Share ke media
Politik

GOLKAR DUKUNG SIAPA?

25 Sep 2018 01:00:561392 Dibaca
No Photo

Jelas sekali bahwa golkar masuk dalam koalisi partai pengusung Joko Widodo (Jokowi) - KH. Ma`ruf Amin (KHMA) dalam Pilpres 2019, tapi benarkah demikian? Coba kita lihat untung ruginya bagi Golkar!

Saat Pilpres 2014 dulu, Golkar dibawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB), masuk dalam koalisi merah putih yang mengusung Prabowo Subianto (PS) - Hatta Radjasa, namun saat itu hampir sebagian besar kader golkar yang bersama konstituennya, memberikan dukungan dan suaranya bagi Jokowi, terlebih karena cawapres nya saat itu Jusuf Kalla dedengkotnya Golkar. Golkar memiliki kepentingan dan Jokowi saat itu berada di atas angin dengan jargon “blusukan”, sangat rugi bagi Golkar bila tidak memberikan kontribusinya bagi kemenangan Jokowi.

Saat 2014 dulu, Golkar sangat diuntungkan dengan keberadaan JK dan LBP, banyak hal positif yang membuat Golkar dapat memiliki perolehan suara dan keuntungan posisi yang signifikan, sangat cantiknya politik yang dilakoni Golkar saat itu membuat posisi Setya Novanto sebagai Ketua DPR sekaligus Ketum Golkar dan kursi menteri bagi kader Golkar lainnya menjadi imbalan yang harus Jokowi berikan tapi itu tidak perlu kita bahas lagi dalam tulisan ini.

Pilpres 2019 sekarang ini tampaknya membuat Golkar bak buah simalakama karena bergabung di Koalisi Indonesia Kerja (KIK), tentu saja Golkar masih yakin dengan kemenangan Jokowi, dari perhitungan Golkar yang dieksekusi diajang Rapimnas, Jokowi memiliki peluang lebih besar dari calon lainnya untuk menjadi Presiden kedua kalinya, namun masuknya KHMA sebagai cawapres, membuat pilihan ini secara kepartaian tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi eksistensi perolehan suara dan posisi Golkar, baik pada momentum pileg yang berbarengan dengan Pilpres ataupun saat pemerintah berjalan setelah pemilihan nantinya.

Sosok Jokowi dan KHMA tidak ada benang merah dan hubungan emosional dengan Golkar, nihil coat-tail effect bahkan cenderung berimplikasi negatif, kalau kita mau bedah, maka partai lain lah yang diuntungkan dengan pasangan ini dan Golkar malah akan semakin terpuruk.

Analisa keterpurukan Golkar adalah pada sisi segmentasi pemilih Jokowi-KHMA, bukanlah segmentasi pilihan pemilih Golkar, segmentasi pemilih setia Golkar berada di PS - Sandiaga Uno (SU), sehingga sangat sedikit kader Golkar yang memerintahkan konstituennya untuk memilih Jokowi-KHMA, sebagian besar kader Golkar menyerahkan kepada konstituen untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya tanpa ada penekanan politik ke arah Jokowi-KHMA.  Bila seorang kader Golkar yang maju di Pileg, memerintahkan konstituennya untuk memilih Jokowi-KHMA, maka sama saja menyuruh konstituen untuk meninggalkan Golkar dalam pileg.

Golkar adalah partai yang berhaluan nasionalis, sehingga pemilihnya sebagian besar berfaham nasionalis walaupun banyak yang agamis (semua agama) ikut juga memilih Golkar sebagai partai lama yang mengakar dan dianggap berhasil memainkan peran politik yang baik selama ini.

Agamis yang Islam namun biasa dikenal dengan Islam abangan, Islam karena keturunan, Islam yang tidak mempelajari Islam dibangku sekolah layaknya santri, sehingga Islam abangan mudah terpengaruh untuk masuk ke faham Islam lainnya, berbeda dengan Islam putihan atau santri, Islam model ini sudah memahami secara jelas tentang Islam itu sendiri dan biasanya sudah memilik prinsip ke-Islam-an sesuai dengan yang dipelajarinya.

Jokowi-KHMA adalah pasangan nasionalis-agamis (Islam), seharusnya pemilih Golkar yang berideologi nasionalis bisa masuk ke Jokowi, namun Jokowi adalah PDIP, sejarah mencatat ada batasan yang jelas antara pemilih Golkar dan PDIP. Sedangkan pemilih Golkar yang berideologi agamis (Islam) seharusnya bisa memilih KHMA, namun KHMA milik partai politik yang berideologi Islam konservatif sesuai klaim PKB dan PPP. 

Sedangkan PS-SU adalah pasangan yang berideologi nasionalis-nasionalis, walaupun PKS mengklaim SU adalah santri post Islamisme bahkan disebut ulama, sehingga menyatakan Koalisi Indonesia Adil Makmur (KIAM) berfaham nasionalis-agamis (Islam). Klaim “jitu” untuk memberikan legalisasi atas penggalangan isu “kelompok umat muslim” yang selama ini telah digalang oleh PKS.

Sebenarnya Golkar sangat nyaman untuk berada di pasangan PS-SU ini, sebab Prabowo mantan kader Golkar, ditambah lagi secara internal, banyak tokoh-tokoh Golkar yang secara tegas tidak memberikan dukungannya kepada PS-SU tapi gerakan bawah tanah menyatakan hal yang sebaliknya, sangat jelas keberpihakan kepada PS-SU.

Konstituen Golkar yang agamis (sebagian besar Islam abangan) juga sangat terpengaruh dengan gerakan #2019GantiPresiden, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama melalui ijtima nya dan isu lainnya tentang pro nya PS-SU terhadap umat muslim yang berbanding terbalik dengan isu Jokowi yang kurang bersahabat dengan umat muslim melalui kebijakannya.

Kemanakah Arah Dukungan Tokoh-tokoh Senior Golkar?

ARB tidak akan pernah melupakan kenangan saat berjuang membela PS saat Pilpres 2014 dulu, dan hilangnya eksistensi politik ARB saat Jokowi berkuasa, akibat “politik pecah-belah” di tubuh Golkar. Momentum ini kembali hadir bagi ARB pada pilpres kali ini sehingga stasiun televisi TV One menunjukkan dengan jelas ke arah mana kiblat dukungan ARB saat ini.

JK yang sebelumnya menolak menjadi ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) KIK, kini bersedia menjadi ketua dewan penasehat, berada “hanya” di posisi ketua dewan Penasehat sudah memberikan signal bahwa JK bisa kemana saja arah politiknya. JK menjadi faktor kunci karena ketika Jokowi mengambil cuti saat kampanye maka JK lah yang menjadi sang maestro di Republik ini, karena menjadi pemimpin tertinggi, sementara Jokowi cuti, tentu saja dapat memberikan pengaruh dalam mengkonsolidasikan pemerintahan. Di sudut yang lain, orang-orang terdekat JK bermain dalam perahu PS-SU, sudah jelas gambarannya bukan.

LBP tetap diposisikan Jokowi seperti 2014 dulu, namun LBP juga menjadi faktor utama yang menjadi permainan isu tentang pelemahan kebijakan umat muslim di Indonesia, ditambah lagi banyak internal orang istana atau tim utama Jokowi yang kurang menyukai langkah-langkah yang dilakukan LBP dan tim ahlinya. LBP bagi Golkar saat ini tidak bisa memberikan efek positif bagi bergainning posisi kelak di pemerintahan dan bahkan melemahkan dalam suara pileg akibat isu-isu yang digaungkan kelompok muslim tertentu.

Golkar sekarang kehilangan sosok sentral, memang Golkar merupakan partai kader yang sangat kompetitif, tidak bergantung dari tokoh tertentu namun dalam politik tetap harus ada sosok sentral yang menjadi panutan sekaligus cantolan untuk bisa mengupgrade Golkar. Golkar kehilangan sosok sekaliber Akbar Tanjung atau ARB yang mampu melecut setiap kader untuk termotivasi dan mampu keluar dari keterpurukan. Tokoh sekelas Fadel Muhammad pun menyatakan Golkar pecah dalam Pilpres kali ini.

Airlangga Hartarto (AH) belum terlihat aura dan gerakan mercusuarnya yang bisa membuat semua mata memandangnya dengan kagum.  Jokowi harus dapat memposisikan Golkar sebagai partai penting yang harus di “selamatkan” serta diuntungkan dalam Pilpres, kalau pun agak sulit untuk hal tersebut karena membesarkan Golkar sama saja menenggelamkan PDIP maka paling tidak, memposisikan AH bukan hanya sebagai menteri yang membantu tugas Presiden, akan tetapi lebih sebagai ketua umum partai yang memiliki kader kapabel, serta melibatkan secara konkret tokoh-tokoh Golkar lainnya sebagai faktor kunci bagi kemenangannya, agar kader Golkar melihat dengan jelas bagaimana penghargaan nyata yang diberikan Jokowi bagi beringin.

Terlepas dari itu semua, kader Golkar banyak berucap, berjuanglah untuk pileg, menangkan pileg dan kuasai Senayan tanpa ada kalimat jelas tentang Pilpres. “Jokowi-KHMA ini semua tergantung anda untuk menentukan kemana arah Golkar”


Kader Golkar Muhammad Husni Fahruddin