Samarinda - Kekerasan seksual lagi-lagi mengalami peningkatan kasus, terutama di lingkup pendidikan di semua jenjang. Perguruan tinggi menempati urutan pertama dalam hal terjadinya kasus kekerasan seksual terbanyak antara tahun 2015-2021 (Komnas Perempuan, 2021). Menurut siaran pers Komnas Perempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak 338.496 kasus kekerasan seksual yang telah diadukan pada tahun 2021. Baru-baru ini kekerasan seksual kembali terjadi di lingkungan kampus. Lebih mengejutkan lagi pelaku kekerasan seksual tersebut adalah aktivis kampus.
Semakin meningkatnya kekerasan seksual di lingkup kampus maka dibentuklah satgas PPKS. Pembentukan satgas PPKS ini sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknolog (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS di lingkungan Perguruan Tinggi. Berdasarkan data 1 September 2023, telah terbentuk petugas satgas PPKS di lingkungan kampus sebanyak 2.594 orang dari sejumlah perguruan tinggi negeri dan swatsa di wilayah Republik Indonesia. Satgas PPKS merupakan lembaga yang bertugas untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Satgas PPKS terdiri dari unsur pimpinan perguruan tinggi, pendidik, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan/atau alumni. Anggota Satgas PPKS dipilih melalui seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi yang dibentuk oleh pimpinan perguruan tinggi.
Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tingi atau kampus tentunya sangat mengkhawatirkan berbagai kalangan baik pihak akademisi, masyarakat dan orangtua. Kampus yang seharusnya menjadi tempat yang menjunjung tinggi norma-norma kehidupan serta aman untuk menuntut ilmu, khususnya bagi mahasiswa malah menjadi tempat yang mengancam keselamatan dan tidak memberikan rasa aman dan nyaman.
Pembentukan satgas PPKS di sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta nyatanya saat ini tak mampu mencegah maupun menanggulangi kekerasan seksual di kampus. Tidak akan mampu tanpa dibarengi upaya pencegahan yang komprehenshif dari semua pihak. Sehingga pembentukan Satgas PPKS merupakan solusi yang tak menyentuh akar permasalahan.
Tatanan kehidupan sekuler yang membuat generasi saat ini berperilaku jauh dari aturan agama, serta menghasilkan kebebasan individu dan hak asasi manusia yang memudahkan terjadinya kekerasan terhadap orang lain termasuk kekerasan seksual.
Peningkatan kekerasan seksual di lingkup kampus ini disebabkan karena pengaruh gaya hidup yang hedonis yang memberikan pengaruh buruk terhadap perilaku seseorang demi tercapai apa yang diinginkannya. Semakin tinggi gaya hidup hedonis seseorang, maka perilaku seksual pranikah semakin tinggi. Hedonisme adalah paham atau aliran dimana orang akan memburu kesenangan dunia, termasuk pemuasan sex, kenyamanan hidup, kemewahan dan pola hidup yang foya-foya karena ingin menjadi pusat perhatian (Lingga, 2010).
Kehidupan dengan sistem sekuler menghasilkan perilaku yang bebas atau liberal. Pergaulan laki-laki dan perempuan (yang bukan mahramnya) di suatu tempat secara campur baur dan terjadi interaksi di antara mereka (misal bicara, bersentuhan, berdesak-desakan), merupakan tindakan ikhtilat yang dilarang oleh syariat Islam. Sedangkan dalam kehidupan sekuler hal tersebut adalah hal yang lumrah dan merupakan hak kebebasan dalam pergaulan.
Hukuman sosial dan pelanggaran kode etik juga tidak mampu membuat pelaku jera dalam kasus kekerasan seksual. Lemahnya penegakan hukum atas kasus kekerasan seksual banyak yang tidak terselesaikan dan berujung damai. Padahal sanksi tegas yang akan membuat jera adalah langkah untuk memutus mata rantai kekerasan seksual. Oleh karena nya perlu adanya aturan yang harus diperbaiki secara sistemik dan komprehenshif.
Tindak kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus tidak akan ditemui dalam kehidupan yang diatur oleh syariat Islam secara kaffah. Penerapan aturan Islam secara kaffah sebagai asas kehidupan akan mampu memberantas kekerasan seksual secara tuntas, tidak hanya dalam lingkup perguruan tinggi namun dalam semua lini kehidupan.
Penerapan Islam secara kaffah akan menjadikan interaksi laki-laki dan perempuan terpisah sesuai tata pergaulan Islam. Setiap individu akan menjadikan akidah Islam sebagai asas kehidupan, bukan hanya sebagai ritual ibadah saja, karena semua dilakukan atas dasar dorongan ketaqwaan kepada Allah. Setiap individu akan hidup dalam suasana yang aman karena menutup aurat, menundukkan pandangan dan menghindari khalwat dan ikhtilat, yang semua itu akan membentuk kepribadian aqliyah dan nafsiyah islamiyah yakni pola pikir dan pola sikap Islam.
Keimanan dan ketaqwaan setiap individu akan menjadi benteng yang menjauhkan dari kemaksiatan dan tindak kejahatan termasuk kekerasan seksual. Hal ini tentu saja akan dirasakan ketika Khilafah Islamiyah tegak karena penerapan syariat Islam kaffah hanya bisa diterapkan dalam institusi tersebut.
Wallahu A’lam Bishawab
Oleh : Rika Okpri Dianasari (Pemerhati Generasi & Keluarga)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru