Samarinda - Pembangunan IKN di Kalimantan Timur menjadi salah satul daya tarik investasi asing diberbagai sektor. Bahkan, presiden Joko Widodo membeberkan proyek pemindahan ibu kota negara (IKN) yang tengah dilakukan akan membuka peluang investasi di sektor infrastruktur senilai US$ 20,8 miliar. Nilai investasi itu setara dengan Rp 323,1 triliun bila menggunakan asumsi kurs Rp 15.523 per dolar AS. Hal itu disampaikan kepala negara saat membacakan pidato di acara Peluncuran Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) di KTT G20, di The Apurva Hotel Kempinski, Bali pada hari ini, Selasa, 15 November 2022 (Tempo.co, 15/11/2022).
Dalam pertemuan bilateral tersebut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Indonesia juga memperkuat kerja sama pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dengan Jepang. Basuki Hadimuljono selaku menteri PUPR mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Pemerintah Jepang khususnya MLIT dan JICA yang telah membantu dengan mengirimkan beberapa tenaga ahli, terutama untuk supervisi pembangunan infrastruktur IKN yang sedang berlangsung. Basuki juga menambahkah Kementerian PUPR sudah memulai pembangunan infrastruktur dasar di IKN sejak awal September 2022 lalu, di antaranya pembangunan jalan tol dan jalan nasional, penyediaan air baku, rumah untuk pekerja konstruksi IKN, serta penyiapan lahan siap bangun (land development) (Antaranews.co, 18/11/2022).
Tak mau ketinggalan, Korea Selatan pun berminat berinvestasi di IKN Nusantara yang disampaikan di sela-sela acara KTT G20. Hal tersebut disampaikan oleh Duta Besar RI untuk Korea Selatan, Gandi Sulistyanto. Sebagai bentuk keseriusan Korea Selatan sudah mengundang staf-staf dari Kementerian PUPR RI sebanyak seratusan orang untuk mengikuti training alih teknologi guna memperlancar realisasi investasi di IKN. Gandi mengklaim Korea Selatan akan berinvestasi di pelbagai sektor, seperti infrastruktur, pengembangan sumber daya air, hingga transportasi dan pengembangan smart city atau kota pintar.
Keterbukaan investasi di Benua Etam menjadi salah satu pendorong peningkatan realisasi investasi. Tak heran pemangku kebijakan terus memutar otak guna menguatkan magnet untuk menarik investasi asing dan mendapatkan pendanaan dalam pembangunan IKN. Hasilnya, Kaltim berbangga karena ada banyak investor asing yang memberi kepercayaannya dan bersedia menanamkan modal pada mega proyek tersebut.
Namun sayangnya, upaya berburu investor asing ini semakin menunjukkan ternyata nasib pembangunan IKN masih ditentukan oleh kekuatan asing. Padahal patut disadari, jika kedatangan mereka untuk menggerakkan roda perekonomian, apalagi berkaitan dengan bidang yang strategis dan sangat vital seperti pembangunan IKN, justru sangat membahayakan.
Investasi asing yang berkedok “kerja sama” atau berupa “kucuran dana” tentunya bukanlah makan siang gratis dalam sistem kapitalisme. Investasi yang disepakati oleh dua negara pastinya akan menuntut imbalan yang menguntungkan. Sayangnya, keuntungan bukan berpihak pada negeri ini. Lalu apa yang didapatkan oleh negeri ini? Bukan untung, tapi buntung. Pasalnya, negara, rakyat dan semua kekayaan alam wajib menjadi jaminan untuk dikuasai oleh asing.
Di sisi lain, saat swasta diberi kesempatan berinvestasi, misal dalam pembangunan sarana perumahan dan perkantoran di IKN. Lalu pihak pemerintah bisa menyewanya dengan cara alokasi cicil tahunan. Bisa dibayangkan, berapa banyak keuntungan yang diraup swasta. Selain dari sewa pusat pemerintahan, akan muncul permintaan baru pada sektor hunian dan fasilitas komersial penunjang lainnya. Ini semua tentu menjadi surga bagi para pemodal, sekaligus menjadi celah proyek basah baru bagi para pejabat yang biasa berkolaborasi dengan mereka. Inilah kerugian juga bahaya nyata di balik keterlibatan asing dalam proyek IKN. Bukan hanya mengambil keuntungan, intervensi asing akan menguatkan penjajahan gaya baru dan juga mampu menghilangkan kedaulatan negara.
Beginilah jadinya jika paham kapitalisme sekuler dipakai untuk mengurus negara termasuk dalam pembangunan IKN. Paham yang melahirkan sistem ekonomi kapitalisme liberal menjadikan negara tak berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat, melainkan sebagai pelayan bagi korporasi ataupun asing. Akhirnya investasi IKN menjadi solusi tanpa memperdulikan berbagai kerusakan yang ditimbulkan.
Di sinilah mengapa Islam mengharuskan sebuah negara mengelola negaranya sendiri dan tidak menyerahkannya kepada negara lain. Negara Islam dalam proses pemindahan .IKN memiliki landasan kebijakan ekonomi yang tegas dan menyejahterakan. Sistem ekonomi Islam yang diadopsi menggariskan bahwa kepemilikan ekonomi terbagi menjadi 3 ranah, yaitu, kepemilikan individu, umum dan negara.
Sumber energi, tambang, hutan, lautan dan kekayaan alam lainnya merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara untuk menyejahterakan rakyatnya. Sedangkan BUMN dan BUMD akan menjadi kepemilikan negara dan pemegang hak pengelolaan kepemilikan umum. Dengan demikian, akan tersedia sumber dana yang mencukupi dalam pembentukan ibukota.
Alhasil, negara tidak perlu investor asing karena memiliki sumber-sumber dana dalam negeri yang diatur dalam kebijakan kepemilikan ini. casino online bitcoin Namun, ketika kas negara yang ada di Baitulmal mengalami defisit, negara boleh mengambil pajak sementara (dharibah) dari kaum muslimin untuk membiayai infrastruktur, sebatas prasarana yang bersifat vital. Pajak hanya diberlakukan kepada kaum muslim yang laki-laki dan mampu (orang kaya), tidak pada yang lain. Ditambah lagi, negara Islam sangat memerhatikan aspek kemandirian dan tidak menggantungkan pembiayaan pembangunan dari hasil pinjaman asing.
Selain mengandung riba yang jelas haram, utang luar negeri merupakan ancaman bagi negeri Islam. Sehingga, meminta bantuan asing sama saja dengan memberi peluang bagi mereka menguasai kaum muslimin. Allah SWT berfirman: “..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (TQS. An Nisa: 141)
Dari sini tampak bahwa sistem Islam memiliki skema pembiayaan yang jelas dalam pembangunan IKN. Islam juga memastikan bahwa negara benar-benar memiliki perekonomian yang mandiri. Tidak bergantung pada asing, apalagi didikte oleh negara penjajah.
Wallahua’lam bisshawab
Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru