Share ke media
Opini Publik

MENYOAL PENANGGULANGAN HIV/AIDS

06 Aug 2024 04:00:0273 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : goodstats.id - Menyoal Kasus dan Penanganan HIV di Indonesia - 16 Januari 2023

Samarinda - Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalimantan Timur (Kaltim) Jaya Mualimin menyatakan bahwa target Three Zero menjadi kunci dalam upaya mengeliminasi HIV/AIDS di tahun 2030, sejalan dengan program nasional. Dia menekankan pentingnya koordinasi dengan seluruh kabupaten/kota di Kaltim untuk meninjau kemajuan program dan memastikan efektivitas. Setiap sektor memiliki peran penting dalam mencapai eliminasi HIV sebelum 2030. Dalam penanggulangan HIV/AIDS pemerintah melibatkan berbagai pihak terkait untuk sinergitas yang baik dan pentingnya peran serta masyarakat.

Kutai Timur sendiri telah membuat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penanggulangan HIV/AIDS di Kutai Timur dengan melibatkan berbagai pihak terkait. DPRD Kutai Timur berharap Raperda ini dapat segera rampung dan menjadi landasan hukum yang kuat dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di daerah. Kepala Dinas Kesehatan Kutim Dr. Bahrani Hasanal menyampaikan bahwa dengan adanya Raperda tersebut sampai disahkan menjadi perda, akan menjadi landasan hukum baik bagi Dinkes dan stakeholder terkait untuk saling berjibaku menangani penyakit menular. Karena menurutnya, penanganan terkait masalah ini memang perlu kerja sama berbagai pihak (teraskaltim.id/2024/07/18).

Data epidemiologi UNAIDS menyebutkan bahwa hingga 2021 jumlah orang dengan HIV mencapai 38,4 juta jiwa. Kelompok perempuan dan anak menunjukkan angka yang memprihatinkan. Di Indonesia, terdapat sekitar 543.100 orang hidup dengan HIV dengan estimasi 27 ribu kasus infeksi baru pada 2021. Sekitar 40 persen kasus infeksi baru terjadi pada perempuan, sedangkan lebih dari 51 persennya terjadi pada kelompok remaja (15-24 tahun), dan 12 persen infeksi baru pada anak.

Setiap tahunnya, dalam kurun waktu 2010—2022, terdapat sekitar 12.553 kasus HIV/AIDS. Ini pun seperti fenomena gunung es karena hanya tampak dari segi data. Kenyataannya tentu jauh lebih besar (Sindonewscom) . Berbagai solusi dan penanganan yang dilakukan oleh UNAIDS pada faktanya juga justru makin memperburuk keadaan.

Penyakit Perilaku

Kemunculan dan penularan HIV/AIDS adalah sangat erat dengan penyimpangan perilaku yang dilakukan manusia, terutama perilaku seksual bebas seperti bergonta-ganti pasangan seksual atau perilaku homoseksual. Sebelum pola penularan yang lebih kompleks dan beragam sebagaimana yang kita jumpai hari ini hingga menginfeksi komunitas yang bahkan tidak melakukan perilaku beresiko seperti bayi dan anak-anak, dalam sejarahnya, terdapat tiga pola penularan di awal penyebaran HIV/AIDS ke seluruh dunia. Pola pertama ditemukan di kalangan homoseksual dan pecandu obat bius. Ini terjadi di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, New Zealand dan sebagian Amerika. Pola kedua, ditemukan di kalangan heteroseksual di Afrika Tengah, Afrika Selatan, Afrika Timur, dan beberapa daerah Karibia, sejalan dengan perubahan sosial dan maraknya prostitusi yang terjadi. Pola ketiga ditemukan di Eropa Timur, daerah Mediteranian Selatan, dan Asia Pasifik. Di sini penularan terjadi melalui kontak baik homoseksual dan heteroseksual.Di Indonesia sendiri, kasus HIV/AIDS pertama ditemukan pada wisatawan homoseksual di Denpasar, Bali. Fenomena L687Q, kohabitasi, friend with benefit, seks dengan consent/persetujuan, termasuk swinger sex atau saling bertukar pasangan suami/istri dengan orang lain atas dasar suka sama suka (baca: sepakat dan saling menyetujui untuk berselingkuh dengan bertukar pasangan dengan orang lain) adalah sesuatu yang dipandang “baik-baik” saja oleh sistem ini.

Paradigma Sekuler Liberal

Selama ini kebijakan dan strategi penanganan HIV/AIDS, baik di Indonesia maupun secara global menggunakan paradigma sekuler liberal, melalui kondomisasi, subsitusi metadon, dan pembagian jarum suntik steril dan kebijakan terbaru yang sedang diujicobakan saat ini yaitu Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP) adalah metode untuk melindungi diri dari penularan HIV dengan mengonsumsi obat-obatan khusus setiap hari yang dianjurkan bagi orang yang berisiko tinggi terkena HIV, seperti pekerja seks, pria yang melakukan hubungan sesama jenis, orang yang memiliki pasangan pengidap HIV, serta pasangan heteroseksual dengan HIV yang ingin memiliki anak. HAM juga dijadikan sebagai landasan atau paradigma dalam upaya pencegahan dan pengobatan, khususnya dalam kampanye harm reduction A-B-C-D (Abstinence-Be faithful-use a Condom-no Drug) pada pencegahan HIV/AIDS. Paham kebebasan itu lebih jelas lagi terlihat ketika mencermati paparan tentang A ‘Abstinence‘, yakni pernikahan bukanlah prasyarat adanya hubungan seksual, sebagaimana juga termaktub pada situs resmi Kemenkes.

Dinyatakan, “Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali adalah cara pencegahan yang efektif dalam menghindari penularan HIV. Ini khususnya berlaku bagi remaja dan orang dewasa muda yang belum siap secara fisik dan emosional untuk terlibat dalam hubungan seksual. Tidak melakukan perilaku seks berisiko. Kalau terpaksa, gunakan pengaman dan jangan ganti-ganti pasangan.

Urgensi Kehadiran Islam

Pemutusan segera secara tuntas rantai penularan merupakan prinsip dasar penanganan HIV/AIDS, yakni dengan pemberantasan seks bebas dan semua aspek yang memfasilitasinya. Jelas hal ini menuntut kehidupan masyarakat steril dari seks bebas, termasuk paham kebebasan yang mendasarinya, selain sterilnya sistem kesehatan dari aspek industrialisasi.

Ini meniscayakan akses mudah bagi setiap orang terhadap pelayanan kesehatan gratis berkualitas serta berkhasiat. Pada titik ini, urgensi kehadiran Islam menemukan relevansi yang kuat sebagai metode yang efektif.

Pertama, di hulu. Keberadaan sistem kehidupan Islam akan mewujudkan kehidupan baru yang terselimuti suasana ketakwaan yang kuat, yakni kehidupan dalam masyarakat Islam. Setiap individu dalam aktivitas kehidupannya senantiasa terikat dengan syariat Allah SWT. Dilakukan penuh kesungguhan demi meraih ridha-Nya karena itulah puncak kebahagiaan bagi seorang muslim. Dengan sendirinya, hal itu akan melenyapkan secara pasti paham kebebasan hingga ke akarnya. Negara juga hadir sebagai pelaksana syariat secara kaffah, terutama sistem pergaulan, sanksi, ekonomi, pendidikan, media, serta sistem politik Islam. Artinya, peraturan perundang-undangan diterapkan agar setiap individu masyarakat berada dalam puncak ketaatan terhadap syariat Allah SWT, sekaligus pencegah agar tidak terjadi pelanggaran hukum syarak sekecil apa pun. Negara juga berfungsi menjaga akal, jiwa, agama, harta, keturunan, serta nasab. Semua ini meniscayakan kehidupan masyarakat steril dari paham kebebasan dan seks bebas hingga ke akarnya.

Ditegaskan Allah Taala dalam QS Al-Isra: 32, “Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan seburuk-buruknya jalan.”

Tidak hanya larangan, Islam juga menetapkan sanksi berefek jera dan mencegah, yakni hukum jilid dan rajam hingga mati bagi pezina muhshan (yang sudah menikah).

Rasulullah saw. bersabda, |Ambillah dari diriku, ambillah dari diriku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar (hukuman) untuk mereka (pezina). Jejaka dan perawan yang berzina hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama setahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” (HR Muslim).

Demikian juga penolakan total Islam terhadap pelaku “sesama”, sebagaimana dituturkan lisan mulia Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah Swt. melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth (liwat).” Beliau saw. mengulangi ucapan itu sebanyak tiga kali. (HR Nasai).

Juga sabdanya, “Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, bunuhlah kedua pelakunya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Ketentuan syariat terhadap perbuatan yang sangat keji ini dengan sendirinya menjadi sarana efektif pencegah dan pemutus rantai penularan HIV.

Kedua, di hilir. Bagi personal yang memiliki hak hidup, semisal ibu yang tertular dari suami ataupun anak yang tertular dari ibu, maka di antara langkah penting yang akan dilakukan negara seperti memperkuat surveilans berupa penemuan kasus aktif person yang masih menularkan dengan keberhasilan pengobatan 100%. Mereka berhak untuk mendapatkan layanan perawatan dan pengobatan terbaik, mendapatkan edukasi dan pendampingan bagaimana tetap bersemangat menjalani hidup dengan HIV secara lebih berkualitas, bebas dari stigmatisasi ODHA, tetap menebar manfaat dalam kehidupan yang dijalani.

Rasulullah saw. bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila ditemukan obat yang tepat untuk suatu penyakit, akan sembuhlah penyakit itu dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR Muslim).

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya.” (HR Ahmad).

Ketiga, negara menyediakan tempat-tempat perawatan kesehatan. Tidak saja harus berkualitas tinggi secara medis, tetapi juga nonmedis, termasuk terpenuhinya kebutuhan fisik dan nalurinya sebagaimana ketentuan syariat Islam. Pelaksanaan semua itu akan niscaya karena didukung tiga prinsip istimewa politik kesehatan Islam. Pertama, adanya energi luar biasa pada khalifah dan jajarannya ketika menjalankan proyek ini karena bekerja dengan falsafah amal dalam Islam. Kedua, kesatuan pandangan dalam pemberian pelayanan kesehatan sehingga tidak ada celah bagi diskriminasi pelayanan kesehatan. Ketiga, kekuasaan bersifat sentralisasi dan administrasi bersifat desentralisasi. Turut disifati oleh kesederhanaan aturan, kecepatan dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh personal yang kapabel.

Khatimah

Masa depan negeri ini—dan dunia—hanyalah ada pada Islam. Islam akan hadir menyelamatkan negeri ini dan dunia dari kerusakan yang berakar pada kapitalisme. Sistem Islam akan menjadi pemimpin dunia dan model dalam penuntasan berbagai persoalan, baik pada sektor kesehatan dan selainnya. Pada akhirnya, suasana kehidupan yang penuh penderitaan dan kesengsaraan akan berganti dengan suasana baru yang penuh kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberkahan.

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit—yang berada—dalam dada dan petunjuk, serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 56).

Wallahu’alam.

Oleh : dr. Sulistyawati