Share ke media
Opini Publik

Kurikulum Merdeka Dicanangkan Sebagai Kurikulum Nasional, Akankah Membawa Perubahan yang Lebih Baik?

02 Jun 2024 12:00:04479 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : eposdigi.com - Menunggu Transformasi Pendidikan Berkelanjutan Setelah Era Menteri Pendidikan Nadiem Makarim - 23 Desember 2023

Samarinda - Dalam perayaan Hari Pendidikan Nasional 2024, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur (Kaltim) melalui Sekretaris Disdikbud Kaltim, Yekti Utama menyampaikan bahwa Kaltim berkomitmen untuk melanjutkan program merdeka belajar, sesuai dengan arahan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (kaltimtoday.co, 2/5/2024)

Sebagaimana dilansir dari kanal Kompas.com (14/9/2023), Kemendikbudristek mendukung penerapan Kurikulum Merdeka menjadi kurikulum nasional pada 2024. Pada awal kemunculannya kurikulum ini tidak memaksa semua sekolah harus menerapkannya, mendikbud hanya memberikan opsi tanpa ada paksaan bagi satuan pendidikan. Akan tetapi, pada perjalanannya sejak awal tahun 2020 lalu sudah ada 3.000 sekolah yang melakukan uji coba implementasi kurikulum merdeka termasuk pada kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Ketika kebijakan telah diambil, perubahan pun dilakukan, mau tidak mau satuan pendidikan berupaya mensinergikan sesuai dengan kebijakan dan ketetapan yang diambil oleh menteri pendidikan.  Dengan harapan satuan pendidikan tersebut tidak dianggap tertinggal dan mau berkembang demi kemajuan anak didik sesuai zamannya.

Urgenkah Kurikulum ini Diganti?

Melirik makna dan keberadaan kurikulum yang tertuang dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 butir 19 adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Keberadaan kurikulum sangat memberikan pengaruh pada dunia pendidikan dan out put yang dihasilkan.

Di negeri ini, dari masa awal kemerdekaan hingga hari ini sudah sepuluh kali terjadi pergantian kurikulum, mulai dari Kurikulum 1947 (Rentjana Pelajaran 1947) hingga Kurikulum 2013 (K-13). Menurut Mendikbudristek, Kurikulum Merdeka merupakan penyederhanaan dari kurikulum sebelumnya (K-13) dan dinilai memiliki beberapa keunggulan, yakni lebih mendalam, lebih merdeka, relevan, serta interaktif, memberikan kebebasan bagi guru untuk menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik. Metode pembelajarannya mengacu pada bakat dan minat.

Koreksi Kurikulum Merdeka

Sayangnya, pergantian kurikulum justru menjadikan kualitas generasi semakin tidak jelas bahkan lemah, sehingga melahirkan berbagai masalah serius. Generasi penerus bangsa tampak sedang sakit dan penuh problematika. Maraknya aksi kriminal mulai dari tawuran, begal, perzinaan, fenomena klitih, narkoba, hingga pembunuhan. Belum lagi aksi bullying yang semakin hari semakin mengerikan. Bahkan kesehatan mental pelajar yang semakin rusak dengan alasan keluarga, percintaan bahkan terlilit utang yang menjadikan generasi kita bermental tempe sehingga marak kasus bunuh diri.  

Kurikulum ini sarat akan aroma kapitalistik yang mengedepankan manfaat materi, sehingga output pendidikan yang dihasilkan adalah generasi pencetak uang. Terlebih, kebebasan yang memberikan fleksibilitas bagi guru dalam menentukan metode pembelajaran sendiri juga berpeluang memunculkan masalah. Guru harus mampu mengikuti perkembangan belajar siswanya.

Misi perubahan kurikulum juga menguntungkan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki platform berbasis digital, perusahaan-perusahaan pencetak buku yang jangka pakainya bersifat temporal, sehingga keberadaan buku-buku sebelumnya tak memiliki marwah khazanah ilmu karena tidak lagi bisa dipakai. Pada akhirnya, berkahan ilmu hilang dan buku tak memiliki nilai sedikit pun karena tergilas dengan kurikulum.

Fenomena rusaknya generasi, guru yang tersibukkan urusan administrasi dan bahan ajar/buku yang selalu berganti seyogyanya dijadikan bahan introspeksi dan evaluasi pemerintah sebagai penguasa dalam menentukan kurikulum pendidikan.

Seharusnya pemerintah menyadari bahwa kurikulum yang diterapkan tidak tepat dan bermasalah, karena  berasaskan pada sekularisme yang mencampakkan peran  agama dari kehidupan. Sekularisme mengaburkan tujuan sistem pendidikan, menjauhkan generasi dari predikat penggerak perubahan. Muatan pelajaran agama sangat minim, bahkan yang berislam secara keseluruhan dicurigai radikal atau intoleran. Keimanan dan ketakwaan tidak perlu diajarkan di sekolah karena dianggap sebagai masalah pribadi manusia. Maka lahirlah generasi yang tidak berakhlak, bahkan tidak beradab, selalu mengedepankan egonya, tanpa peduli terhadap apakah perilakunya benar atau salah. Dengan memisahkan agama dari kehidupan, sangat sulit mewujudkan karakter generasi berkepribadian Islam.

Maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Jika kualitas pendidikannya rendah, maka suatu bangsa akan tertinggal, begitu pun sebaliknya, jika kualitas pendidikannya tinggi maka bangsa pun akan maju. Hal tersebut tampak pada sosok generasinya, yang  memiliki ilmu pengetahuan dan mampu mengembangkan teknologi yang tinggi. Hal ini tentu tidak terlepas beberapa faktor utama, yakni dari peran pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan, guru sebagai pengajar dan pendidik, serta  kurikulum yang mendukung teraihnya tujuan pendidikan.

Paradigma Pendidikan Islam

Islam memandang bahwa pendidikan merupakan aset penting bagi pembangunan karakter bangsa. Pendidikan adalah upaya secara sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis untuk membentuk manusia berakhlak mulia. Asas pendidikan dalam Islam adalah aqidah Islam, sedangkan struktur kurikulumnya bertumpu pada 3 unsur, yakni tsaqafah Islam, ilmu kehidupan yang didalamnya ada IPTEK dan keahlian, dan unsur penting lainnya adalah terbentuknya syaksiyah Islamiyah.

Di sisi lain, negara sangat memperhatikan keberadaan dan kualifikasi guru/dosen, diantaranya harus memiliki sifat kafa’ah (menguasai materi dan metodologi), amanah, qudwah hasanah (sebagai agen transfer nilai dan patut diteladani) dan wajib memiliki sifat himmatu al-a’mal (semangat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja). Karena guru adalah panutan murid-muridnya.

Negara dalam islam juga mengupayakan tidak ada celah dari pemahaman asing masuk ke dalam tubuh pendidikan anak-anak muslim. Maka kualifikasi seorang guru mendapatkan perhatian yang sangat serius. Tidak hanya itu, butuh dukungan dan kerjasama terhadap budaya, lingkungan dan mendapatkan dukungan dari orang tua, keluarga serta masyarakat.

Penerapan sistem pendidikan Islam telah mampu mencetak generasi terbaik dan mempunyai kepribadian Islam yang luhur seperti Ibnu Sina, al-Khawarizmi, al-Jabar, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hambali, Salahuddin Al-Ayubi, Muhammad Al-Fatih, dan masuh banyak lagi.

Para guru pun merupakan sosok mulia yang wajib untuk dihormati dan dihargai.  Penghargaan Islam kepada para guru bukan hanya sebatas seremonial dan gelar saja, melainkan memberikan penghargaan dengan memberikan upah yang fantastis. Saat masa Khalifah Umar bin Khaththab  sekitar 1300 tahun yang lalu gaji guru jika dikonversikan rupiah sekitar 60 juta setiap bulannya. Bahkan saat kekhalifahan Abbasiyah, guru digaji sebesar 320 juta/per bulan. Penghargaan seperti ini tentu menjadikan seorang guru akan maksimal untuk memberikan pengajaran kepada para murid.

Output pendidikan jelas bukan sekadar meraih materi. Ini karena kehadiran generasi sangat dibutuhkan untuk peradaban. Oleh sebab itu, sudah saatnya mengatasi masalah moral generasi dengan menerapkan kurikulum pendidikan Islam. Dengan penerapan sistem pendidikan Islam secara sempurna, manusia akan terbebas dari kerusakan. 

Terlebih pembelajaran Islam merupakan proyek  amal, sehingga setiap yang dipelajari harus diamalkan dan bermanfaat bagi diri maupun orang lain. Alhasil generasi akan selalu melakukan inovasi-inovasi baru untuk menghasilkan karya yang memberikan kemaslahatan bagi umat. Rasulullah pernah bersabda : “Barang siapa yang mempelajari ilmu yang dengannya dapat memperoleh keridhaan Allah SWT, (tetapi) ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan kesenangan duniawi, maka ia tidak akan mendapatkan harumnya surga di hari kiamat nanti,” (HR Abu Daud).

Maka, hanya dengan menerapkan kembali sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan, kerusakan generasi akan bisa diselesaikan secara tuntas sehingga menghasilkan generasi cemerlang. Kemuliaan guru pun akan tetap ditinggikan.

Wallahu’alam bishawwab.

Oleh Jamaiyah, S.Pi (Praktisi Pendidikan)