Mukaddimah
Di balik pria yang agung, ada wanita agung di belakangnya, demikian kata orang bijak tempo dulu. Jika ada lelaki yang menjadi ulama cendekia, tokoh ternama, atau pahlawan ksatria, lihatlah ibu mereka. Karena Ibu memiliki peran besar dalam membentuk karakter dan pengetahuan seseorang. Ibu adalah ustadzah pertama, sebelum si kecil berguru kepada ustadz manapun. Maka kecerdasan, keuletan dan perangai sang ibu adalah faktor dominan bagi masa depan anak.
Ibu, satu kata yang begitu sederhana tapi jika diartikan, ibu mempunyai banyak makna. Berbicara soal ibu, tidak akan habis-habisnya kita bahas. Bagaimanapun kita ketahui, betapa pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu begitu besarnya. Mulai dari harus mengandung, melahirkan, merawat dan menjaga anak-anaknya. Begitulah kemuliaan posisi ibu membangun generasi cemerlang.
Kemuliaan seorang ibu memang tidak bisa di pungkiri. Peran ibu ini merupakan anugerah terindah dalam kehidupan seorang wanita karena betapa banyak para wanita yang tidak diberi kesempatan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai ibu. Ibu adalah sosok yang selalu dikagumi, menjadi panutan bagi anak-anaknya, senantiasa berperan besar dalam perkembangan anak. Selain itu, mengemban tugas dan tanggung jawab yang teramat besar demi memberikan yang terbaik bagi sang buah hati.
Ibu adalah sosok yang tak tertandingi dalam hal kasih sayang, hingga muncul peribahasa “kasih ibu sepanjang zaman, kasih anak sepanjang galah”. Demikian pula dalam sebuah Hadist riwayat Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah bahwa seseorang datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Ya Rasulullah, kepada siapakah aku berbakti yang utama?” maka Rasulullah menjawab,” Ibumu” dan orang itu bertanya kembali,” kemudian siapa lagi?” Rasulpun menjawab, “ Ibumu” dan orang itu bertanya kembali” Kemudian siapa lagi?” Rasulpun menjawab,” Ibumu”, orang itupun bertanya kembali dan Rasulpun menjawab, “Kemudian ayahmu”. Artinya, setiap manusia yang lahir ke dunia ini adalah karena kuasa Allah yang di amanahkan kepada seorang ibu, sosok perempuan dengan segenap fitrah kelembutan dan kasih sayangnya.
Namun, sosok ibu hari ini diakui setengah hati. Peran strategisnya tidak didukung oleh peradaban yang baik. Penerapan ideologi sekuler kapitalis bukan mendukung terlakasananya tugas keibuan dengan baik, sebaliknya, menggerus fitrah mulianya.
Bagaimana tidak, penerapan sekulerisme di berbagai bidang kehidupan hanya menimbulkan lingkaran setan permasalahan. Memicu persoalan pelik baik bagi elemen individu, keluarga maupun negara. Secara individu, ibu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang terkadang menekan fitrah kewanitaannya.
Sistem sekuler menyuburkan perbuatan yang bebas berbuah pada pelanggaran hukum syara’
Pada tanggal 16 Januari 2018, kekerasan terhadap anak kembali terjadi, di Jalan Paus Pekanbaru ditemukan bocah M Ramadhan Octopi (7) babak belur diduga telah dianiaya oleh seorang ibu tiri DS (30). Akibat dari penganiayan tersebut, kaki sebelah kiri korban memar, tengkuk belakang dipukul dengan tangkai sapu, tangan sebelah kanan bekas gigitan, leher bekas cakar. Peristiwa ini dibenarkan oleh Kasubag Humas Polresta Pekanbaru, Iptu Polius Hendriawan saat dikonformasi.
Di tempat lain, terjadi kasus pembuangan bayi di kota Malang, Penyidik Polres Malang Kota telah menetapkan wanita berinisial UYRU (23) sebagai tersangka dalam kasus dugaan pembunuhan bayinya. Di duga bayi tersebut jatuh ke lantai saat dilahirkan di kamar kos UYRU. UYRU melahirkan sendiri di kos lalu memutus tali pusar bayinya, dalam keadaan bingung tersangka kemudian membuang bayinya di air irigasi sekitar tempat kosnya, dari hasil visum diketahui paru-paru bayi tersebut mengandung air. Polisi tidak menemukan adanya kasus pemerkosaan, namun sudah diketahui bahwa ayah biologis bayi tersebut adalah EK teman UYRU yang hingga kini belum diketahui keberadaannya.
Peristiwa ini pasti menyayat hati, seolah fitrah Ibu yang penuh kasih sayang, lembut nan sabar hilang tergerus oleh sistem sekuler yang begitu jahat. Sistem sekular ini yang menyuburkan perbuatan bebas tanpa batas, hukum-hukum Allah tak lagi di indahkan. Sehingga para perempuan terjebak dalam aroma kebebasan tanpa batas, tanpa malu atau takut melanggar aturan- aturan ilahi, perzinahan di anggap biasa, membunuh di anggap perbuatan sepele,dan lain sebagainya menjadi penghias perilaku mereka. Tanpa rasa takut dan penyesalan di dalam hati.
Beban Ekonomi menyebabkan Ibu kehilangan fitrah dalam membesarkan dan mendidik anak.
Ibu yang seharusnya menjadi pembuat ketenangan dan ketentraman keluarga, penjaga anak-anak dan pengurus rumah tangga, akhirnya dibebani tanggung jawab ‘menyelamatkan’ kondisi ekonomi keluarga. Sifat kasih sayang yang telah Allah lekatkan kepada para ibu terkikis seiring interaksi yang terus berkurang akibat mereka meninggalkan rumah. Bahkan tak jarang dalam hitungan jam mereka tidak bertemu dengan anak-anaknya karena bekerja di luar rumah.
Sistem kapitalisme dengan sistem ekonominya yang sangat memberatkan rakyat, kebijakan-kebijakan ekonomi yang sangat tidak Pro rakyat. Sehingga beban ekonomi yang berat inilah yang menyebabkan seorang Ibu kehilangan fitrahnya dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhannya, tanpa peduli dengan tugas utamanya sebagai al-umm warobbatul bait.
Sementara itu, rumah tangga yang dibangun, tak lepas dari guncangan ekonomi yaitu mahalnya biaya hidup; mewahnya ongkos pendidikan; melangitnya dana kesehatan; tak terjangkaunya harga perumahan, dst. Bagaimana rumah tangga tidak was-was. Jika kebutuhan terus meningkat, sementara sistem sekuler menyulitkan orang untuk mengakses sumber-sumber pendapatan.
Seperti peristiwa yang terjadi di Dusun Babakan Kananga, Sumedang, Jawa Barat, sungguh mengharukan seorang Ibu tega meninggalkan ketiga buah hatinya, Ibu tersebut tidak mau mengurus ketiga anaknya dimana suaminya telah meninggal dunia.
Sistem Sekuler mencabut rasa tanggung jawab kepala keluarga
Sistem sekular juga telah mencabut tanggung jawab kepala keluarga dalam memberikan nafkah. Sehingga banyak kemudian bermunculan istilah ‘Bapak Rumah Tangga’, karena bertukar peran dengan istrinya.
Bagaimanapun, seorang laki-laki dengan tugas utamanya di luar, yakni mencari nafkah bagi keluarganya. Tak kan bisa menggantikan peran istri dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Walaupun dalam mendidik, seorang Ayah juga berperan didalamnya. Namun, tidak dalam merawat dan mengatur rumah tangganya.
Dan hari ini para ibu telah di beratkan dengan beban ekonomi yang semestinya sudah bukan lagi urusannya, karena telah terpenuhi secara sempurna baik oleh suami maupun keluarga yang menjadi walinya dan negara yang memiliki wewenang menciptakan mekanisme yang baik yang mampu mendukung terlaksananya peran sebagai ibu secara sempurna. Sistem saat ini menjadikan ibu telah kehilangan fokus dalam hidupnya dan pada akhirnya membuat ibu kehilangan fitrah dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
Seperti peristiwa yang terjadi di Jombang Jawa Timur. Setelah menetapkan Evi Suliastin Agustin (26) ibu muda di Jombang yang mengajak tiga anaknya bunuh diri dengan cara meminum racun serangga. Polisi kini memeriksa suami Evy, Fakihudin alias Gus Din. Kapolres Jombang AKBP Agung Marlianto mengatakan kemungkinan pengembangan kasus terbuka lebar dengan didasari adanya dugaan penelantaran terhadap keluarga tadi. Saat ini polisi masih mengumpulkan alat bukti dugaan penelantaran oleh ayah atas istri dan ketiga anaknya tersebut.
Inilah medan kehidupan umat muslim saat ini, maka peran ibu tentu saja menghadapi kondisi liberalisme dan sekularisme yang luar biasa. Bahkan keluarga dan masyarakat pun akan mengalami kesulitan untuk membendungnya. Disini peran muslim harusnya menjadikan agama Islam sebagai perisai agar fitrah ibu tidak terberangus dalam arus kerusakan dari sistem liberalisme dan sekularisme.
Solusi : Sistem Islam Menjaga Fitrah Ibu
Keluarga merupakan pondasi dasar penyebaran Islam. Dari keluargalah, muncul pemimpin-pemimpin yang berjihad di jalan Allah dan berjuang meninggikan kalimat-kalimat Allah. Sangatlah tepat kiranya bila Islam menempatkan “peran ibu” sebagai tugas pokok kaum perempuan. Untuk menjamin pelaksanaan ini, Islam menetapkan beberapa hukum khusus bagi perempuan, baik berupa hak ataupun kewajiban. Dengan pengaturan ini, ada jaminan bagi proses tumbuh kembang anak, sehingga menjadi manusia dewasa yang terarah. Kemuliaan dan keagungan peran ini tergambar dalam sabda Nabi SAW:
“Surga berada di bawah telapak kaki ibu” (HR Ahmad). Hadits ini mengambarkan betapa saleh dan tidaknya seorang anak tergantung bagaimana sang ibu mendidiknya. Kalau ibu memberikan pendidikan dasar yang baik, maka kemungkinan besar anak akan tumbuh menjadi manusia yang shaleh. Sebaliknya bila ibu sampai keliru dalam mendidiknya, maka bisa jadi dia tumbuh dewasa jauh dari arahan Islam.
Sebut saja Imam Syafi’i, seorang ulama besar nan hebat. Dibalik kehebatan beliau, ada peran Ibu yang senantiasa mendukung, mendidik serta mendampinginya dalam setiap langkah belajarnya, hingga mengantarnya menjadi Ulama besar nan hebat. Perjalanan waktu membuktikan bahwa Muslimah berperan nyata dalam kegemilangan peradaban. Mereka menjadi mulia, cerdas, pintar dan bermartabat dengan keadilan hukum Islam. Maka jelas, generasi cemerlang pun lahir dari ibu yang cemerlang.
Allah Subhanaa Wata‘ala telah dengan jelas memperingatkan umat manusia untuk menjaga anak-anak, para generasi penerus. Firman Allah SWT:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ “ (QS Luqman [31]: 13).
Oleh karena itu, Islam begitu memuliakan wanita dengan berbagai aturan syara’. Tidak ada kemulian terbesar yang diberikan Allah bagi seorang wanita, melainkan perannya menjadi seorang Ibu. Bahkan Rasulullah pun bersabda ketika ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk kuperlakukan dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali bertanya, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, tanya laki-laki itu. “Ibumu”, “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)
Begitu penting peran seorang Ibu. Setiap Ibu pastilah memiliki cita-cita yang mulia bagi anak-anaknya. Sebagai seorang muslim, tentu cita-cita tertingginya adalah bagaimana diri dan keluarganya terhindar dari panasnya api neraka dan bersama-sama masuk surga-Nya.
Sebagaimana cita-cita mulia seorang shahabiyah, Khansa ketika melepas keempat anaknya ke medan jihad. “Wahai anak-anakku, kalian telah masuk Islam dengan sukarela dan telah hijrah berdasarkan keinginan kalian. Demi Allah yang tidak ada tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian adalah putra dari ayah yang sama dan dari ibu yang sama, nasab kalian tidak berbeda. Ketahuilah bahwa sesungguhnya akhirat itu lebih baik dari dunia yang fana. Bersabarlah, tabahlah dan teguhkanlah hati kalian serta bertaqwalah kepada Allah agar kalian beruntung. Jika kalian menemui peperangan, maka masuklah ke dalam kancah peperangan itu dan raihlah kemenangan dan kemuliaan di alam yang kekal dan penuh kenikmatan.”
Wasiat Khansa tersebut senantiasa di ingat dan kemudian mengantarkan keempat anaknya memperoleh syahadah fii sabilillah satu per satu. Demikianlah peran mulia seorang ibu, dan tidak ada peran yang lebih mendatangkan pahala yang banyak melainkan peran mendidik anak-anaknya menjadi anak yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Karena anak-anaknya lah sumber pahala dirinya dan sumber kebaikan untuknya.
Masyarakat, dengan elemen individu di dalamnya, adalah tanggung jawab negara. Maka, problem yang menimpa individu pada dasarnya
bermuara pada kemampuan negara dalam mengayomi dan mengatur warga negaranya. Sebagaimana dalam firman Allah Subhana Wa
ta’alla, QS Al – Baqarah:208 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”
Khilafah Memuliakan dan Mensejahterakan
Umat akan merasakan kemuliaan dan meraih kemenangan seperti generasi kaum muslim sebelumnya hanya jika umat Islam menerapkan aturan Allah dan Rasul-Nya yaitu hukum-hukum Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah.
Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum-hukum Islam. Allah SWT berfirman:
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]:50)
Maka, solusi mendasar dari semua persoalan yang kita hadapi sekarang –yang menyebabkan keterpurukan– ini hanyalah dengan mencampakkan sistem yang rusak dan kembali kepada sistem yang mampu memberi jaminan penyelesaian secara tuntas dan adil, yakni sistem yang berasal dari Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Adil, tidak lain adalah sistem Islam. Sistem Islam telah terbukti selama berabad-abad membawa umat ini pada kemuliaan dan martabatnya yang hakiki sebagai khayru ummah. Sistem Islam juga terbukti mampu menjadi motor peradaban dan membawa rahmat bagi seluruh manusia.
Islam memiliki aturan yang komperehensif yang menjamin keadilan bagi siapapun termasuk perempuan. Hanya sistem Islam yang memberi solusi atas setiap persoalan kehidupan yang berangkat dari pandangan yang universal mengenai perempuan. Yakni pandangan yang melihat perempuan sebagai bagian dari masyarakat manusia, yang hidup berdampingan secara harmonis dan damai dengan laki-laki dalam kancah kehidupan ini.
Islam telah menetapkan hukum-hukum syara’ dengan sangat rinci dan detil. Dengan hukum-hukum syara’ inilah, semua persoalan perempuan akan diselesaikan secara tuntas dan adil. Kemuliaan perempuan juga akan terjaga. Hal ini sejalan dengan pandangan Islam yang menetapkan peran dan posisi yang strategi dan mulia bagi perempuan, yakni sebagai pendidik dan penjaga generasi. Dan Islam menetapkan fungsi negara untuk menjamin agar peran dan posisi strategis dan mulia perempuan melalui penerapan hukum-hukum syara’ secara utuh dan konsisten. Hukum Islam yang total ini tidak akan berfungsi dengan sempurna kecuali hanya dalam wadah institusi Daulah Khilafah Rasyidah ’ala minhaj an-nubuwwah.
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” Cahaya (An-Nūr):55
Ditulis oleh: Dra. Sri Wahyuni Abdul Muin
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru