian dialih fungsikan menjadi wilayah pertambangan. Apalagi pertambangan dinilai lebih besar dan cepat menghasilkan cuan dibanding bertani maka tidak heran kemudian masyarakat sekitar lebih tertarik ke sektor ini.
Kurang minatnya masyarakat pada sektor pertanian bukanlah tanpa sebab. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada sektor ini seperti impor di saat panen raya yang menyebabkan harga panen petani anjlok, subsidi pupuk berkurang bahkan dicabut sehingga pupuk menjadi mahal bahkan langkah, irigasi yang bermasalah, inovasi pertanian yang stagnan sampai pada cuaca yang ekstrim menjadikan sektor ini terpuruk dan faktanya beberapa dekade ini sektor pertanian mengalami penurunan yang signifikan. Padahal negeri ini pernah mencapai swasembada pangan.
Jika berbicara terkait empat pilar ketahanan pangan yakni ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan dan kestabilan maka semua hal tersebut selalu menjadi masalah pangan ditengah masyarakat negeri ini Harga pangan yang tidak pernah stabil bahkan selalu merangka naik menjadikan pangan tidaklah terjangkau oleh masyarakat terutama masyarakat menengah bawah. Ini diakibatkan karena stok pangan yang seringkali mengalami kelangkaan entah karena stok kosong atau ulah nakal para penimbun. Inilah fakta yang sering terjadi bahkan berulang. Namun anehnya ketika stok pangan melimpah dari panen para petani justru kebijakan impor diambil pemerintah.
Demikian kebijakan negara yang tidak berpihak kepada sektor pertanian menjadikan sektor ini bagaikan mati suri yang kemudian ingin dibangunkan kembali dengan program andalan pemerintah yakni food estate. Namun mengingat sistem yang menaungi negeri ini adalah sistem kapitalisme liberal maka akan jadi simalakama bagi Kaltim antara pertambangan dan program lumbung pangan disektor pertanian dimana diketahui pertambangan memiliki nilai lebih dan instan dalam hal pemasukan daerah maupun income individu masyarakat.
Sistem kapitalisme liberal yang meniscayakan manfaat untung rugi menjadi tolak ukur aktivitasnya, maka akan sulit untuk mengalihkan masyarakat kembali pada sektor pertanian. Disamping itu cengkraman para kapitalis oligarki dalam menguasai tambang sangatlah sulit untuk disentuh.
Hal berbeda dihadirkan Islam dalam urusan pemenuhan pangan. Dalam sistem pemerintahan Islam negara sebagai institusi politik bertugas melakukan pengurusan urusan rakyatnya atau riayah syu’unil ummah. Maka wajib bagi negara memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Karena sejatinya hak bagi setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya, yakni sandang, pangan dan papan serta kesehatan pendidikan dan keamanan, tentunya secara layak dengan mudah dan terjangkau.
Negara juga memastikan ketersediaan stok pangan aman sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. Dan mampu mewujudkan ketahanan pangan pada masa mendatang bahkan bukan hal mustahil pangan menjadi komoditas ekspor negara. Dengan ketersediaan dan ketercukupan tersebut harga pangan akan selalu stabil dan ketika terjadi perubahan cuaca yang ekstrim negara sudah siap dan mampu mengatasi produksi pangan yang menurun dengan ketersediaan stok pangan yang ada.
Mengingat ketahanan pangan merupakan salah satu masalah strategis negara, maka kebijakan impor hanya akan dilakukan dalam kondisi tertentu dan urgen saja karena ketergantungan impor jelas akan mencederai kedaulatan negara. Sehingga untuk mewujudkan hal ini negara akan fokus pada optimalisasi pertanian dengan intensifikasi (peningkatan) dan ekstensifikasi (perluasan).
Intensifikasi pertanian merupakan peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada dengan metode pertanian terbaru, kemudian optimalisasi produksi seperti pengadaan bibit unggul, pupuk terbaik, mesin-mesin pertanian tercanggih, irigasi serta sarana prasarana pertanian lainnya.
Sementara ekstensifikasi pertanian merupakan pemanfaatan lahan -lahan yang ada menjadi lahan produktif, seperti pembukaan lahan baru, menghidupkan tanah/lahan mati bahkan syara’ membatasi kepemilikan tanah yang tiga tahun terbengkalai tidak mampu dikelola maka akan diambil negara untuk diberikan kepada yang mampu mengelolanya. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw. “Siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya atau hendaknya diberi kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR. Bukhari). Tentu pemanfaatan lahan-lahan tersebut dengan memperhatikan kelestarian lingkungan.
Dalam Islam tambang merupakan kepemilikan umum dan hanya boleh dikuasai dan dikelola negara sehingga negaralah yang berhak mengatur mana wilayah pertambangan dan wilayah pertanian. Dengan demikian tidak ada alin fungsi lahan pertanian menjadi pertambangan terlebih intervensi korporat oligarki atas nama investasi.
Demikian Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan bagi rakyatnya. Karena sejatinya Islam bukan saja agama ruhiyah melain sebuah ideologi dimana didalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk pada sektor pertanian dan pertambangan.
Wallahu a’lam bishowab.
Oleh : Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru