Share ke media
Opini Publik

KOMERSIALISASI DAN LIBERALISASI DI DUNIA PENDIDIKAN BUKTI KEGAGALAN SISTEM KAPITALIS

06 Aug 2024 04:42:0661 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : isolapos.com - Hardiknas: Harga Pendidikan Naas - 2 Juni 2024

Samarinda - Beberapa waktu lalu, Emak-emak berdaster demo di depan kantor Gubernur Kaltim pada Rabu 24/7/2024 terkait isu stop Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan anak. Mereka mengeluhkan tingginya harga buku paket dan LKS yang terlalu memberatkan orang tua siswa hingga harus mengeluarkan uang Rp 1,5 Juta.  

Tingginya biaya buku paket dan LKS ini membuat sejumlah ibu-ibu menggelar aksi damai di depan Kantor Gubernur, Jalan Gajah Mada, Samarinda, Rabu (24/7/2024). Selain keresahan terkait tingginya harga buku paket dan LKS hingga dugaan jual beli buku sekolah, orang tua juga mempertanyakan batasan Sekolah Gratis. Aksi orang tua murid di Samarinda ini lantaran merasa terbebani dengan biaya pembelian buku di sekolah terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Nina, Korlap Aksi Stop Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan Anak ini menyebut ia harus mengeluarkan biaya hingga Rp1,5 juta untuk membeli buku paket dan Lembar Kerja Siswa (LKS) untuk satu orang anaknya.  Ia merasa keberatan dengan beban biaya ini, terutama karena ia adalah tulang punggung keluarga. “Kalau buku LKS bisalah kami perjuangkan, karena sebagai orang tua kan kami punya tanggung jawab untuk pendidikan anak,” ujarnya.

Inilah yang menjadi fakta yang terjadi di dunia pendidikan saat ini, Apa yang dirasakan oleh Emak-emak tersebut sebenarnya tidak hanya mengeluhkan biaya buku yang mahal. Namun, kompleksitas persoalan hidup seperti biaya kebutuhan pokok, bahan bakar, bayar air, listrik, dan biaya lainnya. Di tengah himpitan ekonomi, di tambah awal masuk sekolah disuguhi dengan biaya buku, seragam dan perlengkapan sekolah tentu membuat emak-emak mengeluh hingga berdemo. 

Padahal pendidikan merupakan upaya bagi negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang juga merupakan salah satu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting sebagai usaha mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Seperti yang dikatakan Vladimir Lenin bahwa instrumen terbaik untuk mengubah nasib suatu bangsa adalah melalui pendidikan. Bahkan kemajuan atau kemunduran sebuah peradaban sangat dipengaruhi oleh pendidikan. 

Namun upaya untuk mendapatkan pendidikan gratis, sepertinya sulit didapatkan masyarakat karena sistem kehidupan yang saat ini diterapkan adalah sistem kapitalis liberal.  

Pendidikan Mahal Akibat diterapkannya Sistem Kapitalisme Liberal

Dalam sistem kapitalisme liberal, negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator dengan membuat regulasi berupa undang-undang. Implikasinya negara berlepas tangan dari pengurusan urusan masyarakat, termasuk dalam masalah pendidikan. Hilangnya peran negara dalam pendidikan akan berdampak pada semakin banyaknya kemiskinan yang ada di negeri ini. Hal ini terjadi karena banyak anak yang gagal dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. 

Pada akhirnya yang berperan aktif dalam sistem pendidikan adalah pihak swasta, sehingga muncul otonomi-otonomi sekolah yang intinya makin membuat negara tidak ikut campur tangan terhadap masalah pendidikan. Masyarakat pun makin terkotak-kotak berdasarkan status sosial-ekonomi. Hal ini terjadi karena pendidikan yang berkualitas hanya bisa dinikmati oleh sekelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke atas. Masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah kurang bisa mengakses pendidikan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang mampu sedangkan bagi warga yang kurang mampu merasa kesulitan dalam memperoleh pendidikan.

Sistem kapitalisme ini bertentangan dalam hal hakikat dan visi pendidikan yang seharusnya strategis untuk mewujudkan eksistensi manusia dan menciptakan keadilan sosial, wahana untuk memanusiakan manusia serta wahana untuk pembebasan manusia, kini diganti oleh suatu visi yang meletakkan pendidikan sebagai komoditas. Meningkatnya permintaan pendidikan akan mengakibatkan mahalnya biaya pendidikan. 

Semua itu akibat adanya privatisasi, yaitu penyerahan tanggung jawab pendidikan ke pihak swasta. Hal ini menyebabkan lembaga pendidikan dikelola oleh pihak swasta dan tentunya pemerintah sudah tidak ikut campur tangan dalam pengelolaan sistem pendidikan. Dari sini kita lihat, sama sekali tidak ada dampak positif yang ditimbulkan akibat adanya sistem kapitalisme pendidikan di negeri ini. 

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa pendidikan saat ini mahal menjadi wajar, karena inilah konsekuensi hidup dalam sistem sekuler kapitalisme = pendidikan dikomersilkan dan terjadi liberalisasi pendidikan. Akhirnya semakin menyulitkan masyarakat khususnya orang tua, belum lagi generasi yang terlahir tidak tercover akidah dan kepribadiannya. Pendidikan seharusnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara. Bukan dibebankan kepada sekolah dan orang tua. 

Sistem kapitalisme merupakan ancaman bagi dunia pendidikan. Prinsip kapitalisme yang hanya mencari keuntungan pribadi seharusnya tidak dipraktikkan dalam dunia pendidikan. Begitu pula pendidikan tidak layak diperlakukan seperti komoditas untuk perdagangan atau pasar bebas. Namun sayang, inilah yang terjadi di negeri ini. Maka perlu ada perhatian dari semua pihak terhadap adanya upaya komersialisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan saat ini.

Pembiayaan Pendidikan Menurut Sistem Islam

Beda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan baik tingkat dasar, menengah maupun tinggi sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Begitu pula menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji, hal. 12). Karena negara menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, papan dimana negara memberikan jaminan secara tidak langsung. Dalam hal pendidikan, kesehatan, dan pendidikan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurrrahman al Maliki, 1963). Dalilnya adalah as sunnah dan ijma’ sahabat. 

Rasulullah saw. bersabda: “Imam bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaanya itu.” (HR. Muslim)

Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta nonmuslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, yaitu: (1) pos fai` dan kharaj –yang merupakan kepemilikan negara– seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berutang (qardh). Utang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Berdasarkan paparan di atas, telah jelas bahaya dari dampak komersialisasi dan liberalisasi pendidikan merupakan upaya privatisasi pendidikan melalui RUU Sisdiknas. Bila benar disahkan maka pendidikan di negeri ini akan semakin mahal. Maka, mari kita upayakan bersama untuk mengubah arah politik pendidikan yang neoliberal ke politik pendidikan Islam, dan menjadikan islam sebagai sistem yg mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat. Niscaya pendidikan yang murah dan berkualitas akan didapatkan oleh rakyat.

Wallahu’alam bishawab.

Oleh Purwanti, S.Pd (Guru BK SMP Samarinda)