Share ke media
Opini Publik

MODERASI BERAGAMA, TOLERANSI KEBABLASAN YANG DIPAKSAKAN

14 Oct 2023 12:00:24195 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : popbela.com - Contoh Toleransi Antar Umat Beragama dalam Kehidupan Sehari-hari - 10 Oktober 2022

Samarinda - Belum lama ini dirilis Peraturan Presiden (Perpres) nomor 58 tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama untuk memperkuat pemahaman dan esensi ajaran beragama serta kepercayaan dalam kehidupan bermasyarakat. Aturan tersebut berlaku mulai 25 September 2023. Pertanyaannya, mengapa harus ada penguatan moderasi lagi padahal berbagai programnya telah berjalan sejak tahun 2019 lalu. Contohnya seperti pelaksanaan doa bersama antar umat beragama, salam berbagai agama dalam seremoni pemerintahan, perayaan hari besar antar agama, peresmian kampung moderasi, bahkan dalam dunia pendidikan turut diselipkan muatan moderasi yang sarat akan nilai-nilai toleransi.

Menurut Penasihat Darmawanita Persatuan Kementerian Agama (Kemenag) Eny Retno Yaqut, praktik kehidupan moderasi beragama di Indonesia perlu digencarkan sejak dini. Melalui pemahaman keagamaan yang ditanamkan sejak kecil, ia yakin bangsa ini akan kian harmonis karena ketegangan-ketegangan yang bernuansa agama bisa dicegah. Selain itu, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Prof. Ahmad Zainul Hamdi juga mengingatkan semua pihak agar menjadikan moderasi beragama bukan hanya sebatas program. Ia meminta, khususnya Kemenag, untuk menjadikan moderasi beragama sebagai religious calling (panggilan keagamaan).

MENAKAR TOLERANSI ALA MODERASI

Diantara empat indikator moderasi, salah satu yang kerap dipermasalahkan adalah toleransi. Sikap kritis tidak mendukung salam semua agama maupun doa bersama lintas agama spontan akan dilabeli intoleran dan radikal. Labelisasi ini didasarkan atas nilai-nilai kebebasan berpendapat dan berekspresi ala demokrasi liberal yang diadopsi seluruh dunia. Umat Islam dipaksa mengikuti nilai-nilai tersebut dengan dalih dapat mencegah disharmoni dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, ajaran Islam yang sempurna harus dikesampingkan demi mendapat tempat sebagai muslim moderat, meskipun harus mengorbankan ketaatan terhadap syariat yang notabene waijb dijalankan. Umat Islam yang tidak bersedia mengikuti jalan moderasi akan diberi stigma radikal, intoleran dan anti keberagaman. Sebenarnya siapakah yang mengawali stigma tersebut?

Dialah RAND Corporation, suatu wadah pemikir kebijakan global nirlaba Amerika Serikat yang didirikan tahun 1948. Lembaga ini bergerak di bidang penelitian dan analisis. Dalam rumusan mereka, Islam merupakan ancaman bagi barat bila bersatu. Oleh karena itu, umat Islam harus diadu domba dan dijauhkan dari militansi dalam menerapkan ajaran agamanya. Dagangan mereka yang sebelumnya sudah terbukti tidak laku. Masih ingat dengan istilah Jaringan Islam Liberal dan Islam Nusantara? Dalam publikasinya yang berjudul Building Moderate Muslim Network (2007), mereka mengotak-ngotakkan umat Islam dengan istilah Islam Fundamentalis, Tradisionalis dan Modernis. Inipun masih dinilai gagal untuk menggiring umat Islam agar mengekor keinginan mereka. Bila umat Islam jauh dari ajarannya yang murni, maka mereka jelas tak mudah dikalahkan dan bahkan akan menjadi ancaman besar bagi kekuasaan mereka. Itulah mengapa dengan segenap strategi licik, mereka berusaha memecah belah umat Islam agar lemah tak berdaya. Hingga kemudian lahirnya program moderasi beragama ini menjadi jawaban atas rekomendasi RAND Corp dan arahan PBB sejak belasan tahun silam.

PANDANGAN ISLAM TENTANG TOLERANSI

Toleransi berasal dari bahasa Inggris “tolerance”, dalam bahasa Arab “at-tasamuh”, dan dalam bahasa Indonesia diartikan sikap saling menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan kelakuan, dan sebagainya) meskipun berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Islam sebagai agama yang sempurna diturunkan untuk mengatur segala aspek kehidupan. Bukan hanya seputar masalah ibadah, segala urusan kehidupan duniawi hingga sekecil-kecilnya juga telah diatur oleh Allah swt. Sejak masa Nabi saw dan Khulafaur Rasyidin, Islam tidak pernah bermasalah dengan pluralitas (keberagaman) dan toleransi. Meskipun umat Islam berkuasa, tak pernah sekalipun memaksa orang kafir masuk Islam (QS 2: 256). Orang kafir selalu dibiarkan menjalankan peribadatan sesuai agama dan keyakinan mereka masing-masing. Kaum muslim juga dilarang mencela sembahan agama lain tanpa dasar ilmu (QS 6: 108). Islam memerintahkan berdiskusi dengan orang kafir dengan cara yang ma’ruf (QS 29: 46). Hak-hak orang kafirpun tak boleh dilanggar. Oleh karenanya, Islam tidak pernah memiliki problem toleransi. Umat Islam terbiasa memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan santun, adil dan manusiawi.

BATASAN -BATASAN TOLERANSI DALAM ISLAM

Ajaran Islam telah menyiapkan seperangkat batasan yang baku dalam hal toleransi, prinsipnya:

1. Islam tidak akan membenarkan adanya toleransi, kompromi apalagi pengakuan atas klaim semua agama sama dan benar (QS. Ali Imron [3]: 85).

2. Setiap muslim wajib meyakini syariat Islam sebagai hukum terbaik yang dibekalkan Allah untuk kemaslahatan hidupnya (QS. Al Maidah [5]: 48-49). Syariat tidak akan pernah berubah seiring perubahan zaman, tempat, ataupun bahasa.

3. Dalam urusan ibadah, pernikahan, makanan, minuman dan pakaian, orang kafir dibiarkan beraktivitas sesuai keyakinan agamanya. Sementara umat Islam dilarang melibatkan diri dalam peribadatan orang kafir dengan alasan toleransi. Imam Ahmad menuturkan sebuah riwayat dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad). Dari ‘Atha bin Dinar bahwa Umar ra pernah berkata, “Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja orang-orang musyrik pada hari raya mereka. Sungguh, murka Allah turun kepada mereka pada hari itu”. Imam Ahmad bin Hambal juga melarang kaum muslim untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani. Maka haram hukumnya memasuki gereja dan tempat-tempat ibadah mereka.

4. Adapun dalam urusan muamalah, umat Islam boleh melakukannya dengan orang kafir asalkan sesuai koridor syariat Islam. Dalam bertetangga juga diperbolehkan menjalin interaksi yang baik.

Dengan demikian, memerintahkan seorang muslimah untuk berjilbab tidak termasuk intoleransi sebagaimana membuat aturan murid mengenakan rok atau celana panjang untuk menutup aurat. Begitu pula, menolak identitas gender nonbiner bukanlah sikap intoleransi. Ini karena semua perbuatan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam sehingga sudah selayaknya dilarang, bukan malah dibiarkan apalagi ditoleransi. Ajakan taat agar hidup selamat dan masuk surga kok justru diradikalisasi. Ini namanya kebablasan.

Sebagai seorang muslim kita harus meyakini bahwa agama kita memiliki aturan-aturan yang tegas dalam hal toleransi antar umat beragama. Janganlah karena khawatir dituduh intoleran justru menjadikan kita rela terbawa arus moderasi yang digencarkan barat dan dipaksakan untuk tujuan melemahkan umat Islam. Yakinlah bahwa Islam adalah agama sahih yang tak perlu mengadopsi pemikiran barat apapun, dalam hal ini toleransi beragama. Sesungguhnya pertentangan antara yang haq dan batil akan abadi sampai akhir zaman. Hanya dengan berpegang teguh pada syariat Islam yang kaffah sajalah umat Islam akan kembali berjaya, menjadi khalifah penguasa di muka bumi yang membawa kemakmuran bagi semesta alam. 

Wallahu alam bishawab.

Oleh Nurul Hukmiyah (Aktivis Muslimah dan Pemerhati Generasi)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu-individu dari masyarakat yang ingin mengungkapkan pemikiran, gagasan dan gagasannya yang hak ciptanya dimiliki sepenuhnya oleh yang bersangkutan. Isi editorial dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.