Share ke media
Politik

Golkar Jokowi dan Golkar Prabowo

01 Jul 2019 07:00:083278 Dibaca
No Photo

Ketika pluit dukungan untuk Jokowi sebagai capres 2019 di tiupkan pada Rapimnas Partai Golkar pada 28 Juli 2016 dan ditegaskan kembali dalam Munaslub Partai pada 20 Desember 2017, inilah strategi jitu yang dirancang Airlangga Hartarto (AH) untuk memuluskan raihan puncak kepemimpinan tertinggi Partai Golkar.

Menilik keadaan Munaslub Golkar tahun 2017, AH mendapatkan dukungan penuh dari 34 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I, 514 DPD tingkat II, dan 10 ormas (didirikan, mendirikan dan sayap) ditubuh Golkar.

Sebelumnya, AH telah terpilih sebagai Ketua Umum menggantikan Setya Novanto pada rapat pleno yang digelar pada Hari Rabu, 13 Desember 2017 di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta. Munaslub ini telah menghasilkan keputusan untuk menetapkan (bukan memilih) AH melalui mekanisme aklamasi dan memilih satu opsi yang berbunyi AH berhak memimpin hingga 2019, plus rapimnas untuk membahas perpanjangan masa kepemimpinan AH.

Begitu ketatnya kontestasi Pilpres di tahun 2019, membuat banyak kader partai Golkar berkeyakinan bahwa Prabowo Subianto akan sukses memenangkan kursi presiden kali ini. Keyakinan ini yang membuat munculnya faksi ditambah lagi Golkar dan PDIP sulit seirama dalam memperjuangkan Jokowi karena kedua partai memiliki kultur sejarah yang penuh dengan friksi.

Terbelahnya Golkar sangat terasa sekali, faktual terlihat di komunitas-komunitas kader yang menyatukan diri secara formil dalam organisasi relawan pemenangan di kedua belah pihak, terutama di media sosial, perbedaan sikap kader dalam mendukung 01 dan 02 semakin meruncing.

Perdebatan hangat sampai panas intens terjadi untuk mempengaruhi dan mengarahkan kader Golkar beserta konstituen dalam memilih Jokowi dan Prabowo. Sampai pada satu titik kompromi yang memunculkan kompas gerakan bahwa pilihan personal kader untuk memberikan dukungan kepada Jokowi atau Prabowo didasarkan atas signifikansi pengaruh kedua capres dalam perolehan suara untuk pileg bagi Golkar.

Kompromi ini tidak pernah di legalkan oleh partai namun telah menjadi aturan tidak tertulis dalam pemilu serentak ini. Inilah gambaran wajah Golkar kekinian yakni Golkar Jokowi dan Golkar Prabowo. Padahal Akbar Tanjung telah susah payah menanamkan Golkar Kekaryaan. Golkar yang tidak ketergantungan dengan figur tapi lebih menitikberatkan kepada karya nyata yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat.

Perdebatannya kedua kutub ini juga tidak jauh dari konflik emosional dan cenderung tak empiris, sejarah “romantisisme” antara Golkar dan PDI di jaman Soeharto terus diperlebar, padahal politik adalah kepentingan bukan perseteruan, perdebatan politik identitas yang mengarahkan stigma absurd bahwa pendukung Prabowo adalah Islam sejati, yang mendukung Jokowi adalah Islam abangan, anti Islam dan non muslim, mengidentikkan Soekarno memiliki faham komunis atas dasar konsep politik nasakom, mendukung berseminya PKI, tak luput pula kebencian teramat sangat dengan Cina dan segala sesuatu yang berbau Cina akan menjadi senjata yang mematikan bagi Jokowi.

Banyak sekali tokoh-tokoh senior Golkar yang secara diam-diam memainkan kepribadian ganda, artinya diluar terlihat menjalankan perintah partai untuk memenangkan Jokowi namun kenyataan didalam sangat pasif bergerak, bahkan terkesan aktif memihak Prabowo.

Sejak quick count menyatakan kemenangan Jokowi, mulailah timbul manuver baru di internal Golkar untuk tidak terhempas ke jurang terdalam karena telah “khilaf” mendukung Prabowo. Gerakan pendomplengan kesuksesan AH dalam mengusung Jokowi ini dijalankan agar mendapatkan nilai tawar tinggi untuk tidak “puasa” selama periodesasi kedua kepemimpinan Jokowi.

Golkar Prabowo terus berteriak kepada Jokowi, wajib mendapatkan jatah Ketua MPR, minimal 4 kursi menteri, ketua-ketua komisi DPR, posisi strategis di badan-badan pemerintah termasuk juga BUMN dan yang lebih ekstrim lagi meminta Golkar untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan alias keluar dari koalisi dan menjadi oposan sejati.

Sedangkan Golkar rasa Jokowi sendiri cenderung pasif menunggu “arahan” dari Jokowi. Sesuai dengan karakter AH yang soft dalam berpolitik. Khawatir jatah kursi kekuasaan akan habis tanpa sama sekali melirik kubunya, Golkar Prabowo melakukan strategi ofensif, serangan dialihkan ke Airlangga karena akan menjadi blunder bila selalu menyerang rezim penguasa yang akan kembali berkuasa.

AH dianggap menciptakan Golkar yang tidak demokratis, selalu tunduk dengan penguasa, kapasitas ketum bukanlah sekelas menteri sehingga pimpinan partai tidak selayaknya menduduki posisi menteri yang merupakan pembantu Presiden, Golkar butuh pemimpin muda yang mewakili generasi millenial, yang akan mampu berkompetisi di tahun 2024 sehingga kepemimpinan seorang ketum haruslah membumi, terlihat elegan, flamboyan dan kharismatik  agar mampu mengupgrade suara golkar.

AH dikategorikan gagal dalam menahkodai partai karena hasil pileg membuktikan turunnya suara pemilih, kalaupun dinyatakan tetap sukses maka “kesuksesan” Golkar dalam pileg untuk tidak terjun bebas, lebih besar disebabkan karena kemampuan personal kader yang mengikuti pileg, bukan karena kekuatan ketum dan pengurus teras saat ini, kebiasaan ditubuh Golkar untuk tidak menjadi ketum selama dua periode dimunculkan walaupun isu itu tertolak oleh faktor Soeharto dan Akbar Tanjung, perancangan argumen dan diksi negatif lainnya kepada AH di media tulis dan elektronik bertujuan agar kader Golkar tersesat pikir untuk mendukung berlangsungnya munaslub.

Seantero politikus tanah air mafhum bahwa Golkar adalah partai yang selalu dekat dengan penguasa dan kekuasaan, sangat musykil untuk memunaslubkan Airlangga ketika saat ini sedang memiliki hubungan intim  dengan Jokowi. Lima tahun yang lalu, Golkar salah satu partai pengusung Prabowo, namun Jokowi tetap saja menjaga dan mengamankan partai kuning ini melalui tokoh-tokoh utama Golkar seperti BJ Habibie, Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan, apalagi sekarang ini, peran Golkar sebagai partai pengusung yang sejak jauh hari memproklamirkan Jokowi sebagai Presiden kembali.

Gerakan Golkar Prabowo ini adalah strategi naikan nilai tawar untuk mendapatkan keuntungan. Fakta ini didukung dari tokoh-tokoh yang masuk dalam kelompok suksesor munaslub, rerata di isi oleh tokoh dan organ yang gerakannya berafiliasi dalam pemenangan Prabowo. Penting bagi tokoh-tokoh Golkar agar tidak masuk perangkap pemberian dukungan menjadi calon pengganti AH. Saat ini mulai terlihat bagaimana jebakan itu telah mulai memakan korban.

Keadaan AH menjadi terjepit, ibarat buah simalakama dimakan mati ibu dan bila tak dimakan mati bapak, ketika Jokowi menjadi pemenang pilpres, posisi ketum partai menjadi seksi untuk dimiliki dan kursi-kursi pembagian kekuasaan menjadi target untuk diperebutkan, apalagi jika Jokowi kalah, sudah menjadi keniscayaan AH di munaslub kan, kelompok loyalisnya akan tersingkir dari kepengurusan, kursi-kursi menteri dan sederet jatah pembagian kerja keras politik akan dinikmati ketum baru hasil munaslub Golkar Prabowo.

Gerakan Golkar Prabowo sebenarnya bertujuan untuk membuka “jalan” agar AH sebagai ketum dapat memberikan kesempatan kepada blok kartanegara untuk menduduki kursi menteri dan posisi strategis lainnya, sulit bagi mereka bermain di wilayah rezim penguasa saat ini karena daftar hitam politikus Golkar yang membela Prabowo sudah ada di genggaman Jokowi. Satu-satunya solusi adalah meminta jatah melalui Golkar itu sendiri.

Secara objektif, penilaian terhadap kinerja AH sebagai ketua umum dalam tingkat kesuksesan dan kegagalan pileg dapat dilihat dari beberapa indikator. Indikator moralitas, Golkar di bumi-hanguskan dengan permasalahan sosial dan hukum, diawali dengan bola liar “Lumpur Lapindo” yang selalu di benang merahkan ke Abu Rizal Bakrie yang saat itu memiliki masa keemasan, isu ini begitu kuat di dengungkan dengan tema “menolak lupa” terutama oleh “pecahan” Golkar yang menjelma menjadi partai lain melalui media massa yang dimilikinya. Isu ini semakin menggerus kepercayaan publik kepada Golkar.

Begitu banyaknya pemain utama Golkar tersangkut masalah tindak pidana korupsi, melodrama Setya Novanto begitu menjadi tranding topic, ikon partai Idrus marham sebagai pemersatu kebuntuan kembali terhempas ketika Mensos ini dikaitkan dengan Eni Saragih, diperparah dengan penangkapan beberapa pentolan di daerah baik kepala daerah dan ketua DPD yang menjadi basis utama suara Golkar.

Indikator ketokohan, Golkar tidak memiliki godfather, setelah Soeharto, tidak ada lagi sosok yang bisa menyelaraskan perbedaan, disisi lain Golkar merupakan partai modern yang berkarakter dinamis dan kompetitif, segudang tokoh nasional dan daerah yang dimilikinya, membuat setiap orang mempunyai probabilitas yang sama untuk menduduki posisi pimpinan tertinggi di struktur organisasi dan kebebasan setiap kader  dalam menyalurkan pendapat dan aspirasi.

Indikator Pilpres, basis utama pemilih golkar ada di luar pulau Jawa dan di luar pulau Jawa merupakan basis suara prabowo, sedangkan di Pulau Jawa ada PDIP, PKB dan PPP yang memiliki afiliasi erat dengan Jokowi - Amin, diperparah dengan keegoisan sebagian kader yang tidak taat azas dalam menjalankan perintah partai bahkan cenderung memecah belah dukungan pilpres, menyebabkan para pemilih setia Golkar menjadi gamang dalam menentukan pilihannya, keadaan ini jugalah yang memunculkan keengganan 01 untuk memberikan kemanfaatan Pilpres kepada Golkar karena sikap kader yang menerapkan politik selingkuh alias politik tanpa komitmen.

Ketiga indikator pelemahan Golkar tersebut menunjukkan bahwa AH cukup sukses menghantarkan Golkar sebagai tiga besar peraih suara terbanyak pemilu legislatif dan dua besar peraih kursi terbanyak di DPR RI. Wajar sekali muncul ketidaksempurnaan Golkar dalam mengemas pileg kali ini, permasalahan yang ditinggalkan kepengurusan periode sebelumnya, perangkat struktural golkar yang masih amburadul di tingkat daerah seperti banyaknya pelaksana tugas ketua dan sederet kompleksitas masalah lainnya, memerlukan waktu pembenahan untuk menuju kesempurnaan.

Alamiah, manakala ada kepuasan dan ketidakpuasan dalam kepemimpinan seseorang, menjadi lebih ksatria bila seluruh kader Golkar menjadikan ajang munas bukan munaslub, sebagai arena mengasah keilmuan sekaligus mempertajam manuver politik untuk meraih kepuasan tertinggi dalam melampiaskan hasrat berpolitik.

Golkar adalah partai yang memberikan jalan bagi setiap kader untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam meraih status politik tertinggi. Itulah demokrasi yang hakiki, namun dalam politik, tetap ada rule of the game yang harus ditegakkan agar bola tidak selalu menjadi liar dan panas. Sepanas Golkar Jokowi dan Golkar Prabowo menjelang suksesi kepemimpinannya.

Penulis : Muhammad Husni Fahruddin Al Ayub (Kader Golkar)