Samarinda - Entah apa yang sedang terjadi dengan dunia pendidikan di kota Balikpapan. Dalam tiga bulan terakhir, sudah ada tiga orang guru divonis bersalah karena melakukan pencabulan. Terbaru, Pengadilan Negeri Balikpapan kembali menyidangkan perkara pencabulan yang didakwakan kepada salah seorang guru Sekolah Dasar (SD) Negeri di Kecamatan Balikpapan Utara, berinisial HRS (36).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara ini, Septiawan SH mengatakan, HRS didakwa melakukan pencabulan terhadap muridnya. Tidak hanya 1 anak, tapi ada 4 murid perempuan yang mengaku menjadi korban dari HRS.
Di tempat berbeda, Polsek Samarinda Seberang menangkap guru mengaji, inisial W, usia 66 tahun, pada hari Selasa 22 Oktober 2024 pukul 14.30 WITA. W kepada polisi mengakui, dia melancarkan aksinya dengan modus mengiming-imingi atau menjanjikan korban dengan hadiah 1 unit Ponsel pintar dan uang jajan kepada korban. Ia melakukan pencabulan terhadap anak muridnya dilakukan sudah 10 kali dan mulai terjadi sejak Juli 2024. W kini dijerat dengan pasal 82 ayat 1 Jo 76E UU RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU RI Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman penjara paling singkat selama 5 tahun dan paling lama 15 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 5 miliar. ( https://headlinekaltim.co )
Peristiwa pencabulan di dunia pendidikan juga terjadi di wilayah DKI Jakarta pada Selasa ( 8/10/2024), 11 siswa SMKN 56 Jakarta mengaku menjadi korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan guru seni budaya di sekolah kejuruan. (Antara news, 9/10/2024)
Kasus kekerasan asusila terhadap anak di bawah umur, membuat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutim, Yan angkat bicara. Ketua Komisi D yang membidangi permasalahan Pemberdayaan Perempuan itu memberi tanggapan perihal pencabulan anak di bawah umur yang terjadi di lembaga-lembaga pendidikan di Kutim.
Hal ini diungkapkannya saat dikonfirmasi belum lama ini. Dia menyayangkan hal itu, karena tenaga pendidik yang semestinya menjaga dan mendidik malah melakukan hal tidak senonoh. (Kotaku.co.id, 10/07/2024)
Sungguh miris, kasus pelecehan seksual terus terjadi. Bahkan kasusnya semakin banyak. Bukan hanya di satu tempat, tapi terjadi di banyak tempat, bahkan melanda dunia pendidikan.
Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan (Kemen PPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data Kemen PPA, pada 2022, kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus).
Sekulerisme Biangnya
Dunia pendidikan tercoreng akibat ulah oknum guru yang melakukan kejahatan, yaitu oknum guru yang tega melakukan tindakan asusila kepada anak didiknya. Hal ini terjadi bukan hanya di satu kota, tapi terjadi di banyak kota di Indonesia. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat menempa ilmu dan kebaikan, malah menjadi tempat tindakan asusila. Hal ini adalah akibat dari gagalnya pendidikan kita saat ini dalam membentuk pribadi yang bertakwa. Pribadi yang taat kepada Allah dan takut berbuat dosa.
Padahal tujuan pendidikan seharusnya adalah membentuk pribadi yang berilmu, berakhlaq mulia dan bertakwa. Tapi hal ini tidak terwujud dalam sistem pendidikan kita saat ini. Sistem pendidikan yang lahir atas asas sekularisme hanya mampu mencetak lulusan yang pandai dalam sains dan tekhnologi tapi minim adab dan keimanan.
Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, kebebasan dijunjung tinggi. Karena dalam sistem kapitalisme, kebebasan adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dihormati. Maka tidak heran jika banyak orang yang bebas berpakaian apapun sesukanya, meskipun pakaian yang dipakai bisa mengundang syahwat. Mereka juga bebas bergaul dengan siapa pun asal tidak mengganggu orang lain padahal kebebasan bergaul antara laki-laki dan perempuan dapat menghantarkan pada permasalahan lain seperti perselingkuhan, pemerkosaan, sodomi dan pelecehan seksual lainnya.
Prinsip kebebasan tegak atas sekularisme yang mencampakkan aturan Sang Pencipta. Dalam sistem ini, manusia meyakini bahwa aturan Allah tidak memiliki otoritas untuk mengatur kehidupan sosial dan negara. Sistem sekuler menjadikan manusia hidup bebas dan tidak terikat dengan aturan Ilahi. Bagi mereka, aturan Sang Pencipta dianggap tidak memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan manusia. Agama pun ditempatkan hanya untuk mengatur ritual peribadatan. Di luar itu, aturan produk manusia saja yang berlaku.
Kondisi ini kian parah saat kemajuan teknologi dan digitalisasi media menyuburkan industri pornografi. Belum lagi visualisasi bernuansa seksual dan konten dewasa yang banyak bermunculan di media sosial. Tidak pelak, kondisi ini juga menjadi pemicu munculnya syahwat seksual yang mendorong manusia untuk memenuhi hasrat seksual secara membabi buta seperti hewan, bahkan lebih menjijikkan lagi.
Aturan-aturan yang memanjakan syahwat ini mengabaikan dampak sosial lainnya. Masyarakat yang hidup dalam gelombang syahwat nyatanya hidup bagaikan hewan dalam memenuhi tuntutan hawa nafsunya. Tidak cukup melampiaskan seksual pada pasangan halal, syahwat ini menuntut pelampiasan hingga pada taraf yang memosisikan manusia lebih rendah dari hewan sekalipun.
Seluruh aturan yang dibuat, tidak lahir dari aturan Sang Pencipta tapi buatan manusia. Padahal manusia sangatlah lemah dan dipengaruhi oleh berbagai kepentingan. Tidak heran jika akhirnya banyak masalah yang bermunculan akibat diterapkannya aturan tersebut. Termasuk di dunia pendidikan kita.
Tentu saja permasalahan kompleks ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan menekankan pentingnya pendidikan seks atau mempertimbangkan kondisi psikologis pelakunya. Harus ada upaya sistemis untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas hingga ke akarnya. Dan hanya islam solusi satu-satunya yang mampu menyelesaikan segala permasalahan, khususnya terkait kejahatan seksual.
Sudut Pandang Islam
Segala permasalahan pasti ada solusinya, begitu juga dengan kasus kekerasan seksual. Kondisi ini jelas tidak bisa dibiarkan. Harus ada tindakan konkret untuk memutuskan rantai kejahatan, yaitu mengganti sistem sekuler dengan menerapkan sistem Islam. Sistem Islam yang berasaskan akidah Islam sehingga keimanan dan ketakwaan menjadi dasar penyelesaian setiap masalah.
Jika saja kita mau kembali kepada aturan dari Pencipta, maka permasalahan yang dihadapi tidak akan begitu banyak seperti saat ini. Jelas, Allah sudah menurunkan aturan terbaik untuk kita, hanya saja manusia lebih memilih mengabaikan aturan dari Pencipta-Nya, dan memilih membuat aturan dengan akalnya yang lemah dan terbatas.
Allah telah meciptakan kebutuhan jasmani dan naluri pada setiap manusia. Kebutuhan jasmani dan naluri ini diatur pemenuhannya di dalam Islam, termasuk naluri seksual. Islam memandang bahwa naluri melestarikan jenis atau naluri seksual hanya boleh dipenuhi dengan cara menikah, bukan yang lain. Jadi, pemenuhan dengan cara berzina atau memaksa seseorang untuk memuaskan nafsu syahwatnya atau tindakan pemerkosaan adalah kejahatan yang pelakunya layak dijatuhi sanksi yang berat.
Islam memerintahkan untuk menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan. Dalam Islam, laki-laki dan perempuan dilarang untuk melakukan khalwat atau berdua-duaan tanpa disertai mahromnya. Islam juga melarang untuk berikhtilat atau campur baur antara laki-laki dan perempuan. Islam juga mengharamkan siapa saja mengumbar auratnya. Islam memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menjaga pandangan dan kemaluannya.
Hal ini berperan untuk menghindari kerusakan sosial seperti pemerkosaan, pelecehan seksual, sodomi, dan kejahatan seksual lainnya. Islam membuat aturan preventif antara lain pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan, termasuk sesama jenis.
Selain adanya larangan khalwat dan ikhtilat di antara lawan jenis, dalam interaksi sesama jenis pun Islam menetapkan sejumlah aturan. Aturan itu seperti larangan untuk tidur di ranjang/kasur yang sama, larangan untuk mengenakan selimut yang sama, hingga mengatur batasan aurat antara sesama jenis.
Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah bermaksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syarak. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan nonmahram selain dalam ikatan pernikahan. Praktik prostitusi akan dihilangkan sehingga tidak ada istilah “prostitusi legal”. Semua praktik prostitusi adalah haram.
Di sisi lain, negara berkewajiban melindungi rakyat dari berbagai informasi maupun konten yang menstimulasi syahwat di tengah masyarakat. Negara wajib mengontrol sirkulasi informasi di media dan membersihkannya dari informasi sampah yang menyesatkan pikiran dan perasaan masyarakat. Di samping aktivitas preventif ini, negara akan menerapkan sejumlah hukum yang mengatur sanksi yang diberikan negara atas pelaku zina dan perilaku seksual yang menyimpang.
Bagi pezina, hukumannya adalah rajam bagi pelaku muhshan (sudah pernah menikah) dan hukuman cambuk 100 kali jika ghairu muhshan (belum pernah menikah). Dalam QS An-Nur: 2, Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.
Sanksi tegas ini akan menimbulkan efek jera bagi pelaku sekaligus upaya negara untuk menutup celah munculnya kasus serupa. Berulang kejahatan seksual selama ini sesungguhnya disebabkan karena sanksi yang tidak menimbulkan efek jera, baik bagi pelaku kejahatan maupun masyarakat.
Adapun pemerkosaan bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al istidzkar menyatakan “Sesungguhnya qadli atau hakim dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.” Hukum takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam.
Sesungguhnya hanya dengan penerapan Islam Kaffah dalam wujud khilafah, kekerasan seksual terhadap anak bisa dicegah dan terselesaikan hingga ke akarnya. Wallahu ‘alam bissowab
Oleh: Lifa Umami, S.HI
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru