Share ke media
Opini Publik

Kemajuan Budaya, Mampukah Wujudkan Nilai Luhur dan Sejahtera?

11 Jul 2024 12:21:52516 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : kumparan.com - Mengenal Keragaman Budaya Indonesia dan Contohnya, Cek di Sini! - 1 Maret 2021

Samarinda - Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) saat ini tengah gencar melakukan berbagai kegiatan untuk mendorong pelestarian budaya Kutai di masyarakat. Bahkan, Bupati Kukar Edi Damansyah terus mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif memajukan kebudayaan tersebut. Pernyataan itu disampaikan Edi melalui Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Ahyani Fadianur Diani, dalam acara Grand Final Pemilihan Sadi Sengkaka Duta Budaya Kukar Tahun 2024, di halaman Kedaton Kukar, Sabtu 22 Juni 2024 (Niaga.asia, 24/06/2024).

Dalam sambutan yang dibacakan Ahyani, Bupati Edi menekankan pentingnya peran masyarakat dalam melestarikan dan memajukan kebudayaan lokal, sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan daerah. Maka dari itu, Edi meminta agar kebudayaan dijadikan sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, budaya tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memperkaya kehidupan dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, guna mewujudkan Kukar sebagai daerah yang berbudaya, serta menjadi daerah yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan.

Salah Arah

Salah satu daya tarik pariwisata sebuah daerah adalah keberagaman budaya dan tradisi yang dijaga dengan baik. Maka tak heran, pemkab Kukar semakin berupaya mengembangkan dan melestarikan budaya di tengah-tengah masyarakat. Berbagai kegiatan kebudayaan pun terus digelar dengan harapan dapat membangun pariwisata hingga meningkatkan pendapatan daerah dan mampu mendorong perekonomian rakyat. Tak hanya itu, kebudayaan lokal jug sangat diperlukan untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang kemudian dapat membentuk identitas daerah. 

Namun faktanya, budaya daerah yang dimajukan terancam luntur akibat arus globalisasi. Nilai-nilai kebudayaan pun terkikis karena masuknya pengaruh budaya asing atau Barat. Alhasil, tidak sedikit budaya yang dihidupkan bertentangan dengan agama Islam. Mirisnya, hal tersebut tak dipersoalkan karena budaya dianggap bisa menjadi magnet wisatawan dan nantinya dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk daerah.

Hal demikian jelas keliru. Seharusnya, sebagai negeri yang mayoritas muslim ajaran Islam harus diposisikan sebagai standar dalam menentukan suatu budaya. Akan tetapi, dalam sistem kapitalisme sekulerisme hari ini justru membalikkan posisi budaya lokal menjadi tolok ukur dalam menilai ajaran Islam. Ini sangat berbahaya, karena keyakinan pada Islam dan ketaatan pada syariatnya harus tunduk dengan budaya lokal. Masyarakat pun akhirnya dipaksa membiarkan sesuatu yang bertentangan dengan agamanya.

Sementara itu, berharap pada kemajuan budaya untuk menyejahterakan rakyat tampaknya akan sulit diwujudkan.  Memang benar, wisata budaya bisa menambah pemasukan daerah dan menghidupkan perekonomian masyarakat melalui UMKM. Tetapi sayangnya, tidak membuat seluruh rakyat bisa hidup sejahtera. Pasalnya kontribusi pariwisata terhadap PAD masih relatif kecil dan tidak semua rakyat Kukar memiliki UMKM. 

Padahal di sisi lain, Kukar memiliki SDAE berlimpah tapi semua itu justru bebas dikeruk oleh asing. Mereka pun leluasa meraup keuntungan yang besar dari pengelolaan SDAE tersebut. Jika SDAE dikuasai dan dikelola negara ini, tentu saja akan menambah pendapatan negara hingga daerah. Penghasilannya dapat digunakan untuk menyejahterakan masyarakat. Negara bisa memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan memberikan fasilitas pelayanan yang memadai sehingga akan berakibat pula pada pertumbuhan ekonomi. 

Maka dari itu, semakin tampak bahwa pemerintah telah salah arah dengan menjadikan budaya untuk kesejahteraan rakyat dan sebagai identitas serta kebanggaan daerah. Sementara, semua kekayaan alam telah dikuasai oleh negara kapitalis dan budaya Barat yang masif tanpa sadar menjadi kiblat kaum muslim. 

Kedudukan Budaya dalam Islam

Adat istiadat atau budaya (al-‘adat atau al-‘urf) adalah produk pemikiran. Tidak dalam bentuk materi, melainkan nonmateri. Oleh karenanya, adat/budaya adalah bagian dari hadharah (peradaban), bukan madaniyah (produk materi). Sebagai produk pemikiran, adat/budaya lahir dari akidah tertentu. Sebab itu, ketika suatu budaya bertentangan atau tidak sesuai dengan syariat Islam, budaya tersebut lahir dari akidah lain, bukan dari akidah Islam. 

Maka, posisi adat/budaya telah sangat jelas dalam pandangan Islam. Yakni seharusnya Islam menjadi standar terhadap budaya. Hal ini karena Islam adalah al-furqan, pembeda yang hak (benar) dan batil (salah). Allah SWT. berfirman, “Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan dan al-furqan/pembeda (antara yang benar dan batil).” (QS Al-Baqarah: 185).

Ayat ini tegas menjelaskan bahwa Islam—dalam hal ini Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam—adalah petunjuk bagi manusia sekaligus pembeda antara yang hak (benar) dan batil (salah). Sudah seharusnya budaya distandarkan dengan Islam. Islamlah yang akan menilai suatu budaya boleh diambil atau tidak. Jika budaya tersebut sesuai dengan ajaran Islam, kita boleh mengambilnya. Sebaliknya, jika tidak sesuai dengan Islam, kita tidak boleh mengambilnya.

Demikianlah, kedudukan budaya dalam Islam. Dengan pemahaman ini, sudah selayaknya kaum muslim waspada terhadap suatu budaya. Tak kalah penting, ketika kita mengambil atau menerapkan budaya, bukan karena didasari budaya itu sendiri, melainkan harus didasari oleh hukum syariat. Wallahualam bishshawab.

Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)

Terkini