Makna Cinta Hakiki kepada Nabi Muhammad SAW
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Ali-Imran ayat 31)
Al-Azhari berkata, “Arti cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.” Al-Baidhawi berkata, “Cinta adalah keinginan untuk taat.” Ibnu Arafah berkata, “Cinta menurut istilah orang arab adalah menghendaki sesuatu untuk meraihnya.” Al-Zujaj berkata, “Cintanya manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya dan ridha terhadap segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw.”
Sedangkan arti cinta Allah kepada hamba-Nya adalah ampunan, ridha dan pahala. Al-Baidhawi berkata ketika menafsirkan firman Allah:
“Niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”
(TQS. Ali ‘Imrân [3]: 31).
Maksudnya, pasti Allah akan ridha kepadamu. Al-Azhari berkata, “Cinta Allah kepada hamba-Nya adalah memberikan kenikmatan kepadanya dengan memberi ampunan.” Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir (TQS. Ali-Imrân [3]: 32).
Maksudnya, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Sufyân bin Uyainah berkata, “Arti dari niscaya Allah akan mencintaimu adalah Allah akan mendekat padamu. Cinta adalah kedekatan. Arti Allah tidak mencintai orang-orang kafir adalah Allah tidak akan mendekat kepada orang kafir.” Al-Baghawi berkata,“Cinta Allah kepada kaum Mukmin adalah pujian, pahala, dan ampunan-Nya bagi mereka.” Al-Zujaj berkata, “Cinta Allah kepada makhluk-Nya adalah ampunan dan nikmatnya-Nya atas mereka, dengan rahmat dan ampunan-Nya, serta pujian yang baik kepada mereka.
Cinta yang dimaksud bukan sembarang cinta, apalagi cinta dusta. Akan tetapi cinta suci yang nyata dan sempurna (cinta hakiki). Anas bin Malik menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
رواه البخاري)
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga menjadikan aku lebih ia cintai dari orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu hibban).
Mencintai Rasulullah Saw hukumnya wajib, bahkan termasuk kewajiban terbesar dalam agama. Tidak sempurna iman seorang hamba, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Allah Swt memerintahkan umat ini untuk mencintai Rasulullah Saw melebihi dirinya, keluarga, harta dan seluruh manusia.
Allah Swt telah berfirman:
“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. “Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS.At-Taubah : 24)
Bukti Cinta Kepada Nabi SAW: Taat Syariah
Sejatinya hanya cinta yang benar dan ikhlas sajalah yang melahirkan ketaatan sepenuh hati tanpa pilih dan pilah terhadap ajaran Nabi Muhammad saw. Cinta kepada Nabi Muhammad saw semata mengharapkan ridha dari Allah swt dan syafaat dari Baginda Nabi Muhammad saw di yaumil hisab kelak.
Allah Swt berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (TQS al-Hasyr: 7)
Jadi sangat menyedihkan dan patut dipertanyakan, mereka yang mengatakan mencintai dan meneladani Rasulullah Saw namun tidak mau mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya.Tidak mau menjalankan syariat Islam yang bersumber pada Alquran dan Hadis atau mereka memilih dan memilah perintah yang ringan dan menguntungkan duniawinya maka Ia akan senang mengamalkannya namun perintah yang dirasa berat dan akan merugikan duniawinya maka akan ditinggalkan. Padahal Allah swt telah melarang hal yang demikian. Allah swt telah berfirman,
اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّفَرِّقُوْا بَيْنَ اللّٰهِ وَرُسُلِهٖ وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَّنَكْفُرُ بِبَعْضٍۙ وَّيُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَّخِذُوْا بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلً
“Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir”(QS. An-nisa ; 150).
Seorang muslim yang memilih dan memilah dalam pelaksanaan syariah Islam sesuai hawa nafsunya maka cintanya palsu atau dusta. Terlebih lagi jika Ia berani merendahkan syariah, terjangkit penyaki islamophobia yaitu takut pada agamanya sendiri karena khawatir dituding radikal dan tidak toleran, apalagi jika sampai mengkriminalisasi syariah Islam, menolak diterapkannya syariah Islam kaffah dalam formalisasi negara. Seorang muslim yang cintanya palsu mana mungkin bisa hidup di surga bersama Rasulullah Saw.
Termasuk mencintai Rasulullah Muhammad Saw adalah menegakkan negara khilafah karena khilafah adalah puncak pelaksanaan syariah Islam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Yang wajib adalah menjadikan kepemimpinan (imarah) sebagai bagian dari agama dan sarana untuk bertaqarub kepada Allah. Taqarub kepada Allah dalam hal imarah (kepemimpinan) yang dilakukan dengan cara mentaati Allah dan Rasulnya adalah bagian taqarub yang paling utama.” (Imam Ibnu Taimiyah, As-siyasah Asy-Syar’iyah, halaman 161).
Khilafah adalah pelaksana syariah Kaffah, tanpanya ada sekian banyak hukum Islam yang tidak bisa diterapkan karena itu memperjuangkan tegaknya khilafah adalah dalam rangka melaksanakan tuntutan melaksanakan Islam secara totaliter dan yang terpenting itu adalah wujud kecintaan kita kepada Allah swt dan Nabi-Nya Muhammad Saw.
Wallahu a’lam bisshawab.
Oleh: Dra. Hj. Sri Wahyuni Abdul Muin
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru