Samarinda - Sebagai upaya peningkatan pemahaman bagi kaum perempuan dalam dunia politik, Pemkab Kutai Timur (Kutim) melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kutim menggelar kegiatan Seminar Perempuan Peduli Politik, Kamis (24/11/2022). Seminar bertema “Cerdas Berpolitik Perempuan Maju” ini digelar di Ruang Panel, Kantor DPRD Kutim. Staf Ahli Bupati Bidang Perekonomian Pembangunan dan Keuangan Seskab Kutim Sulastin mewakili Bupati Kutim saat pembukaan menjelaskan bahwa tahun 2024 merupakan tahun politik. Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, juga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Pada 2024 kelak keterwakilan perempuan di parlemen harus terisi penuh. Ini bukan hanya sekadar syarat yang diberikan kepada partai politik dalam melakukan pencalonan tetapi betul-betul memberi tempat bagi perempuan untuk menjadi wakil rakyat di parlemen,” tambahnya. Di akhir sambutannya, ia berpesan kepada seluruh perempuan agar tidak berhenti belajar dan senantiasa menambah wawasan dan berharap setelah seminar ini mampu meningkatkan peran kaum perempuan dalam dunia politik. Sehingga nantinya bisa berkontribusi membangun “Kutim Sejahtera untuk Semua” (pro.kutaitimurkab.go.id, 24/11/22).
Politik Perempuan dalam Kacamata Demokrasi
Adanya keyakinan bahwa persoalan perempuan akan terselesaikan manakala terjun langsung ke tataran kebijakan publik dan politis sangat terpengaruhi wacana pemikiran demokrasi kapitalistik. Sistem ini memberi peluang sebesar-besarnya bagi laki-laki maupun perempuan untuk berpartisipasi dan terlibat penuh dalam proses pengambilan kebijakan yang menyangkut diri mereka. Lembaga pemerintah sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat merupakan institusi resmi yang akan melaksanakan volonte generale (keinginan rakyat). Mereka diangkat dengan kontrak oleh rakyat untuk melaksanakan apa pun kehendak rakyat.
Saat ini, demokrasi mengharuskan adanya sistem perwakilan, yakni menampung aspirasi individu-individu rakyat dalam masyarakat dan wakil-wakil mereka mempresentasikannya di parlemen. Dari sini, tampak logika pemikiran demokrasi memiliki pemahaman politik melulu diartikan sebagai kekuasaan dan legislasi sehingga ide politik perempuan dalam kacamata demokrasi selalu diarahkan agar kaum perempuan mampu berkiprah di elite kekuasaan dan lembaga legislasi. Minimal memperjuangkan aspirasinya sendiri secara independen tanpa pengaruh maupun tekanan pihak mana pun.
“Gula-Gula” Politik
Perlu kiranya kita melihat “Apakah benar jika partisipasi perempuan di parlemen ditingkatkan angkanya, maka akan terjamin kesejahteraan perempuan dan anak di masyarakat?” Berdasarkan laporan Women in Politic Map 2020, 25 tahun pasca-Deklarasi Beijing, dunia masih miskin perempuan pengambil keputusan. Hanya ada 10 kepala negara perempuan (6,6%) dan 12 kepala pemerintahan perempuan (6,2%). Kepemimpinan perempuan dan partisipasi setara merupakan elemen kunci demokrasi dan dianggap prasyarat capaian pembangunan berkelanjutan. Namun, harapan hanya tinggal harapan. Faktanya, adanya perempuan dalam kursi kepemimpinan dan parlemen tidak menunjukkan keberpihakan pada agenda dan isu-isu perempuan. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini pernah melakukan penelitian yang menyebutkan bahwa calon perempuan tidak serta-merta menunjukkan keberpihakan pada agenda dan isu-isu perempuan. (BBC Indonesia).
Itu karena pemicu persoalan perempuan disebabkan berbagai faktor yang bermuara pada sistem kehidupan yang diterapkan saat ini, yakni demokrasi kapitalistik. Perempuan pemimpin hanya menjadi simbol liberalisme. Kalaupun perempuan berada dalam lingkar kekuasaan, hanya menjadi “gula-gula” (pemanis) dalam politik demokrasi. Bagi demokrasi, gender bukan persoalan penting, lebih utama ialah memastikan kebijakan berada pada segelintir orang (para oligarki). Demokrasi yang menaungi kekuasaan di era kapitalisme akan selalu meniscayakan oligarki kekuasaan.
Pada akhirnya, kepentingan para oligarki yang dimenangkan bukan keberpihakan pada kepentingan perempuan. Nasib perempuan akan tetap terpinggirkan, bahkan legal atas nama UU, apalagi terbukti dengan sahnya UU 11/2020 tentang Cipta Kerja. Naiknya harga minyak goreng pun menjadi contoh saat ini bahwa mak-mak sebagai kaum yang membutuhkannya untuk kebutuhan dapur tidak diperhatikan. Adanya Ketua DPR dari kaum hawa justru tidak berbuat apa-apa untuk mengatasi masalah ini.
Muslimah Wajib Berpolitik
Sejak kemunculannya, Islam tidak pernah meminggirkan kaum perempuan dari aktivitas politik. Ada Khadijah binti Khuwalid ra. yang senantiasa mendampingi dan mengobarkan semangat perjuangan bagi Rasulullah. Ada Sumayyah binti Khubath, syahidah pertama. Ada Asma binti Abu Bakar yang memuluskan jalan bagi Rasulullah dan ayahnya untuk berhijrah ke Madinah. Ada Asma binti Yazid, orator ulung yang menjadi wakil para perempuan dalam majelis syura. Ada Khaulah binti Malik bin Tsa’labah yang tidak segan-segan melakukan koreksi terhadap Amirulmukminin Umar bin Khaththab. Mereka adalah para perempuan yang mempunyai posisi strategis dalam peran politik.
Islam memandang bahwa keberadaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan laki-laki. Keduanya diciptakan dengan mengemban tanggung jawab yang sama dalam mengatur dan memelihara kehidupan ini sesuai kehendak Allah Taala, Al-Khaliq al-Mudabbir. dubaiescortstars.com Mengenai peran politik, Islam memandang perempuan sebagai bagian dari masyarakat. Islam menjadikan mereka juga memiliki kewajiban yang sama untuk mewujudkan kesadaran politik pada diri mereka dan masyarakat secara umum.
Hanya saja, harus diluruskan bahwa pengertian politik dalam konsep Islam tidak terbatas masalah kekuasaan, melainkan meliputi pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam maupun luar negeri, menyangkut aspek negara maupun umat. Dalam hal ini, negara bertindak langsung mengatur urusan umat, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan tadi oleh negara. Oleh karena itu, dalam Islam, tidak masalah posisi seseorang sebagai penguasa atau sebagai rakyat biasa. Keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam memajukan Islam dan umat Islam, serta bertanggung jawab yang sama dalam menyelesaikan problematik umat tanpa membedakan problem itu menimpa laki-laki atau perempuan. Seluruhnya dianggap sebagai problematik umat yang harus diselesaikan secara bersama-sama.
Ketika kaum muslim—laki-laki maupun perempuan—berupaya memfungsikan segenap potensi insaniah-nya untuk menyelesaikan urusan umat, pada saat itulah tampak keterlibatannya dalam aktivitas politik. Akan tetapi, harus dipahami bahwa esensi kiprah politik perempuan adalah sebagai bagian dari kewajibannya yang datang dari Allah Taala. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslim, ia bukanlah termasuk di antara mereka. Siapa saja yang bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslim, ia bukanlah golongan mereka.” (HR Ath-Thabari)
Dengan kata lain, ini adalah suatu bentuk tanggung jawabnya terhadap masyarakat yang terdiri atas perempuan dan laki-laki. Seorang muslim juga harus menyadari bahwa Islam sangat menjaga kemuliaan dan ketinggian martabat perempuan. Semua itu semata-mata karena Allah Taala sangat memahami hal yang terbaik bagi manusia, laki-laki dan perempuan. Walhasil, Allah Taala telah menetapkan bahwa secara politis, peran utama dan strategis bagi perempuan adalah sebagai ummun wa rabbatul bait, yakni sebagai pencetak generasi. Dengan itu, akan lahir generasi yang berkualitas prima sebagai para pejuang Islam yang ikhlas.Islam juga telah memberikan batasan jelas dan tuntas terkait aktivitas perempuan, demikian pula aktivitas politiknya.
Wallahualam bissawab.
Oleh : Hanik Syukrillah, M.Si
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isiredaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru