Share ke media
Opini Publik

HIV/AIDS dan LGBT Ancam Generasi, Butuh Solusi Pasti

09 Dec 2022 01:56:54158 Dibaca
No Photo
ilustrasi gambar : dw.com - Kriminalisasi LGBT Halangi Penanggulangan HIV/AIDS - 2 Juli 2018

Samarinda - 1 Desember merupakan Hari AIDS Sedunia yang selalu diperingati setiap tahun. Peringatan Hari AIDS ini dilakukan untuk meningkatkan kesadaran terhadap bahaya penyakit HIV/AIDS yang disebabkan oleh penyebaran infeksi HIV. Namun sayangnya, agenda tersebut masih sebatas seremonial saja. Pasalnya, kasus HIV/AIDS terus meningkat tajam, bahkan  menjadi ancaman.

Melihat hal tersebut, pemerintah pun menargetkan tidak ada lagi kasus infeksi HIV baru, kasus kematian akibat AIDS, dan diskriminasi pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada tahun 2030. Pemerintah yakin target tersebut akan terpenuhi. Target itu rencananya dicapai dengan menjalankan strategi 95-95-95. Yakni 95 persen ODHA mengetahui status infeksi HIV-nya, 95 persen ODHA menjalani terapi pengobatan antiretroviral (ARV), dan 95 persen ODHA kadar virus dalam darahnya tersupresi. 

Di Kaltim sendiri, sebagai wujud kepedulian kepada masyarakat, PT Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan melakukan edukasi terkait pencegahan dan bahaya penyakit Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di kalangan pelajar, tepatnya dilaksanakan di SMA Negeri 5 Balikpapan pada Selasa, 22/11 lalu. Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Kalimantan Timur, hingga tahun 2019 jumlah pengidap HIV/AIDS di Kaltim mencapai 7.286 orang dengan latar belakang yang beragam, termasuk golongan pelajar (Prokal.co, 22/11/2022).

Pada kesempatan tersebut Arya Yusa Dwi Candra selaku Area Manager Communication & CSR Regional Kalimantan mengungkapkan kegiatan edukasi ini berawal dari keprihatinan akan perkembangan kasus HIV/AIDS khususnya di kalangan remaja dan pelajar. Edukasi pun dilakukan melalui sosialisasi yang disampaikan oleh tim medical Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan. Selain memberikan edukasi, diharapkan dengan kampanye penanggulangan penyakit HIV/AIDS dapat menekan risiko penularan penyakit menular ini. 

HIV/AIDS memang masih menjadi masalah kesehatan global dan nasional. Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari penyuluhan, pendampingan, upaya jemput bola, hingga sosialisasi alat kondom dan lain-lain. Tapi hasilnya nihil, karena usaha yang dilakukan belum menyentuh akar permasalahan yang menyebabkan HIV AIDS semakin mewabah dan merajalela. Pada dasarnya penyakit berbahaya ini bukanlah tanpa sebab. Penyakit ini tersebar luas karena prinsip kebebasan yang sudah mendarah daging pada generasi, salah satunya budaya seks bebas. Kebiasaan gonta-ganti pasangan merupakan sumber penularan pertama dan utama. Ketika mereka melakukan seks bebas dengan orang yang terinfeksi virus, maka pasangannya pun ikut terinfeksi. Apabila orang yang terinfeksi ini melakukan dengan banyak orang, akibatnya fatal banyak jiwa yang tertular.

Tak hanya itu, HIV/AIDS juga didominasi oleh kaum LGBT. Menurut data UNAIDS pada 2019, populasi penderita HIV dari kalangan Lelaki Seks Lelaki (LSL) dan transgender mencapai 18 persen. Sementara peningkatan risiko tertular HIV terbesar adalah kelompok LSL yakni 22 kali sementara kelompok transgender memiliki potensi risiko tertular 12 kali. Anehnya, peristiwa ini kemudian dijadikan sebagai momen penting dalam perjuangan gerakan hak-hak LGBT. Mereka berdalih, kekerasan dan diskriminasi yang dialami akan menghambat dalam mengakses hak-hak mereka, termasuk layanan kesehatan yang aman dan berkualitas, dan akan menghalangi upaya pencegahan HIV/AIDS. Sehingga, upaya ini akan terus digaungkan agar kelompok LGBT mendapatkan legalitas yang diyakini dapat mengendalikan infeksi HIV/AIDS demi target pada 2030.

Sesungguhnya, mengharapkan pengendalian HIV/AIDS melalui legalisasi LGBT hanyalah omong kosong. Sejatinya, tujuan yang paling utama adalah mewujudkan paham liberalisme yakni kebebasan berperilaku yang diyakini Barat sebagai hak dasar manusia. Oleh karena itu, upaya legalisasi LGBT ini tidak akan pernah berhenti, karena ia adalah wujud nyata eksistensi sekulerisme liberalisme yang menjadi arah pandang Barat. Legalisasi ini juga dibutuhkan untuk mengukuhkan ide mereka tentang hak asasi manusia, sehingga keterikatan terhadap hukum Islam dapat disingkirkan. Alhasil lahirlah generasi muslim moderat yang sangat terbuka dengan ide-ide dan gaya hidup ala Barat. Generasi semakin kehilangan jati diri, minim akhlak, serta lemah pemikiran, bahkan nyaris tidak mengenal agamanya.

Inilah agenda global yang diaruskan Barat untuk mengkampanyekan nilai-nilai yang merusak di negeri-negeri muslim. Bahkan dijadikan sebagai “strategi penjajahan” untuk melemahkan ketahanan negeri kaum muslim dengan merusak SDM-nya. Maka, sangatlah mustahil mewujudkan impian generasi bebas dari HIV/AIDS dan LGBT selama masih berkubang dalam sistem sekular liberal. Sistem ini justru menjadikan infeksi HIV dan penyimpangan seksual semakin subur dan mengancam kehidupan.

Untuk itu, butuh solusi pasti yakni sistem Islam guna menyelamatkan genarasi dari ancaman tersebut. Islam memiliki strategi yang tegas untuk mengatasi masalah penyebaran penyakit HIV/AIDS. Bahkan strategi ini sekaligus sebagai pencegah munculnya penyakit menular tersebut. Strategi ini telah terbukti mampu menjadikan masyarakat sebagai masyarakat beradab, dengan peradaban paling gemilang. Gambaran strategi yang diterapkan sebagai berikut:

 Pertama, Islam memberlakukan kewajiban menutup aurat baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dengan tertutupnya aurat, nafsu akan lebih terkendali sebab “pemandangan” yang dapat menggoda telah tertutupi.

Kedua, memberlakukan larangan ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan wanita), khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan wanita) kecuali ada hajat syar’iyah yang membolehkannya, dan larangan pacaran. Islam telah memberi ketentuan agar kehidupan laki-laki dan perempuan harus terpisah, baik di tempat khusus maupun di tempat umum. 

Ketiga, Islam memberlakukan larangan pornografi dan pornoaksi. Pornografi dan pornoaksi yang marak dijumpai baik di televisi, koran, majalah, baliho, dan media sosial dapat membangkitkan naluri seksual dan memberi jalan pada perzinaan. Oleh sebab itu harus dilarang tanpa kecuali.

Keempat, menerapkan sistem pendidikan Islam. Tujuannya adalah membentuk pola pikir dan pola sikap yang Islami. Dengan demikian diharapkan para generasi memiliki kesadaran untuk selalu terikat dengan hukum syariat dan membuang jauh gaya hidup yang bertentangan dengan Islam. Kelima, menerapkan/menegakkan sistem hukum dan persangsian Islam untuk memberantas perilaku yang beresiko menyebabkan penyebaran HIV/AIDS (seks bebas, perilaku seks menyimpang, LGBT, dan sebagainya). Sistem persangsian yang ditegakkan dapat menimbulkan efek jera. Terhadap pelaku zina misalnya, diberlakukan hukum rajam sampai mati dan cambuk seratus kali. Pelaku lesbi disanksi dengan hukum ta’zir (jenis hukuman diserahkan kepada qadhi, bisa cambuk, penjara, dll). Para pelaku homoseksual disanksi dengan hukuman mati. Sesuai dengan sabda Nabi Saw, “Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah keduanya.” (HR Al-khamsah, kecuali an-Nasa’ i).

Demikianlah strategi yang diberlakukan dalam sistem Islam untuk mencegah munculnya penyakit mematikan HIV/AIDS dan penyimpangan seksual. Oleh karena itu, kaum Muslimin wajib menerapkan sistem Islam secara kaffah untuk menghilangkan berbagai kerusakan yang disebabkan kemaksiatan tersebut.

Waalahua’lam bishshawab

Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis


Berita Terkait