Samarinda - Beberapa hari terakhir tak sedikit masyarakat khususnya para Ibu Rumah Tangga (IRT) mengeluhkan sulitnya mendapat gas elpiji, jika ada pun harganya yang biasa hanya Rp 32 ribu menjadi Rp 40 ribu untuk setiap satu gas 3 kilo.
Merespons hal ini Wakil Ketua Komisi II, Wendie Lie Jaya, kondisi ini disebabkan adanya oknum-oknum yang melakukan penyelewengan atau melakukan (penyalahgunaan barang bersubsidi tersebut.
Sementara itu, Kelangkaan gas liquefied petroleum gas (elpiji) 3 kilogram atau gas melon di Penajam Paser Utara (PPU), khususnya di Kecamatan Penajam, telah diselidiki oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Diskukmperindag) PPU. Hasilnya? “Kelangkaan akibat ada keterlambatan pengiriman dari agen ke pangkalan. Tapi sejak kemarin semua sudah dikirim ke pangkalan,” kata Saidin, kepala Diskukmperindag PPU, Kamis (4/1).
Saat ini, kalaupun elpiji 3 kg tersedia, harganya dijual di tingkat pengecer hingga Rp 50 ribu per tabung atau jauh lebih tinggi dari harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Diskukmperindag) PPU. Sebelumnya, kesulitan gas elpiji 3 kilogram ini terjadi pada Oktober 2023.
Kini, pembelian liquefied petroleum gas (LPG) atau elpiji 3 kg wajib menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) mulai 1 Januari 2024. Elpiji 3 kg dengan warna tabung hijau merupakan bahan bakar memasak bersubsidi untuk kelompok masyarakat tertentu.
Memang beberapa hari terakhir ini marak pemberitaan di media bahwa telah terjadi kelangkaan gas melon dimana-mana. Tentunya ini menjadi keresahan ditengah-tengah masyarakat apalagi kita kaum ibu sangat kesulitan apabila gas melon tersebut susah didapatkan, tentu karena gas melon sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat.
Sungguh ironi, gas langka dan mahal terjadi tidak hanya di Berau tapi juga di Penajam Paser Utara (PPU) dan beberapa daerah Kaltim lainnya. Pada hakikatnya negara kita kaya akan sumber daya alam tapi nyatanya susah didapatkan meskipun ada harganya melangit.
Bahkan disebutkan, penimbunan selalu menjadi alasan kelangkaan dan mahalnya gas, termaksud kelangkaan pengantaran distribusi. Padahal kalau kita dikritisi lebih tajam semua ini karena regulasi dari pemerintah dan pengurangan kuota untuk mengurangi subsidi.
Padahal gas merupakan hajat hidup primer yang seharusnya wajib disediakan oleh negara tanpa terkecuali. Seharusnya kelangkaan gas ini tidak terjadi. Tentu ini sangat membuktikan bahwa kegagalan pemerintah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat.
Beginilah jadinya jika hidup dalam wilayah yang diatur dalam sistem ekonomi kapitalisme, peran negara hanya sebatas membuat regulasi untuk memudahkan para kapital meraih keuntungan. Tak sampai di situ, kebebasan dalam mengelola SDAE penyebab utama keruwetan ini. Gas yang harusnya dapat dinikmati rakyat dengan harga murah. Malah menjadi lahan bisnis segelintir orang, alhasil menguntungkan pihak korporasi dan mengorbankan kesejahteraan rakyat.
Berbeda dengan Islam. Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang mengatur persoalan ini. Islam memandang bahwa negara adalah pihak yang berkewajiban menyediakan kebutuhan rakyat meliputi sandang, pangan dan papan, termaksud juga pemenuhan kebutuhan seperti bahan bakar gas (LPG) tanpa harus terbayangi kelangkaan dan mahalnya kebutuhan tersebut.
Pengelolaan sistem ekonomi berbasis Islam meniscayakan ketersediaan gas yang merupakan sumber daya energi untuk rakyat bisa dinikmati dengan harga yang murah bahkan gratis dan merata tanpa terkecuali.
Gas merupakan jenis harta milik umum. Dimana akan dikelola oleh negara dan akan dikembalikan untuk kesejahteraan kaum muslim dan mereka berserikat didalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. “Kaum muslim berserikat dengan tiga perkara yaitu padang rumput, api dan air”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Demikianlah mekanisme Islam mengatur kehidupan bernegara. Masyarakat akan mendapatkan kemudahan dalam menjalani kehidupan mereka karena jaminan hidupnya sudah diurus oleh negara. Tidakkah seperti ini yang kita harapkan?
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Devi Ramaddani (Pemerhati Sosial)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru