Samarinda - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat harga minyak goreng mulai naik pada pekan keempat Februari 2024.
Inspektur Jenderal Kemendagri Tomsi Tohir mengatakan minyak goreng menjadi satu dari tiga komoditas utama yang harganya melonjak. Sedangkan dua lainnya adalah beras yang harganya tak kunjung turun serta cabai merah.
Kemendagri lantas meminta Kementerian Perdagangan memelototi dengan seksama apa biang kerok kenaikan harga minyak goreng di tanah air tersebut. (BontangPost, 29/02/2024).
Fenomena kenaikan harga kebutuhan pokok ini selalu menghantui masyarakat setiap tahunnya terutama menjelang hari-hari besar seperti Ramadhan dan Lebaran. Seharusnya, dalam menghadapi bulan suci Ramadhan dan Lebaran masyarakat dapat menjalankan ibadah puasa dengan tenang dan berbahagia dalam menyambut Lebaran, namun sayangnya dengan kenaikan harga minyak ini, termasuk juga beras, cabai dan lainnya justru membuat rakyat semakin pening. Karena harus berpikir bagaimana caranya dapat merogoh kocek yang lebih dalam untuk belanja kebutuhan makan sehari-harinya.
Adapun, hal ini terjadi biasanya karena persoalan distribusi sebagai dampak beberapa faktor, mulai dari penimbunan yang dilakukan oknum pedagang nakal, tingkat produksi yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar oleh perusahaan swasta yang diwajibkan mengikuti kebijakan DMO (Domestic Market Obligation), peningkatan biaya-biaya, efek ekonomi global dan lain sebagainya.
Dengan demikian, ini menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam menjaga kestabilan harga pasar. Khususnya harga minyak goreng, hal ini menjadi sangat ironi, mengingat negara Indonesia merupakan negara agraris dan sebagai penghasil sawit terbesar nomer satu di dunia.
Inilah salah satu potret carut marut harga dalam penerapan sistem kapitalis di Indonesia yang berlandaskan akidah sekularisme, sehingga wajar apabila ada pihak-pihak yang nakal atau tidak amanah dalam mekanisme pasar, termasuk juga didalamnya ada monopoli dagang oleh pemodal besar, adanya kartel-kartel, mafia-mafia dan premanisme pasar.Paham sekularisme itu menyebabkan kurangnya kesadaran manusia untuk taat kepada aturan Tuhan yang Maha Esa atau Allah Subhana wata’ala dalam menjalankan perannya masing-masing. Hal ini juga berangkat dari paket dalam sistem kapitalis itu sendiri, yakni negara hanya sebagai regulator dan partner bagi pengusaha atau pemilik modal. Wajar, apabila kebijakan-kebijakan itu berpihak pada pengusaha dengan dalih penciptaan lapangan kerja.
Berbeda dengan Islam dalam mengatasi problematika umat tersebut. Yakni, dalam pandangan Islam, Negara adalah periayah atau pengurus rakyat. Negara yang berperan sebagi periayah atau pengurus umat, akan membuat kebijakan-kebijakan yang adil bagi semua pihak, mulai dari petani, pengusaha, dan konsumen. Sebagaimana dalam sebuah hadist, Rasulullah SAW bersabda “Imam atau khalifah adalah raain atau pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR. Ahmad Bukhari).
Berdasarkan hadist tersebut, kita dapat melihat Islam tidak hanya sebagai agama spiritual semata melainkan juga sebagai sistem kehidupan. Ketika Islam sebagai agama ia hanya untuk umat beragama Islam, namun ketika Islam sebagai sistem kehidupan maka peraturannya berlaku bagi umum, atau yang sering kita dengar dengan ungkapan “Islam adalah rahmat bagi seluruh alam”.
Sistem kehidupan yang berlandaskan akidah Islam membangun kesadaran manusia akan Penciptanya dalam menjalankan perannya dalam kehidupan sehari-sehari. Oleh karena itu, pastilah pihak-pihak yang berperan penting dalam mekanisme pasarpun akan amanah.
Salah satu contoh penerapannya, yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dalam mengurus rakyatnya. Pada masa kota Madinah dalam kondisi paceklik. Khalifah umar bin Khattab mengirim surat perintah kepada para gubernurnya untuk mendatangkan makanan dari daerah-daerah mereka ke Madinah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dan menjaga kestabilan pasar.
Dengan demikian pemerintah dengan sistem Islam, yang berperan sebagai periayah atau pengurus umat, pastilah membuat kebijakan-kebijakan yang adil bagi semua pihak, mulai dari petani, pengusaha, dan konsumen. Sehingga akan menciptakan kestabilan pasar, harga terjangkau, terhindar dari monopoli, penimbunan, kartel-kartel, mafia-mafia, dan premanisme pasar. Dengan Islam Insyaallah lebih barakah.
Wallahu’alambissawab.
Oleh : Ummu Hamidah (Pemerhati Masalah Sosial)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru