Samarinda - Baru-baru ini Presiden jokowi mengesahkan PP 28/2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023) pada 26 Juli 2024. Pemerintah menetapkan sejumlah ketentuan untuk aborsi, yang dilarang kecuali apabila ada indikasi kedaruratan medis atau karena menjadi korban tindak pidana pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
Aborsi adalah tindakan menggugurkan janin di dalam kandungan. Setiap tindakan aborsi tentu akan berisiko bagi perempuan yang menjalaninya, bahkan bisa sampai menghilangkan nyawanya jika terjadi perdarahan dan infeksi. Ini baru dari sisi medis, dari sisi non medis korban pemerkosaan tentunya akan memiliki rasa malu dan trauma, sudahlah malu karena hamil pun ia harus menanggung beban hukum karena menggugurkan kandungannya. Inilah beban ganda yang harus ditanggung korban.
Sesungguhnya perlu kita cermati terlebih dahulu penting bagi kita mengetahui latar belakang maraknya kasus pemerkosaan sehingga kita bisa menemukan solusi mendasar untuk mengatasinya. Komnas Perempuan mencatat kasus yang paling sering terjadi di antaranya penyebaran konten porno, peretasan dan pemalsuan akun, hingga pendekatan untuk memperdayai (grooming).
Maraknya kasus pemerkosaan di negeri kita juga menegaskan bahwa sedang terjadi krisis keamanan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, kaum perempuan dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang jauh dari rem syariat. Disisi lain pengajian yang notabenenya adalah tempat untuk mendapatkan ilmu dan bekal ketakwaan justru dibubarkan dan pengisi kajiannya pun dikriminalisasi. Makinlah membuat generasi terjerumus kedalam dosa dan maksiat. Korban dan pelaku makin marak dan terus bertambah karena pun tak ada solusi tuntas, yang ada malah korban yang kembali harus menanggung beban dengan adanya legalisasi aborsi ini.
Adanya PP yang melegalkan aborsi bagi korban pemerkosaan ini menegaskan bahwa UU TPKS terbukti tidak mampu mengatasi kasus pemerkosaan. Pemerintah tutup telinga dengan kritik publik perihal frasa “sexual consent” di dalam UU TPKS yang dekat dengan makna melegalkan dan menyuburkan seks bebas karena pelaku tidak bisa dipidana jika melakukan seks secara suka sama suka.
Memang benar, secara medis aborsi legal meski bersyarat dengan ketentuan tenaga medis dan alat-alat medis yang harus sesuai standar guna tak terjadinya malpraktek pada tindakan aborsi. Akan tetapi sesungguhnya aborsi bukanlah solusi dari tindakan pemerkosaan atau rudapaksa. Dalam Islam, aborsi termasuk tindakan kriminal yang mewajibkan adanya diat (tebusan) yang ukurannya sama dengan diat ghurrah, yaitu budak lelaki atau perempuan yang nilainya sepersepuluh diyat membunuh manusia dewasa.
Allah Taala berfirman dalam ayat, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’am [6]: 151).
Karena itu tidak bisa sembarangan mengambil aborsi sebagai solusi untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Aborsi tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin maupun setelah peniupan ruh pada janin, kecuali jika para dokter yang adil (bukan orang fasik) menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibunya akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, aborsi dibolehkan demi memelihara kehidupan ibunya.
Islam sesungguhnya memiliki solusi tuntas untuk kasus pemerkosaan. Sanksi hukum dalam sistem Islam sebagai bagian dari penerapan syariat kafah, selain bisa menimbulkan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa, juga bisa sebagai penebus dosa (jawabir) bagi pelaku di akhirat kelak. Penerapan Islam di seluruh sistem kehidupan ini adalah ekosistem yang subur dengan keimanan dan ketaatan sehingga kasus pemerkosaan sangat minim, bahkan tidak terjadi. Dengan kata lain, penerapan Islam kafah, termasuk sistem sanksi, benar-benar akan menutup celah kejahatan seksual terhadap perempuan karena Islam mampu menyelesaikan pemerkosaan dari akar masalahnya. Maka sudah selayaknya kita mengembalikan semua aturan hidup kepada syariat Islam yang nyata dari sang pencipta dan adil untuk manusia.
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh : Almukarromah
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru