Share ke media
Keagamaan

Kamp Genosida Muslim Uighur

21 Dec 2018 08:00:51900 Dibaca
No Photo
Ilustrasi : Keluarga dari etnis Uighur berdoa saat perayaan Idul Adha di provinsi Xinjiang, Cina, pada 12 September 2016. (BBC News | Indonesia 21 Desember 2018)

SERAMBINEWS.COM, XINJIANG – Jangankan untuk berdoa dan bersujud di masjid, sekadar pemilihan nama-nama dengan identitas keislaman pun tak pernah mudah bagi lebih dari 10 juta jiwa Muslim di wilayah Xinjiang, Cina Barat.

Mereka adalah etnis Uighur, etnis Muslim yang mendominasi hampir setengah populasi Xinjiang. Sudah sejak bertahun silam, aturan dan kebijakan baru dibuat oleh Pemerintah Cina untuk wilayah otonomi Xinjiang. Peraturan tersebut melarang warga Uighur menggunakan burka, memiliki jenggot panjang, menggunakan nama-nama tertentu (yang di dalamnya termasuk nama Muhammad), dan bahkan berpuasa saat Ramadan.

Walau selalu dalam penyangkalan Pemerintah Cina, semua aturan di Xinjiang itu membuat mayoritas Muslim Uighur terdiskriminasi, mereka tak bebas berislam. (18 desember 2018 Kondisi muslim Uighur yang tak bisa berislam dengan baik sudah terjadi sejak lama. Pemerintah China melakukan banyak sekali pembatasan bagi etnis minoritas ini. 

Bahkan diberitakan pusat pendidikan vokasi di Dabancheng, wilayah Xinjiang mirip kamp konsentrasi perang. Para penjaganya dilengkapi dengan tongkat listrik kejut, gas air mata, dan tongkat. Bangunan tersebut disinyalir merupakan pusat rehabilitasi kontra terorisme. Kurang lebih 3 juta muslim berada didalamnya, dari 12 juta muslim yang hidup di Xinjiang. 

Muslim Uygur dianggap sebagai para ekstrimis yang wajib direhabilitasi. Para petugas di pusat-pusat tersebut memberikan “pendidikan ideologis, rehabilitasi psikologis dan koreksi perilaku”. Sekalipun pemerintah China membantah fakta ini, namun sejumlah utusan Amnesty Internasional dan LSM Ham memberikan keterangan yang membenarkan fakta tersebut. 

Mengenal Etnis Uighur, Xinjiang China Uighur adalah etnis minoritas di China yang secara kultural lebih dekat terhadap bangsa Turk di Asia Tengah, ketimbang mayoritas bangsa Han. Turmeskistan Timur dahulu adalah wilayah merdeka sebelum aneksasi dinasti Qing, China. 

Saat ini mayoritas suku Uighur berdiam di Xinjiang yang terletak di ujung barat Cina, dan merupakan wilayah terbesar di negeri itu. Sebagai daerah otonom - setidaknya secara teori - Xinjiang memiliki semacam pemerintahan sendiri, yang agak jauh dari kendali Beijing. 

Muslim Uighur mencakup setengah dari sekitar 26 juta penduduk di wilayah ini. Xinjiang merupakan rumah dari etnis Uyghur yang hidup berdampingan dengan komunitas lain yang lebih sedikit jumlahnya seperti etnis Kazakh, Kirghiz, Mongol, Tajik, Rusia serta pendatang Han dan Hui dari China belahan timur. 

Ekspansi China dimulai antara Perang Dunia Pertama dan Kedua dan berlanjut hingga awal 1960an. Selama proses ekspansi, beberapa negara merdeka secara sistematis dianeksasi oleh rezim Han China. China menduduki negara-negara merdeka seperti Turkmenistan Timur atau Xinjiang masa kini, Mongolia Dalam dan juga Manchuria. Kebijakannya makin reprezif saat negeri Tirai Bambu ini berhaluan komunis. 

Akar Masalah Penderitaan Muslim Uighur Ada beberapa ungkapan khusus yang dipakai untuk menggambarkan situasi minoritas muslim di Uighur. Kata yoq, misalnya, digunakan untuk menyebut “hilang”. Lalu, adem yoq diartikan dengan “semua orang menghilang”. Sementara weziyet yaxshi emes merujuk pada “kondisi sedang tidak baik”. Ungkapan-ungkapan tersebut merangkum penindasan pemerintah Cina terhadap muslim Uighur, Agustus silam, sebagaimana diwartakan BBC. Pada 1949, setelah Partai Komunis Cina memenangkan perang sipil, Beijing secara resmi mengklaim Xinjiang sebagai wilayahnya. 

Pemerintah memberikannya status wilayah otonom bernama Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR). Pemberian otonomi didasari faktor ekonomi, mengingat Xinjiang menyimpan cadangan minyak dan mineral yang cukup besar. Tak hanya itu, Xinjiang jadi pintu masuk Cina ke Asia Tengah dan Timur Tengah; dua wilayah yang kini jadi salah dua lumbung investasi Cina. Pada 1954, Cina mendirikan Xinjiang Production and Construction Corps (XPCC) untuk menggarap pemukiman dan pertanian. Proyek ini berlangsung selama kurang lebih setengah abad. Pada awal 1990-an, zona ekonomi khusus diberlakukan di Xinjiang. Beijing mensubsidi petani kapas lokal dan merombak sistem perpajakannya. 

Masih dalam periode yang sama, pemerintah pusat mengucurkan modal untuk proyek-proyek infrastruktur, misalnya dengan membangun Tarim Desert Highway dan jalur kereta ke Xinjiang barat. Tingginya arus pembangunan memicu arus kedatangan pekerja migran ke Xinjiang, khususnya etnis Han, yang tak lain adalah suku terbesar di Cina. Walhasil, populasi Han di Xinjiang meningkat secara dramatis; dari yang semula hanya 6,7% (220.000) pada 1949, melonjak jadi 40% (8,4 juta) pada 2008. 

Dampak jangka panjang dari migrasi suku Han adalah gesekan sosial. Akses masyarakat Uighur ke air bersih dan tanah kian terbatas. Kesenjangan ekonomi meningkat akibat praktik perekrutan pekerja yang diskriminatif. Etnis Han makin kaya, sedangkan orang Uighur kian miskin di tanah leluhurnya sendiri. 

Faktor Ideologi, Pasca-911, seiring masifnya “Perang Melawan Teror”-nya Bush, Beijing mulai meningkatkan kewaspadaan di Xinjiang. Mereka menangkapi pihak-pihak yang diduga terlibat “kegiatan keagamaan ilegal,” membungkam para ulama di Kashgar yang dicap menyuarakan pesan-pesan ekstremis, hingga tak ragu menutup masjid di Karakash, demikian tulis Dana Carver Boehm dalam “China ‘s Failed War on Terror: Fanning the Flames of Uighur Separatist Violence” (2009, PDF) yang terbit di Berkeley Journal of Middle Eastern & Islamic Law. 

Gesekan di Xinjiang makin diperburuk oleh kebijakan Beijing selama beberapa tahun belakangan. Pemerintah pusat melarang masyarakat Uighur menjalankan puasa Ramadhan atau mengenakan jilbab, cadar, dan memelihara janggut. Hingga hari ini derita berkepanjangan muslim Uighur belum juga reda. 

Bebaskan Derita Muslim Uighur Kamp-kamp kosentrasi dibangun dengan dalih membangun sekolah vokasi demi meningkatkan ketrampilan penduduk Xinjiang. Padahal seperti dilansir utusan PBB bangunan tersebut dibangun untuk melakukan cuci otak. Semua harus mengikuti haluan politik ideology pemerintah pusat. 

Dunia pun mengutuk keras hal ini. Patut untuk menunggu sikap Negara-negara muslim yang tergabung dalam OKI. Patut juga menunggu suara negeri muslim terbesar di dunia, Indonesia. China dengan jumawa menantang bahwa Uighur adalah urusan dalam negeri, maka Negara lain tak berhak ikut campur. 

Sebagaimana Rohingya, Uighur pun mengalami genocida. Pembersihan etnis dilakukan. Maka seharusnya hal yang dilakukan negeri-negeri muslim dunia adalah mengirimkan tentara membebaskan Uighur. Kutukan dan pernyataan keras tak akan mempan menghentikan Beijing melakukan tindakan lalim atas muslim Uighur. Mungkin ini sesuatu yang mustahil, namun patut untuk digagas. Minimal Negara Negara OKI yang notabene memiliki kesamaan agama. 

Seperti Panglima Qutaibah dimasa Khalifah Al Walid bin Abdul Malik pada 86 H/705 M. dengan pasukannya Qutaibah mengepung wilayah seperti Kyrgistan, Bukhara dan Samarkand di Asia tengah. Wilayah tersebut berbatasan dengan kekaisaran China di masa lalu. Panglima Qutaibah dan Kekaisaran China kemudian melakukan hubungan kerjasama perdagangan. Maka wilayah Asia Tengah pun aman. Jalur sutra berjalan dengan damai. Wallahu’alam bi showab. 

Oleh : Dwi Agustina Djati, S.S (Pemerhati Berita)