Share ke media
Opini Publik

Kerusakan Akibat Tambang Semakin Parah, Apa Penyebabnya?

14 Dec 2022 10:01:32569 Dibaca
No Photo
ilustrasi gambar : mongabay.co.d - Batubara, Rusak Lingkungan, Sumber Beragam Penyakit sampai Hancurkan Pangan dan Budaya - 24 Februari 2014

Samarinda - Berbicara soal sektor pertambangan di Kaltim memang seakan tak ada habisnya. Mulai dari tambang ilegal, bekas lubang tambang yang memakan korban hingga yang selalu menjadi pemberitaan adalah kerusakan lingkungan akibat tambang yang semakin parah.

Teranyar adalah tiga rumah warga di Desa Bunga Putih RT 12 Kecamatan Marang Kayu, Kutai Kartanegara, mengalami keretakan yang diduga akibat dari aktivitas perusahaan tambang batu bara PT Kintan Putri Mandiri dengan kontraktornya PT Anugerah Krida Utama. Anggota Komisi I DPRD Kutai Kartanegara Suyono pun sudah menerima laporan tersebut Minggu (4/12/2022) hari ini. (Koranklatum.com, 4/12/2022)

Tambang emas hitam di Kaltim memang masih jadi primadona. Bahkan 50 persen pendapatan daerah didapat dari sektor pertambangan ini. Namun sayang, kerusakan akibat sektor ini juga tak bisa dipungkiri begitu besar. Parahnya lagi kerusakan ini dinikmati oleh rakyat. Pertambangan yang digadang-gadang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat daerah lingkar tambang nyatanya tak sebanding juga dengan kerusakan lingkungan dan pemukiman yang mereka dapatkan.

Kita tak perlu menyaksikan lagi film “Sexy Killer” yang sempat viral atau baca berita di media, karena nyatanya kita bisa bisa menyaksikan dan merasakan sendiri kerusakan lingkungan akibat aktifitas pertambangan. Banjir salah satunya yang setiap daerah di Kaltim semakin meluas. Karena pertambangan hari ini bukan hanya di hutan-hutan, tetapi sudah merambah ke tengah kota yang notabenenya dekat dengan pemukiman masyarakat.

Persoalan tambang dengan segala dampak negatif yang ditimbulkannya di tengah masyarakat adalah persoalan serius yang dihadapi masyarakat kaltim. Adanya IUP yang dikeluarkan penguasa kepada pengusaha menjadikan mereka bebas mengeruk SDAE yang ada tanpa peduli dampak buruk bagi rakyat.

Ini menunjukkan liberalisasi di sektor SDAE yang mendapatkan payung hukum melalui UU yang terus mengalami revisi. Dimana revisi UU tersebut semakin memanjakan pengusaha dalam mengeruk SDAE yang ada. Diantaranya dengan disahkannya UU Minerba No. 3 tahun 2020. Dalam UU ini terkait kegiatan reklamasi dan kegiatan pasca tambang semakin dimudahkan. Yaitu tertulis dalam UU Minerba Pasal 96 huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.

Padahal jika mengikuti aturan sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Meskipun ada aturan seperti ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak terjadi pelanggaran berupa lubang-lubang bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan menjadi danau raksasa yang menelan korban jiwa.

Bukannya mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang dengan mempidanakan perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya pemerintah justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak lingkungan dengan jalan mengubah isi Undang-Undang tersebut.

Tidak hanya itu, perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin kontraknya. Bahkan sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun.

Hal ini menunjukkan semakin menunjukkan keberpihakan penguasa terhadap pengusaha. Mereka menjadikan UU sebagai pondasi atas legalnya pengerukan kekayaan alam milik rakyat ini. Adapun pemerintah hanya sebagai fasilitator yang memuluskan jalan pengusaha dengan  dalih mendapatkan keuntungan dari pajak dan royalti semata. Tapi itu nyatanya terbantahkan dengan dampak kerusakan yang diakibatkan tambang.

Sehingga tak bisa dipungkiri, rusaknya kondisi lingkungan akibat ulah tangan-tangan tak bertanggung jawab yang ada dalam lingkar penguasa dan pengusaha. Mereka-mereka ini “kompak” menelikung aturan-aturan demi memuaskan hasrat untuk penguasaan sumber daya alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi dan kelompok.

Inilah akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Dimana pengelolaan SDAE diserahkan kepada pemilik modal baik swasta maupun asing. Sementara penguasa hanya sebatas regulator bagi pengusaha. Harta rakyat berupa SDAE diserahkan kepemilikannya kepada kepemilikan individu. Sehingga siapapun boleh memiliki, menguasai dan mengeksploitasi tambang sesukanya tanpa peduli akibatkerusakan bagi masyarakat dan lingkungan. Sementara o

Islam Solusi Pengelolaan Tambang yang Merusak

Berbeda dengan kapitalisme yang melegalkan individu, swasta bahkan asing menguasai sumber daya alam milik rakyat yang tak terbatas jumlahnya. Syariah Islam memandang hutan, air dan energi  yang berlimpah merupakan milik umat. Rasulullah Saw bersabda :

“Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad).

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa tambang adalah representasi dari api. Dalam pandangan Islam, barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

Pendapat bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul SAW meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat : “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u al-‘iddu)”. Rasul SAW kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya.” Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan mengalir terus-menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasul SAW memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar, digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul SAW mencabut pemberian itu. Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut dikategorikan milik umum.

Adapun semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika Rasul SAW mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, Ia menarik kembali pemberian itu.

Namun untuk tambang-tambang terbatas boleh dimiliki individu dengan ketentuan tidak membawa kemudhorotan bagi masyarakat sekitar. Meskipun SDA terbatas atau tak terbatas tentunya dilarang dikuasai asing. Apalagi merugikan masyarakat dan menyebabkan penjajahan asing.

Selain itu, dalam Islam pelaksanaan pertambangan wajib menghindari kerusakan, antara lain: kerusakan ekosistem darat dan laut. Pencemaran air serta rusaknya daur hidrologi (siklus air). Menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman hayati yang berada di sekitarnya. Menyebabkan polusi udara dan ikut mempercepat pemanasan global. Mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar. Mengancam kesehatan dan keselamatan masyarakat. Serta kerusakan lainnya.

Sehingga dalam pelaksanaan pertambangan (sebelum dan sesudah) maka harus berdasarkan proses dan mekanisme yang telah ditetapkan syariah. Kegiatan pertambangan diawali dengan proses studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Kemudian dilaksanakan dengan ramah lingkungan (green mining). Tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui pengawasan (monitoring) berkelanjutan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan reklamasi, restorasi dan rehabilitasi.

Kalaupun harus bekerjasama dengan perusahaan tertentu, hanya sebatas menggunakan jasanya saja, bukan sebagai pemilik. Mereka akan dibayar sesuai dengan jasa yang digunakan. Sehingga semua proses mulai dari pemilihan lokasi, aktivitas eksplorasi, distribusi, sampai pemulihan pasca tambang selalu dalam pengawasan ketat pemerintah. Sehingga pemerintah bebas menyalurkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau bahkan gratis.

Demikianlah Islam telah mengatur secara tegas tata cara pengelolaan SDA. Visi pengelolaannya didasarkan pada mindset bahwa SDA adalah milik umum yang wajib dikelola oleh negara, dan hasilnya diperuntukkan kesejahteraan rakyat.

Wallahua’lam Bishowab

Oleh : Meltalia Tuamnduk, S. Pi (Pemerhati Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis