Share ke media
Ekonomi

Kaltim Tidak Seharusnya Berhutang

15 Jan 2019 06:00:501101 Dibaca
No Photo
Ilustrasi : Beratnya utang

Hutang sepertinya sudah menjadi sebuah kewajaran. Bahkan trennya saat ini ada kebanggaan kalau bisa mendapat hutangan. Padahal sejatinya hutang sedapat mungkin dihindari,  kecuali memang untuk keperluan yang sangat mendesak dan tidak ada alternatif lain, kecuali berhutang. termasuk pemerintah. Namun saat ini justru pemerintah mengutamakan hutang, entah untuk pembangunan infrastruktur, dana desa dan sebagainya, juga termasuk keperluan pemerintah daerah, pun tidak terlepas dari hutang. 

Seperti yang diberitakan (prokal.sangatta.com) proses peminjaman anggaran dari Bank Jateng, sudah memasuki tahapan pencairan. Rencananya dana tersebut cair Januari 2019. Bupati Kutim Ismunandar menuturkan, dana pinjaman tersebut seharusnya sudah masuk pada akhir 2018. Namun, terdapat kendala yang menyebabkan pencairan tersebut harus tertunda.  Saat ini, kami tinggal menunggu proses pencairan,”ujarnya saat diwawancarai di kantor bupati belum lama ini. Mekanisme pencairan harus melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD). Sebab pinjaman dari Bank tersebut tidak bisa langsung cair begitu saja. Memerlukan prosedur panjang dengan daerah.”Semuanya sudah selesai tinggal berkas-berkasnya saja,” tandasnya. 

Sebelumnya, menurut Ismunandar, pinjaman dana segar rencananya untuk membayar utang dengan pihak ketiga. Ternyata tidak boleh. Sehingga mau tidak mau, pinjaman dibayar untuk program kerja yang sudah tertulis dalam surat persetujuan dari Kemendagri dan Kemenkeu RI. Jumlah pinjaman yang diambil juga sudah tertulis di batang tubuh APBD-P 2018 dan nanti juga dimasukkan di APBD 2019. Ditemui terpisah, Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Kutim Irawansyah menjelaskan, tujuan penggunaan dana pinjaman sebesar Rp 273 miliar tersebut, rencananya digunakan untuk menutupi segala pembayaran yang kurang. Seperti infrastruktur, penyelesaian pembangunan yang sedang berjalan, juga kebutuhan prioritas lainnya.Uangnya akan masuk ke kas daerah pada januari 2019 nanti.

Adanya fakta demikian, tentu akan menjadi pertanyaan di mana peran pemerintah pusat dalam mengelola daerah? seberapa pentingkah pinjaman tersebut harus dilakukan? padahal kita ketahui bersama bahwa provinsi Kaltim-Kutim merupakan daerah yang kaya sumber daya alamnya, seharusnya dengan kekayaan tersebut Kutim mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan. 

Melihat kondisi demikian maka semakin mempertegas menunjukan bukti bahwa negara abai dalam urusan rakyat. Dan ini terjadi karena sampai saat ini negara menerapkan sistem kapitalis. Dimana dalam sistem kapitalis pembangunan dilakukan hanya fokus pada fisik/infrastruktur yang memakan biaya sangat besar, penilaian keberhasilan pembangunan juga hanya pada penampilan infratrukstur yang akhirnya membuat daerah-daerah berlomba-lomba memperbagus fisik. 

Hubungan pusat-daerah adalah hubungan persaingan. Tampak dalam bagi-bagi hasil kekayaan negara dan daerah atas nama kepentingan negara. Akhirnya pusat mengorbankan daerah, dan akhirnya menyebabkan daerah harus mencari solusi sendiri untuk mendanai proyek pembangunan tersebut, termasuk dengan cara berutang ini. Kondisi ini bak lingkaran setan yang tak akan pernah selesai, jika negara terus-menerus menganut mazhab kapitalis, yang terbukti sudah rusak sejak dari akarnya. Dengan penerapan mazhab kapitalis ini, maka dapat dipastikan daerah tidak akan pernah dapat mensejahterakan rakyatnya.

Secara syariah, Islam memiliki seperangkat aturan bagaimana seharusnya negara mengelola ekonomi dan keuangan secara konferhensip dan berkeadilan berdasarkan hukum syara, karena kita sebagai manusia memang seharusnya segala aktivitas disandarkan pada ketentuan yang digariskan oleh syara’. Dalam Islam negara wajib bertanggung jawab dalam mengurus rakyatnya karena dialah yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas setiap urusan rakyatnya. 

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rakyatnya secara keseluruhan, Islam telah menetapkan pemenuhannya kepada negara secara langsung. Rasulullah SAW bersabda : ”Imam (kepala negara) adalah bagaikan pengembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengembalaannya (HR al-Bukhari dan Muslim). 

Dalam hal keuangan negara sifatnya sentralistik. Dimana semua potensi-potensi keuangan terkonsentrasi dipusat. Kemudian, pemerintah pusat yang akan mengalokasikan ke tiap-tiap daerah berdasarkan jumlah setoran. Maka masing-masing daerah akan mendapatkan dana berdasarkan pengajuan kebutuhan daerahnya. Sehingga pembangunan dan kebutuhan rakyat akan merata baik daerah basah maupun daerah kering. Sehingga daerah yang miskin sumberdaya alam tidak perlu iri terhadap daerah yang kaya. Dengan konomi Islam, diyakini menjadi solusi yang konprehensif dan terintegrasi dengan sistem lainnya seperti pengelolaan kepemilikan umum salah satunya tambang dan sumber energi. 

Pajak dipungut hanya bila kas negara kosong, dan objek pajaknya hanyalah kaum muslim yang kaya saja. Negara boleh berutang bila kas negara kosong dan pajak yang dipungut belum terkumpul, namun negara tidak boleh meminjam dengan bunga/riba. Selain itu, negara juga harus mempertimbangkan kedaulatan dan keselamatan negara dan kaum muslim dalam menentukan pihak yang dimintai hutang. Dan jika dalam kondisi kas negara minim, maka pengeluaran negara diprioritaskan untuk pegeluaran rutin seperti gaji pegawai negeri (pns), tentara dan polisi serta fakir miskin yang menjadi tanggungan negara. Kalaupun ada infratruktur yang harus dibangun maka negara harus memastikan kegentingan keberadaan infrastruktur tersebut. Bila masih dapat ditunda maka itu lebih baik hingga kas negara kembali normal. 

Pusat dapat meminta masukan dari majelis wilayah tiap-tiap daerah tentang prioritas pembangunan di daerah masing-masing terutama saat kas negara minim. Ini masih sebagian kecil bagaimana Islam memiliki seperangkat aturan untuk mengatur urusan manusia, oleh karenanya sudah waktunya negara membuang jauh-jauh pandangan dan penerapan kapitalisme dan menetapkan kiblat pengelolaan negara pada syariat Islam semata, sehingga tidak terjadi lagi pembangunan yang dilandasi dengan utang apalagi dengan hutang riba. Wallahua’lam.(*Red/dr) 

Ratna Munjiah (Pemerhati Sosial Masyarakat)