Hidup itu indah jika kita menjalaninya dengan keimanan dan urgensi dari keimanan adalah ketakwaan, jika kita sebagai manusia bisa meletakkan ketakwaan itu dengan benar tentu yang akan didapatkan adalah kebahagiaan sesungguhnya. Namun saat ini banyak jiwa yang menjalani kehidupan hanya sekedar untuk hidup. Banyak jiwa yang tidak paham, tujuan Allah menciptakan manusia kedunia untuk apa? Maka akhirnya yang terjadi manusia berlomba-lomba untuk meraih kebahagian hidup dengan cara mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, tidak lagi berfikir materi yang didapatkan tersebut dengan cara yang benar atau salah, maka tak mengherankan akhirnya banyak yang terlibat kasus korupsi, mencuri, begal dan lainnya.
Seperti berita terbaru, Polisi memastikan sebanyak 21 yayasan menerima dana hibah hasil ’penyunatan’ yang dilakukan oleh Seketaris Daerah (Sekda) Kabupaten Tasikmalaya Abdul Kodir. Yayasan hanya mendapat 10 persen dari dana yang seharusnya diterima. ”Hasil penyelidikan dan fakta dilapangan hanya 21 yayasan yang menerima,”ucap Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Jabar Kombes Samudi. Dana yang seharusnya diberikan utuh itu disunat oleh Sekda dan stafnya. Masing-masing mendapatkan keuntungan dengan nominal beragam dari Rp 70 juta hingga Rp 1,4 miliar. “Sekda paling banyak Rp 1,4 miliar.”ucapnya. (detikcom, Rabu (21/11/2018).
Maraknya kasus-kasus korupsi, bukan pekara baru, senantiasa terjadi berulang dan berulang di negeri kita, inilah yang terjadi jika negara menjalankan dengan konsep pemerintahan yang jauh dari rahmat Allah SWT, sudah pasti tidak akan pernah dapat membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi kita.
Faham yang menekankan bahwa kekuasaan adalah uang, sehingga membuka peluang untuk korupsi, kecintaan pada dunia membuatnya lupa, bahwa dia dipilih oleh rakyat untuk menjalankan tugasnya untuk mewakili rakyat sebagai amanah yang dipercayakan rakyat kepadanya.
Melihat maraknya pejabat yang terlibat kasus korupsi, membuktikan bahwa kekuasaan atau jabatan yang diberikan dialam demokrasi merupakan jalan mulus bagi mereka untuk meraup kekayaan, merupakan jalan pintas untuk mengumpulkan materi, dimana dalam lingkup demokrasi yang membuat dan menerapkan hukum adalah manusia yang didasarkan pada hawa nafsu, sehingga hukum menjadi penuh dengan kepentingan.
Demokrasi yang merupakan turunan dari Kapitalisme adalah cara legal yang menjadi justifikasi atas perampokan harta rakyat. Dengan berdalih pada keputusan wakil rakyat, muncullah berbagai perundangan yang isinya justru merampas dan menguras kekayaan rakyat. Hal ini terjadi karena para wakil rakyat yang seharusnya menjadi wakil rakyat, justru ketika menyusun perundang-undangan malah menjadi wakil kaum kapitalis yang sedari awal menanam sahamnya di dunia politik agar kepentingannya tetap terjaga.
Jadilah melalui demokrasi aset dan kekayaan negara terkuras habis, diputuskan untuk diprivatisasi dan dikuasai oleh swasta. Anggaran negara menjadi bancakan proyek-proyek yang minim dalam mensejahterakan rakyat, namun justru menjadi sarana untuk memupuk kekayaan. Hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan salurannya dan pembenarannya.
Bagaimana bisa membangun masyarakat bertakwa ketika negara menyerahkan ketakwaan hanya menjadi persoalan personal dan individual, saat kebenaran dan kebatilan dibiarkan bertarung secara bebas, maka individu-individu jauh dari nilai-nilai ketuhanan sehingga negara alpa untuk menjaga rakyatnya.
Melihat kenyataan seperti itu, sudah saatnya rakyat mengambil kembali hak kedaulatannya atas negara yang abai dan kembali kepada fitrahnya sebagai mahluk ciptaan Allah, agar pengelolaan negara benar-benar tunduk pada aturan yang telah disyariatkan sang Pencipta alam semesta, Allah SWT. bagaimana mengelola negara yang sesungguhnya. Wallahua’lam. *(Red/dr)
Penulis / Kontrobutor : Ratna Munjiah (Pemerhati Sosial Masyarakat)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru