Samarinda - Presiden Joko Widodo pada akhir Juli 2024 lalu meneken PP 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Pada pasal 103 ayat (1) berbunyi “Upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi dan edukasi serta pelayanan kesehatan reproduksi.”
Kemudian, pada ayat (4) menyatakan “Pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja paling sedikit terdiri dari deteksi dini penyakit atau skrining, pengobatan, rehabilitas, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.”. Hal tersebut memicu kontroversi di tengah masyarakat, karena pada PP tersebut tidak memuat penjelasan yang detail. “Pada PP 28 tahun 2024 ini menurut saya pribadi seolah-olah diperbolehkan untuk menggunakan alat kontrasepsi. Sekalipun ada keterangan dari pak menteri di TV bahwa itu diperuntukkan untuk anak-anak yang melakukan perkawinan dini, atau yang menikah dini,” ujar Djubaedah kata dia, saat berbincang dengan MUIDigital, Senin (19/8/2024)
Menurut Djubaedah, PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang kesehatan akan menimbulkan persepsi yang salah apabila tidak ada penjelasan soal PP tersebut. Terlebih terkait penyediaan alat kontrasepsi, hal tersebut akan sangat krusial di tengah masyarakat.
Djubaedah mengatakan, sebenarnya tidak hanya pada pasal penyediaan alat kontrasepsi yang menuai banyak konroversi, secara keseluruhan pada PP 28 tahun 2024 juga akan menjadi sangat krusial jika tidak diiringi dengan penjelasan yang baik.
Polemik
Sangat wajar pasal penyediaan alat kontrasepsi memicu kontroversi sebab dalam PP tersebut hanya menjelaskan usia sekolah dan remaja, tidak ada penyebutan pemberian kontrasepsi berlaku hanya untuk pasangan halal. Jadi, apa yang disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi bahwa aturan penyediaan alat kontrasepsi ditujukan untuk pasangan remaja yang sudah sah menjadi suami istri seperti hanya dalih untuk membenarkan kebijakan pemerintah.
Lalu, dalam pasal 104 ayat (2) huruf b perihal frasa “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” meski ditujukan untuk usia dewasa, di antaranya pasangan usia subur dan kelompok berisiko, tidak dijelaskan kriteria usia pasangan subur itu seperti apa. Jika ditafsirkan secara bebas, usia remaja juga termasuk kategori usia subur. Kemudian, dalam pasal ini juga tidak dijelaskan pasangan yang dimaksud apakah suami istri atau bukan. Apakah hal ini mengarah pada legalisasi hubungan seksual sebelum menikah asal aman dan bertanggung jawab? Jika demikian, ini berarti negara memfasilitasi perilaku zina di kalangan generasi muda.
Dalam pasal 103 ayat 5 disebutkan, “Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat 41 huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, serta dilakukan oleh tenaga medis, tenaga kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya.” Konselor sebaya macam apa yang memiliki kompetensi untuk usia pelajar dan remaja? Apakah maksudnya teman seumuran, tetapi sudah memiliki pengetahuan luas dan pengalaman dalam praktik zina yang aman dari sisi kesehatan?
Mindset Liberalisme Sekularisme
Penguasa negeri ini sebenarnya sudah memahami bahwa kondisi generasi kita sedang tidak baik-baik saja. Bahkan sudah pada tahap yang mengkhawatirkan. Mengapa?
Pertama, hubungan seksual di kalangan remaja sudah membudaya. Merujuk pada data Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) pada 2017, BKKBN mengungkap bahwa 60% remaja usia 16—17 tahun telah melakukan hubungan seksual, usia 14—15 tahun sebanyak 20%, dan usia 19—20 sebanyak 20%. Pada tahun itu saja sudah demikian banyak, bisa jadi pada 2024 meningkat signifikan.
Kedua, salah satu dampak seks bebas adalah hamil di luar nikah. Kepala BKKBN Hasto Wardoyo mengatakan, pada 2023, 80% dispensasi nikah karena faktor hamil di luar nikah. Sejak 2016 dispensasi nikah meningkat tujuh kali lipat. Data Pengadilan Agama pada 2022 menunjukkan bahwa dispensasi nikah yang dikabulkan hakim mencapai 52.338 dengan angka tertinggi berasal dari Jawa Timur, yakni sebanyak 29,4% atau 15 ribu. Kita tentu masih ingat, pada 2023, sebanyak 191 pelajar di Ponorogo meminta dispensasi nikah dini karena hamil di luar nikah. Fakta yang sama terjadi di daerah lainnya.
Mindset pemerintah dalam memberikan solusi perilaku seks bebas di kalangan pelajar dan remaja masih sama, yakni beraroma liberalisme sekularisme. Paradigma inilah yang memunculkan malapetaka seks bebas di kalangan remaja. Kehidupan sekuler yang jauh dari aturan agama menjadikan perbuatan yang haram dianggap halal, semisal pacaran yang tidak dianggap perbuatan tercela dan maksiat, padahal pintu pertama menuju perzinaan adalah aktivitas pacaran.
Paradigma liberalisme menganggap kehidupan dan perbuatan manusia bebas diatur sesuai kehendak manusia. Alhasil, gaya hidup liberal melahirkan perilaku hedonis permisif. Standar perbuatan tidak bersandar pada halal dan haram, tetapi berkiblat pada nilai kebebasan yang dijajakan paham liberalisme. Imbasnya, kemaksiatan dinormalisasi dan aturan Islam makin terasing dari kehidupan remaja kita.
Di samping itu, penerbitan PP 28 Tahun 2024 makin menegaskan status Indonesia sebagai negara sekuler yang memaklumi dan menormalkan zina atas nama kebebasan berperilaku. Negeri ini sedang berjalan di ambang kehancuran generasi akibat rusaknya moral generasi dan pejabat negeri ini yang tiada henti membuat aturan-aturan sekuler nan liberal. Meski mayoritas penduduknya muslim, aturan yang dipakai sangat jauh dari Islam dan lebih memilih menggunakan aturan manusia, inilah yang disebut sekularisme. Begitu juga dengan sistem pendidikan sekuler yang tidak menghasilkan generasi bertakwa dan berkepribadian Islam.
Inilah penyebab utama seks bebas merebak di kalangan remaja dan pelajar. Oleh karenanya, solusi yang seharusnya diberikan bukanlah kampanye sex education ala sekularisme atau penyediaan alat kontrasepsi. Namun, harus dipastikan bahwa akar masalah seks bebas, yaitu liberalisme sekularisme tidak boleh menjadi pandangan hidup yang melahirkan kebijakan sekuler liberal.
Bagai mematikan api dalam sekam, upaya apa pun jika problem utamanya tidak dicabut dan dibersihkan hingga ke akarnya, pasti sia-sia. Perilaku remaja tidak kunjung membaik, malah makin merajalela seperti bola liar yang terus menggelinding tanpa henti. Lalu bagaimana solusi Islam dalam mencegah dan menangani liberalisasi perilaku pelajar dan remaja?
Solusi Islam
Dalam Islam, negara memiliki peran sebagai ra’in, yaitu melayani dan mengurusi setiap urusan masyarakat, termasuk dalam membina moral masyarakat. Semua aspek yang berpotensi merusak moral dan akhlak individu akan dicegah melalui penerapan syariat Islam kafah, mulai dari sistem pendidikan, pergaulan, pengelolaan media, hingga sistem sanksi. Islam memiliki aturan yang jelas serta mekanisme pasti dalam mewujudkan kehidupan yang islami dan membentuk generasi mulia, di antaranya:
Pertama, menerapkan sistem pendidikan Islam berbasis akidah Islam. Tujuan pendidikan adalah membentuk individu berkepribadian Islam, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. Dengan kurikulum berbasis akidah Islam, setiap peserta didik akan memiliki standar nilai dan perbuatan yang baku yang bersumber dari syariat Islam. Selain ilmu-ilmu saintek, setiap peserta didik dibekali dengan tsaqafah Islam sehingga mereka memiliki pemahaman Islam yang benar dan utuh.
Kedua, menerapkan sistem pergaulan berdasarkan syariat Islam. Negara akan mengawasi perilaku masyarakat dengan menempatkan aparat hukum yang akan menindak tegas setiap pelaku maksiat di masyarakat. Selain itu, suasana keimanan dan amar makruf nahi mungkar akan mendorong masyarakat berperan dengan saling menasihati siapa saja yang berbuat maksiat dan kemungkaran. Dengan begitu, masyarakat akan memiliki standar untuk menilai perbuatan dengan kacamata yang sama, yakni bersandar pada halal dan haram yang sudah Allah tetapkan dalam syariat Islam.
Ketiga, memasifkan edukasi seputar tata pergaulan dalam Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat ialah: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i; (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan saat bekerja; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram.
Keempat, memberi sanksi yang sangat tegas kepada pelaku-pelaku maksiat berdasarkan syariat Islam. Sebagai contoh, hukuman bagi pelaku zina adalah dicambuk 100 kali jika belum menikah. Bagi yang sudah menikah, pelaku zina diganjar dengan hukuman rajam. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surah An-Nur ayat 2 yang artinya, “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin.”
Islam dengan tegas melarang setiap perbuatan yang mendekati zina dan zina itu sendiri. Dalam sistem Islam, setiap perbuatan manusia harus dinilai dengan paradigma syariat Islam. Islam merupakan sistem sempurna yang mengatur segala aspek kehidupan secara menyeluruh (kafah). Allah Taala memerintahkan kita mengamalkan Islam secara kafah, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al-Baqarah: 208).
Oleh : Almukarromah
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru