Share ke media
Opini Publik

MARAKNYA KASUS PERUNDUNGAN (BULLYING), ISLAM SOLUSINYA!!

18 Nov 2023 10:36:31725 Dibaca
No Photo

Fakta Perundungan (Bullying) saat ini

Maraknya kekerasan pelajar atau bullying di satuan pendidikan semakin meresahkan. pelakunya pun makin muda dan tindakannya makin brutal. Tidak hanya luka-luka, ada juga korban sesama pelajar yang meninggal dunia karena penganiayaan sesama teman atau senior.

Banyaknya kasus perundungan yang terjadi bahkan membuat Ketua DPR RI Puan Maharani menyebut situasi ini sebagai “darurat perundungan” yang membutuhkan campur tangan pemerintah dalam “mencari solusi yang komprehensif”.

Pada Selasa 3 Okt 2023, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy dikutip kantor berita Antara mengatakan bahwa pelaku perundungan seharusnya diadili secara pidana di bawah Sistem Peradilan Pidana Anak. “Saya akan bicara nanti dengan Pak Kapolri untuk bagaimana operasionalnya Polri terlibat dalam penanganan kasus-kasus bullying sekolah,” ujar Muhadjir. 

Menurut pemberitaan Antara, kementerian yang diampu Muhadjir juga akan bekerja sama dengan kementerian dan institusi lainnya untuk menyusun langkah-langkah pembinaan bagi para pelaku perundungan. Dia mengatakan, salah satu alasan mengapa sulit mencegah perundungan di sekolah adalah karena kurangnya langkah pembinaan bagi pelakunya. Menurut Muhadjir, tidak cukup hanya bergantung pada sekolah dan keluarga untuk menghentikan perilaku kekerasan tersebut.

Mengutip kasus perundungan yang viral di Cilacap, Jawa Tengah, Muhadjir mengatakan: “Pelaku di kasus bullying Cilacap sudah dikeluarkan dari sekolah dua kali karena menyerang siswa lainnya.“Ini artinya pemindahan sekolah tidak cukup untuk menghentikan perilaku kekerasan siswa. Perlu adanya langkah pembinaan. “Kasus perundungan di Cilacap menjadi viral pada September lalu setelah sebuah cuplikan video berdurasi empat menit beredar di media sosial. Video itu memperlihatkan dua pelajar memukuli seorang siswa hingga tersungkur di tanah.

Tak kalah langkah Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi turun tangan. Langkah tersebut merupakan tindak lanjut atas diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).

Selain untuk memberikan sosialisasi mengenai kebijakan PPKSP, program penguatan kapasitas tersebut diharapkan dapat mendorong para pemangku kepentingan. Kepala Puspeka (Pusat Penguatan Karakter) Kemendikbduristek, Rusprita Putri Utami, menyampaikan bahwa Puspeka perlu memberikan informasi kepada para pendidik, tenaga kependidikan, peserta didik, orangtua, dan masyarakat terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Hal itu sebagaimana dimandatkan dalam Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang PPKSP.

Program pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan ini menurutnya sangat mendesak untuk sesegera mungkin diimplementasikan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. “Mengingat semakin tingginya insiden kekerasan di satuan pendidikan yang mengancam tidak saja peserta didik tapi juga warga satuan pendidikan lainnya,” ujar Rusprita dalam keterangan resmi kepada Okezone, Rabu (11/10/2023).

Ia menjelaskan, mekanisme pencegahan tindakan kekerasan diatur melalui penguatan tata kelola, sarana dan prasarana, serta edukasi di tingkat sekolah dan pemerintah daerah. Selain itu, mekanisme penanganan tindakan kekerasan juga diatur dengan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) oleh sekolah dan Satuan Tugas (Satgas) oleh pemerintah daerah.

“Setelah mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas ini, para Kepala UPT, Kepala Dinas, dan Kepala Sekolah diharapkan dapat mendorong terbentuknya TPPK dan Satgas PPKSP di satuan pendidikan. Apabila ditemukan kasus tindak kekerasan dapat segera melaporkannya sehingga ada pengawasan dan pengembangan program pencegahan secara menyeluruh,” tuturnya.

Beberapa Kasus perundungan anak sekolah yang viral di Indonesia pada th 2023 :

1. Siswa di Balikpapan, Kalimantan Timur, jadi korban perundungan pada 23 September 2023

Seorang siswa 13 tahun dipukuli oleh dua siswa dari sekolah lain setelah dituduh mengirim pesan tidak senonoh kepada pacar pelaku. Dalam video yang viral, korban terlihat menangis kesakitan karena dipukuli.

2. Senior mem-bully juniornya di Bekasi, Jawa Barat, pada pertengahan September 2023

Dalam video lainnya yang viral, beberapa siswa terekam memukuli siswa lainnya yang duduk tanah dengan sandal dengan alasan mendidik jiwa kepemimpinan mereka. Para korban adalah junior pelaku di sekolah. Pelaku sudah kembali bersekolah namun dalam pengawasan ketat pihak sekolah.

3. Lima siswa SMK keroyok teman sekolah di Cimahi, Jawa Barat, pada 18 Agustus 2023

Sebuah video yang viral menunjukkan lima siswa menyudutkan korban ke tembok dan memukulinya. Menurut Detik, pelaku perundungan kemudian ditangkap polisi. Namun kasus ini tidak dilanjutkan ke ranah pidana setelah mediasi dilakukan antar keluarga.

4. Seorang siswa dirundung oleh enam pelaku di sebuah madrasah di Asahan, Sumatra Utara, pada 11 Agustus 2023

Pada awal September lalu, sebuah video yang viral memperlihatkan enam siswa melakukan kekerasan terhadap siswa lainnya yang berusia 15 tahun. Korban yang menderita luka serius dan trauma telah mengalami beberapa kali perundungan sebelum video itu tersebar.

5. Siswa SD buta setelah dipalak kakak kelasnya di Gresik, Jawa Timur, pada 7 Agustus 2023

Seorang anak berusia delapan tahun menjadi buta setelah dicolok matanya dengan sumpit bakso dalam peristiwa pemalakan oleh kakak kelasnya. Diberitakan media setempat, insiden ini dilaporkan ke polisi oleh orang tua korban setelah sekolah menolak memberikan rekaman CCTV kejadian tersebut.

6. Siswa di Sukabumi, Jawa Barat, patah tulang setelah dirundung teman-teman sekolahnya pada Februari 2023

Seorang siswa menderita patah tulang setelah dua teman sekolahnya mendorongnya hingga jatuh. Media memberitakan, kasus ini viral pada September lalu dan berakhir damai setelah pelaku meminta maaf.

Mirisnya,  Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) telah merilis data kasus bullying atau perundungan di sekolah tahun 2023. Sejak Januari hingga September, tercatat ada 23 kasus bullying.  Dari 23 kasus tersebut, 50% terjadi di jenjang SMP, 23% di jenjang SD, 13,5% di jenjang SMA, dan 13,5% di jenjang SMK. Kasus paling banyak terjadi di jenjang SMP dan dilakukan oleh sesama siswa maupun dari pendidik.

Dari kasus tersebut, salah satu kasus bullying telah memakan korban jiwa. Sebanyak satu siswa SDN di Kabupaten Sukabumi meninggal setelah mendapatkan kekerasan fisik dari teman sebaya dan 1 santri MTs di Blitar (Jawa Timur).

“FSGI menyampaikan keprihatinan atas sejumlah perundungan yang dilakukan anak terhadap anak di satuan pendidikan yang kian membahayakan jiwa korban,” tulis FSGI dalam keterangan resmi yang diterima detikEdu, Selasa (3/10/2023).

Untuk itu, FSGI mendorong Kemendikbudristek dan pemerintah daerah untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.

“Diantaranya melalui penerapan Permendikbudristek No. 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan wajib diimplementasikan untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman tanpa kekerasan melalui disiplin positif,” tegas FSGI.

 https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6962155/data-kasus-bullying-di-sekolah-fsgi-50-di-jenjang-smp.

Sangat mengerikan memang. Wajar jika situasi ini mengundang banyak pihak untuk mencari solusinya. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar menyatakan pola pengasuhan yang positif dan komunikasi terbuka dengan anak menjadi kunci dalam mencegah anak terpapar perilaku negatif.

Ia lalu mengingatkan orang tua agar selalu memperhatikan perilaku anak serta lingkungan pertemanannya sehingga dapat dengan mudah mendeteksi adanya ketimpangan pada anak. Kemen PPPA juga mendorong masyarakat yang menemukan kasus kekerasan untuk segera melaporkannya kepada Layanan SAPA 129 Kemen PPPA. (Antara News, 4-10-2023).

The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) meminta pemerintah mengatasi maraknya kasus perundungan dengan mengedepankan kepentingan terbaik anak tanpa menghilangkan proses pembelajaran pada anak ketika berhadapan dengan hukum. Meski pelaku berusia anak, hukuman harus tetap ditegakkan yang disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku untuk subjek hukum anak sehingga bisa memberikan efek jera. (Antara News, 4-10-2023).

Upaya lainnya adalah pembentukan satgas di sekolah, pembentukan sekolah ramah anak, sampai penerbitan aturan Permendikbud Antikekerasan di sekolah. Akan tetapi, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf menilai Permendikbudristek 46/2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) dianggap belum efektif. (Republika, 3-10-2023).

Jika kita cermati, semua upaya tersebut tidak membuahkan hasil, bahkan makin merajalela, baik di sekolah umum maupun di pondok pesantren. Lebih menyedihkan lagi, tindakan ini dilakukan kepada teman sebaya.

Tidak dipungkiri pula, berulangnya kasus perundungan ini menyimpan tanya, mengapa sangat sulit untuk membendungnya? Terlebih terkait dengan generasi bangsa. Jika sejak awal generasi muda ini sudah memiliki kepribadian buruk, bagaimana nasib bangsa ini pada masa depan nantinya?

Mengurai Masalah Kasus Perundungan, Mengapa Makin Marak?

Perundungan bisa berbentuk kekerasan verbal, non verbal ataupun fisik. Lantas, apa penyebab tingginya perundungan yang bahkan bisa berujung pada tindak kriminal? :

Pertama, Peran keluarga dan lingkungan masyarakat. Benar bahwa keluarga dan lingkungan masyarakat berpengaruh besar bagi maraknya kasus perundungan yang dilakukan anak. Keluarga yang broken home atau tidak harmonis bisa menjadi penyebab munculnya pelaku perundungan. Orang tua sibuk bekerja sehingga tidak mampu menjalankan fungsinya dengan sempurna, Orang tua yang sering cekcok dan alpa dalam pengasuhan, menjadi stimulus anak untuk mencari perhatian di luar rumah, salah satunya merundung.

Kedua, Sistem pendidikan yang diterapkan saat ini. Lihatlah betapa pendidikan hari ini fokus pada akademik, tetapi abai terhadap agama. Manajemen dan pengawasan yang kurang dari pihak sekolah menjadikan kasus perundungan kian subur. Begitu pun fokus kurikulum yang hanya pada akademik, menjadikan anak minim akhlaknya.

Ketiga, Peran media. Bukan lagi satu rahasia jika media menjadi corong makin tingginya kasus perundungan. Mudahnya anak mengakses informasi lewat internet, berperan atas terjadinya kasus perundungan. Game online, misalnya, menyuguhkan banyak kekerasan fisik. Juga tontonan kartun dan anime yang pada kenyataannya sedang membudayakan kekerasan di dalam benak anak-anak. Banyak dari pelaku perundungan fisik yang terilhami dari tontonan mereka. Misalnya, game online yang banyak memuat konten kekerasan, anak-anak sangat mudah mengakses aplikasi tersebut lalu memainkannya. Namun, alih-alih dilakukan upaya pencegahan agar anak-anak tidak mengakses tontonan tersebut, negara malah menjadikan game online menjadi e-sport, yaitu cabang olahraga yang menggunakan media game sebagai bidang kompetitif.

Salah satu game online yang dijadikan e-sport adalah Mobile Legends, padahal kontennya penuh muatan kekerasan fisik. Akhirnya banyak para pemainnya merasa tidak asing dengan tindakan kekerasan, mirisnya hingga kekerasan seksual. Sudah banyak pakar menyampaikan bahaya dari game online, tetapi keberadaannya malah didukung negara atas nama benefit ekonomi.

Kebijakan negara yang seolah abai terhadap akhlak anak bangsa dan lebih mengutamakan keuntungan materi, sejatinya lahir dari landasan negara yang sekuler. Negara tidak menjadikan ayat-ayat Alquran sebagai landasan sehingga kebijakannya sering bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Melihat tiga faktor di atas, maka sesungguhnya ini semua hanyalah dampak. Dan kita bisa lihat sesungguhnya yang menjadi akar permasalahannya adalah akibat dari penerapan sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Asas sekularisme telah mencabut nilai-nilai moral dan agama. Asas ini akhirnya melahirkan liberalisme yang mengagung-agungkan kebebasan, termasuk kebebasan bertingkah laku sehingga aturan agama makin terpinggirkan.

Sekolah sebagai institusi pendidikan, alih-alih mampu mencetak peserta didik yang berkualitas, kurikulum sekuler kapitalisme yang diterapkan—tanpa memperhatikan aspek spiritual atau agama—justru melahirkan remaja yang banyak masalah. Belum lagi aturan dan kebijakan penguasa yang kental dengan liberalisme, tidak memperhatikan nilai-nilai agama memberi andil besar makin maraknya kasus ini.

Jelaslah bahwa persoalan mendasar penyebab perundungan adalah persoalan yang bersifat sistematis, yakni akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan.

Telah nyata bahwa sistem sekuler kapitalisme merupakan sistem rusak dan merusak, menggiring manusia pada keburukan dan kenestapaan tanpa pandang bulu. Orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak, semua menjadi korbannya.

Sudah seharusnya kita membuang sistem rusak seperti ini dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem kehidupan yang datang dari Allah Taala, yaitu sistem Islam.

Bagaimana Sistem Islam Mengatasi Perundungan?

Berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, sistem Islam (Khilafah) yang menjadikan akidah Islam sebagai asas, memiliki aturan yang sangat terperinci dan sempurna. Islam telah menetapkan bahwa selamatnya anak dari segala bentuk kezaliman ataupun terlibatnya mereka dalam perundungan bukan hanya tanggung jawab keluarga dan lingkungan masyarakat. Negara juga memiliki andil dan peran yang sangat besar dalam mewujudkan anak-anak tangguh berkepribadian Islam sehingga senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan maksiat, termasuk perundungan.

Benar bahwa Islam telah memberikan kewajiban pengasuhan anak kepada ibu hingga anak tamyiz, juga kewajiban pendidikan anak kepada ayah ibunya. Akan tetapi, hal ini tidak cukup. Terwujudnya lingkungan kondusif di tengah masyarakat menjadi hal penting bagi keberlangsungan kehidupan anak.

Lingkungan masyarakat yang baik akan menentukan corak anak untuk kehidupan selanjutnya. Tidak kalah penting adalah adanya peran negara. Negara Islam bertanggung jawab menerapkan aturan Islam secara utuh dalam rangka mengatur seluruh urusan umat. Umat pun mendapat jaminan keamanan dan kesejahteraan secara adil dan menyeluruh.

Oleh sebab itu, upaya pencegahan dan solusi perundungan hanya akan terwujud dengan tiga pilar sebagai berikut;

Pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Hal ini akan mendorong setiap individu untuk senantiasa terikat dengan aturan Islam secara keseluruhan. Keluarga juga dituntut untuk menerapkan aturan Islam di dalamnya. Aturan inilah yang akan membentengi individu umat dari melakukan kemaksiatan dengan bekal ketakwaannya.

Kedua, kontrol masyarakat. Hal ini akan menguatkan hal yang telah dilakukan oleh individu dan keluarga. Kontrol ini sangat diperlukan untuk mencegah menjamurnya berbagai tindakan brutal dan kejahatan yang dilakukan anak-anak. Budaya beramar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, serta tidak memberikan fasilitas sedikit pun dan menjauhi sikap permisif terhadap semua bentuk kemungkaran, akan menentukan sehat tidaknya sebuah masyarakat sehingga semua tindakan kriminalitas apa pun dapat diminimalkan.

Ketiga, peran negara. Negara Islam wajib menjamin kehidupan yang bersih bagi rakyatnya dari berbagai kemungkinan berbuat dosa, termasuk perundungan. Caranya dengan menegakkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara juga wajib menyelenggarakan sistem pendidikan Islam dengan kurikulum yang mampu menghasilkan anak didik yang berkepribadian Islam yang andal sehingga terhindar dari berbagai perilaku kasar, zalim, dan maksiat lainnya. Negara pun harus menjamin terpenuhi pendidikan yang memadai bagi rakyatnya secara berkualitas dan cuma-cuma.

Selain itu, negara akan menjaga agama dan moral, serta menghilangkan setiap hal yang dapat merusak dan melemahkan akidah dan kepribadian kaum muslim, seperti peredaran minuman keras, narkoba, termasuk berbagai tayangan yang merusak di televisi atau media sosial.

Dalam pandangan Islam, negara adalah satu-satunya institusi yang secara sempurna dapat melindungi anak dan yang mampu mengatasi persoalan perundungan. Ini semua hanya akan terealisasi jika aturan Islam diterapkan secara totalitas dalam sebuah institusi negara, yaitu Khilafah Islamiah.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Muslim dan Ahmad).

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Bagaimana Sanksi bagi Anak-Anak Pelaku Perundungan?

Negara Islam sebagai pelaksana utama diterapkannya syariat Islam, berwenang untuk memberikan sanksi tegas kepada pelaku tindak kejahatan. Lalu, bagaimana sanksi dari negara Islam kepada pelaku perundungan?

Anak di bawah umur yang melakukan perbuatan kriminal (jarimah), misalnya mencuri, melakukan pengeroyokan (tawuran), perundungan secara fisik, dan sebagainya, tidak dapat dijatuhi sanksi pidana Islam (‘uqubat syar’iyyah), baik hudud, jinayah, mukhalafat, maupun takzir. Ini karena anak di bawah umur belum tergolong mukalaf, sedangkan syarat mukalaf adalah akil (berakal), balig (dewasa), dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).

Dalil bahwa anak di bawah umur dan orang gila tidak dapat dihukum adalah berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Telah diangkat pena dari tiga golongan, yaitu orang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia balig, dan orang gila hingga ia berakal (waras).” (HR Abu Dawud). Yang dimaksud “diangkat pena” (rufi’a al-qalamu) dalam hadis ini adalah diangkat taklif (beban hukum), yakni tiga golongan itu bukan mukalaf. (Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/36).

Maka, perlu diketahui, dalam pandangan syariat, anak di bawah umur adalah anak yang belum balig (dewasa). Adapun jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig (‘alamat al-bulugh) sebagaimana ditetapkan syariat, berarti ia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal. Sanksi yang dijatuhkan bagi orang yang menyakiti organ tubuh atau tulang manusia adalah diyat.

Rasulullah saw. bersabda, “Pada dua biji mata, dikenakan diyat. Pada satu biji mata, diatnya 50 ekor unta. Pada dua daun telinga dikenakan diyat penuh.” (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat).

Oleh karenanya, jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), ia tidak dapat dihukum. Jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itulah yang dijatuhi sanksi. Namun, jika bukan karena kelalaian wali, wali tidak dapat dihukum. Namun, negara akan melakukan edukasi terhadap wali dan anak yang melakukan pelanggaran tersebut. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).

Khatimah :

Hingga kini, kasus perundungan terus terjadi, bahkan pelakunya adalah anak-anak dan tindakannya pun makin brutal. Sudah seyogianya negara ini dan masyarakat untuk belajar, berulangnya kasus serupa membuktikan bahwa sistem yang saat ini diterapkan (kapitalisme sekularisme) telah gagal membentuk generasi berkepribadian mulia. Sudah saatnya untuk mencampakkannya dan menggantinya dengan sistem yang telah terbukti menghasilkan generasi berkualitas, yaitu sistem Islam.

Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah perundungan ini adalah dengan menerapkan aturan Islam secara kafah dalam naungan Khilafah. Khilafah akan mengharuskan semua pihak yang bertanggung jawab terhadap anak—keluarga, masyarakat, dan negara—untuk bekerja bersama, termasuk dengan menjatuhkan sanksi bagi para pelaku.

Semua harus dilakukan dengan perubahan secara mendasar pada aspek-aspek yang menjadi pemicunya. Jika tidak, boleh jadi akan muncul terus kasus-kasus serupa dengan motif yang berbeda-beda.

Wallahualam bi showab.

Oleh Purwanti, S.Pd (Guru BK SMP Samarinda)