Samarinda - Kasus kekerasan seksual terhadap anak masih marak terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kaltim. Berdasarkan catatan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kukar, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 222 dalam kurun waktu lima tahun. Sekretaris DP3A Kukar, Hero Suprayetno mengatakan, jumlah tersebut diperkirakan bisa lebih besar lagi. Sebab, banyak yang tidak tercatat lantaran keluarga enggan melaporkan.
Kasus kekerasan perempuan dan anak di Kaltim tertinggi terjadi di 3 Kota yakni tertinggi pertama di Samarinda 293 kasus, kedua Bontang 70 kasus dan ketiga Balikpapan 51 kasus. Secara umum di Kaltim pada 1 Juli 2022 sekitar 441 kasus dan dalam jangka waktu dua bulan Juli-Agustus meningkat 138 kasus. Bentuk kekerasan sendiri terbesar saat ini adalah fisik 285 kasus, seksual 228 kasus dan psikis 124 kasus. Kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 313 orang sedangkan dewasa 308 orang, ini hampir seimbang antara anak dan dewasa. Jika dilihat presentase dewasa 49,6 persen sedangkan anak-anak 50,4 persen. (Sumber : https://diskominfo.kaltimprov.go.id/index.php/kekerasan/3-kota-di-kaltim-tertinggi-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak)
Jika kita cermati, memang persoalan kekerasan seksual terhadap anak ini tak kunjung usai. Bahkan ragam kasusnya semakin meresahkan masyarakat. Seharusnya ini menjadi perhatian utama negara sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat. Apabila ini dipandang masalah serius, mesti disikapi serius oleh negara.
Tampaknya, anak Indonesia belum mendapatkan perlindungan nyata, bahkan di rumah mereka sendiri. Hingga saat ini, perlindungan anak di Indonesia baru sebatas cita-cita belaka. Anak Indonesia belumlah terlindungi. Adanya Perpres 101/2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 15/07/2022 lalu sepertinya juga sekadar memberi harapan palsu.
Gagalnya berbagai regulasi yang ada sejatinya menunjukkan bahwa persoalan mendasar kekerasan terhadap anak bukan pada kurangnya regulasi, melainkan penerapan sekularisme dalam kehidupan yang juga sebagai asas pembuatan regulasi yang ada.
Sekularisme tidak menumbuhkan rasa takut, bahkan berupa sanksi pemberatan hukuman pidana, denda, ataupun hukuman kebiri. Kehidupan yang berorientasi materi dan pemenuhan hawa nafsu sudah membutakan mata dan hati.
Kekerasan terhadap anak bahkan kekerasan seksual tidak lagi dianggap sebagai perbuatan tercela dan keji. Sungguh, penambahan regulasi tanpa memperbaiki akar masalah tidak akan memberikan arti. Ini adalah bentuk kegagalan negara menjadi perisai bagi generasi.
Perlindungan hakiki terhadap anak hanya akan diperoleh ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqoroh ayat 208)
Islam mewajibkan anak yang belum balig berada dalam pengasuhan orang tuanya yang hidup sejahtera. Islam juga mewajibkan orang tua untuk melakukan pengasuhan yang baik sesuai tuntunan Islam, juga pengasuhan yang lemah lembut yang menjaga fisik dan mental anak.
Rasulullah saw. bersabda, “Hendaknya kamu bersikap lemah lembut, kasih sayang, dan hindarilah sikap keras dan keji.” (HR Bukhari)
Islam juga menetapkan adanya keimanan kepada Allah dan Hari Akhir sehingga setiap individu menyadari adanya pertanggungjawaban kepada Allah. Dengan ketakwaan yang kuat, semua individu (termasuk orang tua) akan senantiasa memberikan perlindungan terbaik bagi anak.
Ketakwaan ini pula yang membuat penguasa membuat dan menerapkan aturan yang memastikan semua anak terhindar dari segala bentuk kekerasan, serta melindungi dari berbagai ancaman. Termasuk menutup berbagai stimulan yang bisa memancing syahwat dan pemenuhan naluri yang diharamkan oleh Allah, baik menutup konten pornografi, mencegah peredaran film atau series berbau seksualitas, dan didukung dengan penerapan sistem pergaulan islam.
Negara harus memainkan perannya sebagai junnah (perisai). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Makna ungkapan kalimat “al-imamu junnah” adalah perumpamaan sebagai bentuk pujian terhadap imam yang memiliki tugas mulia untuk melindungi orang-orang yang ada di bawah kekuasaannya sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “(Imam itu perisai) yakni seperti as-sitr (pelindung), karena imam (khalifah) menghalangi/mencegah musuh dari mencelakai kaum muslimin, dan mencegah antar manusia satu dengan yang lain untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.” Dengan indikasi pujian, berita dalam hadits ini bermakna tuntutan (thalab), tuntutan yang pasti, dan berfaidah wajib.
Walhasil, penerapan syariat Islam kafah dalam naungan Khilafah adalah jaminan perlindungan anak secara hakiki dalam kehidupan. Negaralah salah satu pilar utama yang seharusnya melindungi anak, selain orangtua dan masyarakat. Semoga akan segera tegak negara yang hanya menerapkan islam dalam bingkai kepemimpinan sesuai metode kenabian, yaitu Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh : Fani Ratu Rahmani (Pendidik)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru