Share ke media
Opini Publik

Memutus Rantai Kekerasan Seksual Pada Anak

05 Apr 2024 05:26:15476 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : merdeka.com - Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh terus meningkat - 2013

Samarinda - Makin hari kasus kekerasan seksual pada anak bukannya berkurang justru kian bertambah. Anak yang seharusnya menjadi sosok yang dijaga dan dilindungi, hari ini justru menjadi korban kekerasan seksual. Di Kalimantan Timur (Kaltim) saja, kasus kekerasan menunjukkan tren peningkatan yang memprihatinkan dalam lima tahun terakhir. Menurut data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), terjadi lonjakan kasus hingga 77% dari 623 kasus di tahun 2019 menjadi 1.108 kasus di tahun 2023 (Kaltimtoday.co, 27/03/2024).

Berdasarkan data Februari 2024, Kota Samarinda menjadi wilayah dengan kasus kekerasan terbanyak, yakni mencapai 57 kasus. Dari total 196 korban, mayoritas adalah perempuan, dengan 127 anak-anak dan 69 orang dewasa. Analisis data menunjukkan bahwa 38,8% (83 orang) mengalami kekerasan seksual, 30,8% (66 orang) mengalami kekerasan fisik, dan 15,4% (33 orang) mengalami kekerasan psikis. Mirisnya, 70 kasus kekerasan terjadi di dalam rumah tangga. Kota Samarinda kembali menjadi wilayah dengan kasus KDRT terbanyak, dengan 18 kasus dan 21 korban.

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi permasalahan ini, di antaranya dengan membentuk Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Puspaga berfokus pada pemberian layanan edukasi dan konseling bagi anak, orang tua, dan wali, sedangkan UPTD PPA menangani kasus-kasus kekerasan, diskriminasi, dan permasalahan lainnya yang dihadapi perempuan dan anak. 

 Buruknya Sistem Kehidupan 

Berulangnya kasus kekerasan terhadap anak hingga terjadi peningkatan jumlah setiap tahunnya menandakan bahwa anak tidak aman dalam sistem hari ini. Meskipun pemerintah berkomitmen akan terus mendorong dan mempertajam upaya-upaya penanganan tindak kekerasan terhadap anak melalui konvensi hak anak, UU Perlindungan Anak, UU KDRT, layanan edukasi dan konseling, pemberian hukuman, dan sebagainya, tetap saja negara gagal melindungi anak dari aksi kekerasan dan berbagai kejahatan lainnya.

Lebih dari itu, mata rantai kekerasan pada anak yang tak kunjung putus merupakan bukti buruknya penerapan sistem kehidupan yakni sekulerisme yang menjadi pengatur dan standar dalam berpikir dan berperilaku bagi masyarakat di negeri ini. Banyak di antara umat Islam yang akhirnya menjadi sekular dan liberal, merasa bebas berbuat tanpa terikat dengan aturan apa pun, termasuk aturan agama. 

Mereka juga tidak mampu lagi berpikir benar dalam memandang kehidupan dan mencari solusi atas problem yang dihadapi. Mereka lebih mengedepankan hawa nafsu dan syahwat ketimbang rasa takut bermaksiat kepada Allah. Maka tak ayal, anak-anak kerap menjadi sasaran pemuas birahi. 

Parahnya, orang-orang di sekitar mereka pun seolah menutup mata dan acuh sehingga membuat pelaku kejahatan bebas melakukan aksinya. Begitupun dengan negara yang sangat lemah dalam memperhatikan urusan rakyatnya dan menjamin keamanan mereka. Negara pun seolah mandul, tidak mampu memberikan sanksi tegas bagi para pelaku tindak kejahatan, sedangkan sarana-sarana yang bisa membangkitkan syahwat seperti media, dan sebagainya malah dibiarkan melenggang dengan bebasnya. Maka jelaslah, kegagalan negara dalam melindungi generasi dan memberantas tindak kekerasan seksual merupakan buah busuk dari penerapan sistem sekulerisme.

 Islam Melindungi Anak 

Anak adalah amanah dari Allah SWT yang harus dijaga, dilindungi, dan dipenuhi kebutuhannya. Untuk itu, Islam memiliki beberapa langkah untuk melindungi anak dari tindak kekerasan seksual. Pertama, menguatkan keimanan individu-individu keluarga muslim. Peran sentral ini tentu ada pada orang tua yang bertanggung jawab mendidik dan membina semua anggota keluarga agar taat kepada Allah. Ayah dan ibu bekerja sama untuk menanamkan keimanan sejak anak masih usia dini, menerapkan berbagai syariat Islam yang mengatur pergaulan anggota keluarga, seperti memisahkan tempat tidur anak, dan memastikan semua anggota keluarga menutup aurat sesuai batasan Islam, baik di hadapan mahram maupun nonmahram. 

Kedua, kepedulian masyarakat. Tak cukup peran keluarga, kepedulian masyarakat juga diperlukan untuk melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar agar semua keluarga muslim taat syariat dan tidak terjadi kekerasan seksual yang menimpa anak-anak. Ketiga, peran negara. Peran negara dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual yaitu dengan mengedukasi masyarakat agar selalu taat syariat melalui pendidikan berbasis akidah Islam dan jalur dakwah.

Selanjutnya, negara akan mengawal media agar selalu menyebarkan konten-konten Islam di tengah umat, mengajak kepada hal-hal yang bermanfaat, serta mengajak kepada kebaikan. Negara juga melakukan berbagai upaya agar semua konten pornografi hilang dari peredaran. Lalu,  negara juga menerapkan sistem pergaulan sesuai Islam yang mengatur dan membatasi interaksi antara laki laki dan perempuan. Kehidupan laki-laki dan perempuan dipisah, kecuali di tempat umum yang mengharuskan mereka bertemu dan berinteraksi dengan batasan syarak, seperti di pasar, di sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. 

Tak kalah penting, negara memberikan sanksi berat sesuai syariat bagi para pelaku kekerasan seksual, yakni dua sanksi sekaligus. Sanksi karena pelaku telah melakukan pemaksaan yang melukai farji (kemaluan) korban, serta sanksi karena pelaku telah berzina. Abdurahman al-Maliky dalam kitab Nizhamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa perlukaan terhadap farji termasuk perkara jinayah yang dikenakan sanksi berupa harta (diat). 

Akan tetapi, harus diperhatikan terlebih dahulu luka yang ditimbulkannya untuk menentukan apakah sanksinya berupa setengah diat atau satu kali diat. Adapun satu kali diat adalah setara 100 ekor unta, sedangkan setengahnya adalah 50 ekor unta. Sementara itu, sanksi karena melakukan zina adalah berupa had zina. Jika pelaku belum menikah (ghairu muhsan), hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. Apabila pelaku sudah menikah (muhsan), ia mendapat hukuman rajam sampai mati.

Demikianlah cara Islam mencegah dan melindungi anak-anak dari kekerasan seksual dan kejahatan lainnya. Bentuk perlindungan seperti ini tentu hanya ada dalam sistem pemerintahan yang menerapkan syariat Islam kaffah dan mampu memutus rantai kekerasan seksual pada anak. Wallahua’lam bishshawab

Oleh: Ita Wahyuni, S.Pd.I. (Pemerhati Masalah Sosial)