Share ke media
Opini Publik

Ekonomi melemah, peran ibu digugah. Mampukah menggapai sejahtera ?

26 May 2024 01:55:35474 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : mubadalah.id - Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga - 8 Juli 2023

Samarinda - Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Timur memberikan bantuan usaha kepada 50 Ibu Rumah Tangga (IRT) rawan sosial ekonomi, Senin (13/5/24), di Rumah Jabatan Wali Kota Bontang.Kepala Dinas Sosial Provinsi Kaltim, Andi Muhammad Ishak mengungkap, bantuan tersebut ditujukan kepada wanita yang dengan kondisi ekonomi sulit.

“Ibu-ibu single parents atau yang memiliki kondisi keluarga di bawah rata-rata,” terangnya.

Menurutnya, bantuan tersebut dapat digunakan untuk membangun usaha produktif. Adapun dampak jangka panjang yang diharapkan yakni, bisa menjadi penggerak ekonomi keluarga.

“Ini merupakan upaya pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan ekstrem di Kota Bontang,” tambahnya.

https://radarbontang.com/50-irt-bontang-terima-bantuan-usaha-dari-dinas-sosial-provinsi-kaltim/

Mengutip tulisan diatas, mengajak kita berfikir secara mendalam tentang peran diri kita didalam sebuah masyarakat. Apa sebenarnya hal yang bisa dilakukan oleh perempuan saat ini, apakah statusnya sebagai istri, sebagai ibu, atau sebagai individu mandiri.

Didalam kehidupan saat ini, dimana segala aspek dalam memenuhi tuntutan kehidupan di standarkan pada manfaat. Maka tidak mengherankan, jika nilai seseorang dilihat dari apakah menghasilkan manfaat atau tidak dalam aktifitasnya. Ya, termasuk peran seorang istri atau ibu. Dalam pandangan kapitalis, ketika aktifitas tidak mendatangkan nilai yang bisa dimanfaatkan maka dianggap tidak berperan menyelesaikan sebuah permasalahan.

Lantas, muncullah permasalahan dalam masyarakat. Melihat aktifitas istri atau ibu didalam rumah yang terkesan tidak menghasilkan manfaat secara finansial. Dan hal ini memicu banyak pihak menyalahkan “diamnya” didalam rumah sebagai alasan mengapa istri atau ibu diberikan “penawaran” aktifitas bernilai manfaat yakni ekonomi/uang.

Peran strategis perempuan dalam pandangan islam

Sebagai kaum yang beriman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sudah selayaknya dan wajar sekali kita meletakkan landasan berfikir dan perbuatan kita diatas aturan yang bersumber dari nash atau hukum syari’at. Karena hal itulah yang menjadi kewajiban bagi setiap individu. Terlepas apakah statusnya dalam masyarakat.

Termasuk memerankan diri menjadi seorang istri atau seorang ibu. Yang memiliki tugas domestik. Tugas didalam rumah suaminya, dalam mensukseskan target berkeluarga didalam islam. Sungguh bukan pekerjaan yang mudah, dan saat ini pula bukan hal yang mampu dikuasai secara alamiah. Wanita butuh belajar, menjadi seorang istri itu apa saja kewajiban dan hak nya. Menjadi seorang ibu pun sama, banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dipelajari, diterapkan lalu dievaluasi. Tidak ada hal sepele yang tidak bernilai disisi Allah SWT jika mengambil peran didalam rumah.

Namun dalam pandangan sekulerisme, dimana pemikiran untuk memisahkan antara kehidupan dan segala aturannya dengan agama yang juga memiliki aturan yang khas. Menimbulkan kontradiksi, manfaat dilihat bukan dari sisi strategis perempuan dalam sudut pandang aqidah melainkan dari sudut pandang ekonomi.

Wajarlah, akhirnya peran istri atau ibu didalam rumahtangga dan segala urusan domestiknya dianggap “membebani” dan harus dilakukan upaya pemberdayaan ekonomi oleh perempuan yang “nganggur” dirumah itu.

Padahal, memerankan tugas menjadi seorang istri dan ibu memiliki keutamaan dalam pandangan hukum syari’at. Seorang ibu lah yang menjadi madrasah pertama bagi manusia yang baru lahir kedunia yang tidak tau apapun tentang dunia dan kehidupan. Maka ibu dituntut cerdas, agar siap dalam membina anaknya menjadi pribadi yang paham apa tujuan hidupnya sesuai tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT, sperti disampaikan dalam Qur’an surah Adz Zariyat ayat 56 “wa mâ khalaqtul-jinna wal-insa illâ liya’budûn” (Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku). Dan hal ini didukung pula dengan faktor diluar keluarga, yakni lingkungan masyarakat yang islami, pendidikan yang berasas islami, serta sistem kehidupan yang berlandaskan aturan syari’at secara kaffah.

Kapitalisme melumpuhkan peran perempuan

Sistem kehidupan sekuler dan kapitalistik, mengantarkan perempuan pada titik terendahnya dalam pola fikir dan sikap. Tidak mengherankan jika saat ini menjadi seorang ibu bukan menjadi cita-cita seolah bukan hal yang membuat bangga karena tidak ada apresiasi dan nilai manfaat/uang yang bisa dihasilkan.

Maka para perempuan dan hampir seluruh kalangan berpendapat sama, seorang ibu atau istri harus diberikan “pekerjaan” agar kehadirannya menghasilkan manfaat. Mengingat jumlah perempuan yang banyak, dan statusnya sebagai istri atau ibu didalam rumah saja. Tentu jika diberdayakan secara ekonomi bisa membawa dampak besar yang menggerakkan roda perekonomian yang saat ini terpuruk.

Benarkah demikian ?

Sungguh, sistem ekonomi dalam kehidupan sekuler lah permasalahan utamanya. Bukan peran perempuan itu. Karena aturan yang berjalan tidak sesuai dengan syari’at yang telah memposisikan laki-laki sebagai qowwam bagi perempuan, yang bertanggungjawab atas segala kebutuhan keluarganya.

Sistem kapitalis yang berfokus pada kebebasan, menjadikan setiap orang yang memiliki modal bisa menguasai apa saja. Termasuk dalam kepemilikan asset yang seharusnya diurus oleh negara untuk kepentingan ummat. Semua bisa dimiliki individu jika punya uang. Hal inilah yang merusak sistem ekonomi. Yang mengakibatkan minimnya lapangan pekerjaan bagi laki-laki usia produktif.

Sistem kapitalis sekuler juga tidak memposisikan asset seperti halnya islam mengklasifikasikan asset. Didalam islam “air, api dan padang rumput” merupakan SDA yang harus dikelola negara dan tidak boleh dikuasai individu. Karena ini adalah hak ummat manusia seluruhnya, dan harus bisa dirasakan manfaatnya oleh semua orang. Maka islam jelas dalam memposisikan mana ranah individu, negara, dan masyarakat. Dalam pengelolaan kekayaan. Jika hal ini diterapkan maka negara berpotensi besar membuka lapangan pekerjaan yang luas untuk para laki-laki agar berdaya dalam ekonominya.

Islam adalah solusi dalam kehidupan

Perempuan sejatinya tidak memiliki kewajiban dalam mencari dan memenuhi nafkahnya. Didalam islam sangat jelas bahwa perempuan menjadi tanggungan laki-laki yang menjadi suaminya, para wali nya, ayahnya, saudara laki-lakinya. Dan jika sampai tidak ada penanggungjawab nafkah perempuan, negara berperan menafkahi dan memenuhi kebutuhannya. Tidak akan didapati perempuan tertatih-tatih dalam menafkahi dirinya didalam islam. Dan kebolehan perempuan bekerja hanya sebatas memenuhi kebutuhan urgen dalam masyarakat dan bentuk partisipasi saja bukan hal yang utama bahkan dipaksakan seperti saat ini.

Secara keseluruhan, terdapat empat sumber hukum dalam Islam, antara lain Quran, hadits, ijma, dan qiyas. Al Quran sebagai sumber hukum tertinggi dijelaskan dalam surat An Nisa ayat 59 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Melihat nash diatas sudah menjadi hal yang seharusnya dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Individu, keluarga, masyarakat umum bahkan negara. Meletakkan dasar aturan kehidupan ini dengan tuntunan yang benar dan solutif. Hingga mendatangkan keberkahan didalam melewati ujian kehidupan dunia dan mengantarkan keselamatan diakhirat kelak.

Wallahu’alam bisshowab.

Oleh : Fitri Eka Artika (Pembina Komunitas SWI Samarinda)