Share ke media
Opini Publik

Kerusakan Lingkungan Akibat Tambang Ilegal, Salah Tata Kelola SDAE?

19 Nov 2022 08:00:53304 Dibaca
No Photo
ilustrasi gambar : 70 Persen Kerusakan Lingkungan akibat Operasi Tambang -Kompas.com - 28/09/2012

Samarinda - Anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur Sutomo Jabir, meminta Dinas Kehutanan setempat untuk melakukan pengawasan ketat dan penanganan terhadap aktivitas penambangan ilegal di Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur, karena pertambangan tersebut berada di kawasan hutan lindung. Ia mengaku sudah melakukan inspeksi mendadak (sidak) bersama Dinas Kehutanan, serta telah mengonfirmasi ke Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim, ternyata benar tambang tersebut tidak berizin alias ilegal (kaltim.antaranews.com, 3/11/2022). 

Sutomo Jabir mengungkapkan, jika aktivitas pertambangan ilegal dibiarkan, maka hutan lindung Kaltim akan semakin hancur. Menurutnya, selain merusak lingkungan, tambang ilegal juga mengakibatkan kerugian besar bagi pemerintah daerah karena tidak ada pemasukan pajak. Masyarakat pun akan merasakan dampaknya, baik dampak lingkungan maupun  hilangnya kesuburan lahan pertanian (kaltim.antaranews.com, 3/11/2022).

Kasus pertambangan ilegal di Kecamatan Teluk Pandan ini bukanlah yang pertama terjadi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, dari tahun 2018 sampai 2019 saja ditemukan kenaikan angka aktivitas ilegal di kawasan hutan Kutai Timur, yaitu dari 9 menjadi 11 kejadian (kaltim.bps.go.id).

Bukan Sekedar Soal Legalitas

Terlepas dari legal/ tidaknya penambangan hutan, alih fungsi hutan yang berlebihan sudah pasti membawa kerusakan. Baik karena aktivitas penambangan atau tergantikannya tanaman hutan dengan pohon sawit.

Deforetasi hutan karena proses penambangan, ditemukan sekitar 841,79 ribu ha. sedangkan angka lahan sawit di kawasan hutan ditemukan sekitar 3,5 juta ha. Bahkan sebagian lahan tersebut merupakan kawasan konservasi (CNBC Indonesia, 06/06/2022).

Petambangan hutan dan perkebunan sawit tersebut dimiliki masyarakat dan korporasi, namun mayoritas dimiliki oleh korporasi. Berdasarkan data Walhi, sebanyak 62 persen lahan hutan di Indonesia sudah dikonsesi untuk korporasi. Dengan alasan pembangunan, pemerintah memberikan pemakluman pada aktivitas deforetasi ini. Namun, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KLKH, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) lebih banyak digunakan untuk tambang dari pada pembangunan (non tambang). Hal ini menunjukkan lemahnya pemerintah di hadapan korporasi. Padahal, sebenarnya pemerintah sangat bisa untuk menindak dan memberi sanksi tegas pada para pelaku deforetasi tersebut. Namun, nyatanya alih fungsi lahan tetap terjadi secara masif baik legal maupun ilegal.

Legalitas bukanlah persoalan utama kerusakan hutan, namun keserakahan sistem kapitalisme lah pangkal segala kerusakan. Demi meraup keuntungan, eksploitasi kekayaan alam dari tambang hutan dikeruk habis-habisam. Poduksi sawit pun digenjot tanpa batas hingga memakan kawasan hutan.

Sebenarnya melakukan penambangan maupun menanaman sawit tidak menjadi masalah, jika jumlahnya disesuaikan dengan daya dukung alam. Namun, apabila alam dieksploitasi melebihi daya dukungnya, tentu kerusakan yang akan kita dapatkan. Padahal memperbaiki hutan bukan perkara yang mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Maka tidak hanya manusia, hewan dan alam pun ikut merasakan dampak buruknya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah di dalam Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat ulah manusia.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut sidebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rum: 41)

Tata Kelola Hutan Sesuai Syariat Islam

Dalam surat Ar-Rum ayat 41 di atas, Allah SWT telah memperingatkan kepada kita bahwa ditampakkannya kerusakan demi kerusakan, tidak lain agar manusia merasakan akibat dari perbuatan mereka -yang tidak mau diatur dengan sistem Islam- dan justru memilih aturan sistem kapitalisme yang rusak dan merusak. Serta agar manusia mau kembali ke jalan yang benar, yaitu sistem Islam dimana aturan yang ada di dalamnya bersumber dari sang Khaliq, Allah SWT.

Adapun tata kelola hutan dalam syariat Islam adalah sebagai berikut:

1.  Mengembalikan posisi hutan sesuai posisi kepemilikannya. Khilafah akan memetakan hutan yang terkategori kepemilikan umum, yaitu hutan produksi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan dan ekonomi, serta hutan wisata. Tentu dengan memperhatikan kelestarian alam.

2.  Hutan lindung dan suaka alam termasuk kepemilikan negara, yang terlarang bagi siapapun untuk mengambil manfaat darinya. Khilafah akan melakukan upaya-upaya untuk melindungi hewan, tanaman, air, dan ekosistem yang ada di dalamnya agar tetap lestari.

3. Penambangan, baik oleh oleh negara maupun rakyat, harus memperhatikan kelestarian lingkungan, bukan hanya optimalisasi produksi.

4. Pengawasan yang serius terhadap kawasan hutan. Khilafah akan mendayagunakan semua sumber daya untuk pengawasan hutan, menggunakan alat-alat canggih untuk mendeteksi pembalakan liar, pembakaran hutan, pertambangan, dan berbagai aktivitas ilegal lainnya. Polisi hutan juga akan direkrut dalam jumlah yang mencukupi, dengan fasilitas yang memadai, dan dijamin kesejahteraannya sehingga bisa berfungsi optimal.

5.  Menghukum para pelaku kejahatan hutan, baik pelaku penambangan dan pembalakan liar, pembakar hutan, pemburu satwa yang dilindungi, penadah, dll. Termasuk menghukum aparat negara yang melakukan kerjasama dengan para pelaku tindakan kriminal tersebut. (Muslimahnews.com, 13/06/2022)

Demikian sempurnanya Islam melakukan penjagaan hutan dan lingkungan. Masikah kita percayakan bumi kita pada sistem kapitalisme?

Wallahu a’lam…... 

Oleh: Rizqa Fadlilah, S.Kep (Pemerhati Masalah Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi, redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.