Samarinda - Berbicara
soal sektor pertambangan di Kaltim memang seakan tak ada habisnya. Mulai dari
tambang ilegal, bekas lubang tambang yang memakan korban hingga yang selalu
menjadi pemberitaan adalah kerusakan lingkungan akibat tambang yang semakin
parah.
Teranyar
adalah tiga rumah warga di Desa Bunga Putih RT 12 Kecamatan Marang Kayu, Kutai
Kartanegara, mengalami keretakan yang diduga akibat dari aktivitas perusahaan
tambang batu bara PT Kintan Putri Mandiri dengan kontraktornya PT Anugerah
Krida Utama. Anggota Komisi I DPRD Kutai Kartanegara Suyono pun sudah menerima
laporan tersebut Minggu (4/12/2022) hari ini. (Koranklatum.com, 4/12/2022)
Tambang
emas hitam di Kaltim memang masih jadi primadona. Bahkan 50 persen pendapatan
daerah didapat dari sektor pertambangan ini. Namun sayang, kerusakan akibat
sektor ini juga tak bisa dipungkiri begitu besar. Parahnya lagi kerusakan ini
dinikmati oleh rakyat. Pertambangan yang digadang-gadang mampu meningkatkan
perekonomian masyarakat daerah lingkar tambang nyatanya tak sebanding juga
dengan kerusakan lingkungan dan pemukiman yang mereka dapatkan.
Kita
tak perlu menyaksikan lagi film “Sexy Killer” yang sempat viral atau baca berita
di media, karena nyatanya kita bisa bisa menyaksikan dan merasakan sendiri
kerusakan lingkungan akibat aktifitas pertambangan. Banjir salah satunya yang
setiap daerah di Kaltim semakin meluas. Karena pertambangan hari ini bukan
hanya di hutan-hutan, tetapi sudah merambah ke tengah kota yang notabenenya
dekat dengan pemukiman masyarakat.
Persoalan
tambang dengan segala dampak negatif yang ditimbulkannya di tengah masyarakat
adalah persoalan serius yang dihadapi masyarakat kaltim. Adanya IUP yang
dikeluarkan penguasa kepada pengusaha menjadikan mereka bebas mengeruk SDAE
yang ada tanpa peduli dampak buruk bagi rakyat.
Ini
menunjukkan liberalisasi di sektor SDAE yang mendapatkan payung hukum melalui
UU yang terus mengalami revisi. Dimana revisi UU tersebut semakin memanjakan
pengusaha dalam mengeruk SDAE yang ada. Diantaranya dengan disahkannya UU
Minerba No. 3 tahun 2020. Dalam UU ini terkait kegiatan reklamasi dan kegiatan
pasca tambang semakin dimudahkan. Yaitu tertulis dalam UU Minerba Pasal 96
huruf b, kewajiban perusahaan dalam perbaikan lahan bekas tambang sekarang ini
cukup mengerjakan salah satu kewajiban perbaikan saja. Perusahaan tambang bisa
bebas memilih antara Kegiatan Reklamasi atau Kegiatan Pascatambang.
Padahal
jika mengikuti aturan sebelumnya dalam UU No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang
wajib melakukan semua kegiatan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang sekaligus
menyetor dana jaminan Reklamasi dan Pascatambang. Meskipun ada aturan seperti
ini, nyatanya di lapangan masih saja banyak terjadi pelanggaran berupa
lubang-lubang bekas tambang batubara dibiarkan terbuka dan menjadi danau
raksasa yang menelan korban jiwa.
Bukannya
mempertegas aturan Reklamasi dan Kegiatan Pascatambang dengan mempidanakan
perusahaan yang tidak memperbaiki lahan bekas tambang, ajaibnya pemerintah
justru membuat aturan baru yang membebaskan kewajiban pengusaha tambang perusak
lingkungan dengan jalan mengubah isi Undang-Undang tersebut.
Tidak
hanya itu, perusahaan yang terbukti abai dan tidak melaksanakan reklamasi
ataupun kegiatan pascatambang, ternyata tetap bisa memperpanjang ijin
kontraknya. Bahkan sesuai dengan UU Minerba Pasal 169A, dengan dalih
meningkatkan penerimaan negara, pemerintah malah memberi jaminan perpanjangan
kontrak berupa KK dan PKP2B sebanyak 2 kali 10 tahun.
Hal
ini menunjukkan semakin menunjukkan keberpihakan penguasa terhadap pengusaha.
Mereka menjadikan UU sebagai pondasi atas legalnya pengerukan kekayaan alam
milik rakyat ini. Adapun pemerintah hanya sebagai fasilitator yang memuluskan
jalan pengusaha dengan dalih mendapatkan
keuntungan dari pajak dan royalti semata. Tapi itu nyatanya terbantahkan dengan
dampak kerusakan yang diakibatkan tambang.
Sehingga
tak bisa dipungkiri, rusaknya kondisi lingkungan akibat ulah tangan-tangan tak
bertanggung jawab yang ada dalam lingkar penguasa dan pengusaha. Mereka-mereka
ini “kompak” menelikung aturan-aturan demi memuaskan hasrat untuk penguasaan
sumber daya alam demi kepentingan dan keuntungan pribadi dan kelompok.
Inilah
akibat penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Dimana pengelolaan SDAE
diserahkan kepada pemilik modal baik swasta maupun asing. Sementara penguasa
hanya sebatas regulator bagi pengusaha. Harta rakyat berupa SDAE diserahkan
kepemilikannya kepada kepemilikan individu. Sehingga siapapun boleh memiliki,
menguasai dan mengeksploitasi tambang sesukanya tanpa peduli akibatkerusakan
bagi masyarakat dan lingkungan. Sementara o
Islam
Solusi Pengelolaan Tambang yang Merusak
Berbeda
dengan kapitalisme yang melegalkan individu, swasta bahkan asing menguasai
sumber daya alam milik rakyat yang tak terbatas jumlahnya. Syariah Islam
memandang hutan, air dan energi yang
berlimpah merupakan milik umat. Rasulullah Saw bersabda :
“Kaum
muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang dan api” (H.R. Ahmad).
Dari
hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa tambang adalah representasi dari api.
Dalam pandangan Islam, barang tambang adalah milik umum yang harus dikelola
hanya oleh negara dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk
barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan,
kesehatan, dan fasilitas umum.
Pendapat
bahwa sumber daya alam milik umum harus dikelola negara untuk diberikan
hasilnya kepada rakyat dikemukakan oleh An-Nabhani berdasarkan pada hadits
riwayat Imam At-Tirmidzi dari Abyadh bin Hamal. Dalam hadits tersebut, Abyadh
diceritakan telah meminta kepada Rasul SAW untuk dapat mengelola sebuah tambang
garam. Rasul SAW meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang
sahabat : “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya?
Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (ma’u
al-‘iddu)”. Rasul SAW kemudian bersabda : “Tariklah tambang tersebut darinya.”
Ma’u al-‘iddu adalah air yang karena jumlahnya sangat banyak digambarkan
mengalir terus-menerus. Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang
kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Sikap pertama Rasul SAW
memberikan tambang garam kepada Abyadh menunjukkan kebolehan memberikan tambang
garam atau tambang yang lain kepada seseorang. Akan tetapi, ketika Rasul SAW
mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar,
digambarkan bagaikan air yang terus mengalir, Rasul SAW mencabut pemberian itu.
Hal ini karena dengan kandungannya yang sangat besar itu tambang tersebut
dikategorikan milik umum.
Adapun
semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu. Yang menjadi fokus dalam
hadits tersebut tentu saja bukan “garam”, melainkan tambangnya. Terbukti, ketika
Rasul SAW mengetahui bahwa tambang garam itu jumlahnya sangat banyak, Ia
menarik kembali pemberian itu.
Namun
untuk tambang-tambang terbatas boleh dimiliki individu dengan ketentuan tidak
membawa kemudhorotan bagi masyarakat sekitar. Meskipun SDA terbatas atau tak
terbatas tentunya dilarang dikuasai asing. Apalagi merugikan masyarakat dan
menyebabkan penjajahan asing.
Selain
itu, dalam Islam pelaksanaan pertambangan wajib menghindari kerusakan, antara
lain: kerusakan ekosistem darat dan laut. Pencemaran air serta rusaknya daur
hidrologi (siklus air). Menyebabkan kepunahan atau terganggunya keanekaragaman
hayati yang berada di sekitarnya. Menyebabkan polusi udara dan ikut mempercepat
pemanasan global. Mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar. Mengancam
kesehatan dan keselamatan masyarakat. Serta kerusakan lainnya.
Sehingga
dalam pelaksanaan pertambangan (sebelum dan sesudah) maka harus berdasarkan
proses dan mekanisme yang telah ditetapkan syariah. Kegiatan pertambangan
diawali dengan proses studi kelayakan yang melibatkan masyarakat pemangku
kepentingan (stakeholders). Kemudian dilaksanakan dengan ramah lingkungan
(green mining). Tidak menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan melalui
pengawasan (monitoring) berkelanjutan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan
reklamasi, restorasi dan rehabilitasi.
Kalaupun
harus bekerjasama dengan perusahaan tertentu, hanya sebatas menggunakan jasanya
saja, bukan sebagai pemilik. Mereka akan dibayar sesuai dengan jasa yang
digunakan. Sehingga semua proses mulai dari pemilihan lokasi, aktivitas
eksplorasi, distribusi, sampai pemulihan pasca tambang selalu dalam pengawasan
ketat pemerintah. Sehingga pemerintah bebas menyalurkan hasilnya untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan harga yang terjangkau bahkan gratis.
Demikianlah
Islam telah mengatur secara tegas tata cara pengelolaan SDA. Visi
pengelolaannya didasarkan pada mindset bahwa SDA adalah milik umum yang wajib
dikelola oleh negara, dan hasilnya diperuntukkan kesejahteraan rakyat.
Wallahua’lam
Bishowab
Oleh : Meltalia Tuamnduk, S. Pi (Pemerhati Sosial)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang
ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya
merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi
sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru