Samarinda - Masalah pertambangan di bumi Etam tak kunjung usai. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim memperingati Hari Anti Tambang (Hatam) 2024 dengan menggelar aksi di depan kantor gubernur Kaltim di Samarinda, Rabu (29/5) lalu. Dalam aksi tersebut, Jatam membawa keranda sebagai simbol matinya hukum dan keadilan terkait permasalahan pertambangan di Bumi Etam. Aksi Hatam 2024 di Kaltim yang bertajuk “Dosa Penguasa, Rakyat Tersiksa” melibatkan masyarakat, menolak untuk ditumbalkan sebagai rantai panjang pengancuran ruang hidup di sekujur tubuh kepulauan.
Kasus lubang tambang semacam ini, marak di Kaltim. Karena itu, sudah sejak 2011, pihaknya menyarankan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Timur untuk menutup lubang tambang yang ada di Kalimantan Timur. Namun pemerintah justru menjawab bahwa dana reklamasi tidak cukup. Atau sekadar memberi solusi berupa memberikan pencegahan baik edukasi maupun sosialisasi. Tapi, angka kematian di lubang tambang tetap saja bermunculan.
Lubang Tambang Berujung Maut, Mengapa ?
Kita mungkin bertanya-tanya mengapa kematian di lubang tambang kerap terjadi. Namun, kita akan lebih tergelitik pada tingkah para elit pemodal selaku pemilik lahan tambang tapi tidak melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Seharusnya mereka yang bertanggung jawab untuk menutup lubang tambang tersebut sebagai buah dari eksploitasinya. Namun, bisa kita saksikan bahwa tidak sedikit pemilik tambang yang menganggap itu seperti angin lalu saja.
Tanggung jawab tersebut bukan sekadar himbauan saja, tetapi ada produk hukumnya. Pasal 161B ayat (1) UU 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Minerba, disebutkan secara eksplisit bahwa, “Setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah”.
Bahkan dalam ketentuan Pasal 164 UU a quo, pelaku tindak pidana juga dapat dikenai hukuman tambahan berupa perampasan barang, perampasan keuntungan, dan kewajiban membayar biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut.
Produk hukum sudah jelas ada, namun kenyataannya justru pelanggaran dimana - mana. Apa benar ungkapan anekdot bahwa aturan dibuat untuk dilanggar?
Kita harus pahami bahwa kasus hukum yang menyangkut Pertambangan akan sulit dijangkau dalam bingkai penegakan hukum. Mengapa? Jawabannya karena tidak dipungkiri adanya hubungan mesra alias keterlibatan penguasa sekaligus pengusaha. Hubungan mesra ini juga tidak lepas dari kucuran dana. Elit penguasa butuh para kapitalis dan pengusaha untuk membiayai mahalnya kursi jabatan di sistem demokrasi. Dan para pengusaha butuh campur tangan penguasa agar bisa membuka karpet merah kepentingan mereka.
Dan “plot twist” nya, tidak sedikit aparat pun terlibat. Akhirnya, kita akan menyaksikan drama penguasa saling lempar tanggung jawab. Selain itu, Penguasa tak bergigi di hadapan para Kapitalis. Sehingga upaya pencegahan berupa papan larangan dan call center dan sebagainya tidak akan efektif. Perlu sanksi tegas atas pelaku para pemilik tambang tersebut. Ditambah, mereka menguasai yang haram untuk dikuasai yakni kekayaan alam yang merupakan milik umum (milik umat). Perubahan paradigma sangat dibutuhkan terkait pengelolaan kekayaan alam yang telah dilimpahkan oleh Allah ini.
Inilah gambaran dari penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Kapitalisme memiliki paradigma bathil soal kekayaan alam yang menurut ide kufur ini, kekayaan alam bebas dimiliki oleh siapapun yang memiliki modal dan kepentingan. Ditambah, demokrasi menjamin dan melanggengkan kebebasan memiliki tersebut dalam produk undang-undang, hukum buatan manusia. Sehingga, selama sistem ini masih berjaya, maka selama itulah kita akan mendapatkan kasus demi kasus berkaitan dengan pengelolaan tambang yang bathil. Hanya menimbulkan fasad (kerusakan).
Solusi Islam untuk Sistem yang rusak akut
Dalam sistem Islam (Khilafah), tambang dengan deposit besar merupakan milik umum, yakni milik rakyat secara keseluruhan. Adapun pengelolaannya dilakukan oleh negara. Hasil pengelolaan tambang tersebut wajib dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatannya, bisa berupa produk jadi seperti migas, maupun berupa layanan publik, seperti penyediaan pendidikan dan kesehatan secara gratis untuk seluruh rakyat.
Dalam Islam, politik ditujukan untuk riayah (mengurusi urusan rakyat) berdasarkan syariat Allah Taala. Setiap kebijakan penguasa ditujukan untuk menyejahterakan rakyat individu per individu, bukan untuk kepentingan pribadi pejabat dan kroninya. Dengan demikian, terwujud kesejahteraan yang merata. Dengan pengaturan Islam ini, akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat, bukan hanya untuk pejabat.
Kemudian, untuk hal yang menimbulkan mudhorot maka itu diharamkan dalam Islam. Pengelolaan tambang tidak boleh abai pada hal-hal yang berbahaya misalnya terbukanya lubang tambang tadi. Karna itu akan menzalimi bahkan mencelakakan orang lain.
Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Tidak ada kemudharatan dan tidak ada balasan kemudharatan.” Hadis ini menegaskan prinsip dalam Islam bahwa perbuatan mudharat atau merugikan diri sendiri atau orang lain adalah dilarang. Islam menganjurkan untuk melakukan tindakan yang membawa manfaat dan kebaikan, serta menjauhi segala bentuk tindakan yang membawa mudarat.
Semoga dengan menjadikan Islam sebagai solusi, tidak akan terjadi lagi permasalahan seperti ini. Karna islam kaffah apabila diterapkan sempurna dalam bingkai Khilafah Islamiyyah akan membawa berkah.
Wallahu ‘alam bish shawab.
Oleh : Fani Ratu Rahmani (Aktivitas Dakwah dan Pendidik)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru