Aksi solidaritas untuk Muslim Uyghur masih tetap mewarnai tanah air. Berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh kaum muslimin dengan mengutuk kezaliman yang dilakukan pemerintah China. Sayangnya beberapa suara yang sebenarnya signifikan, yakni dari negara-negara Muslim nyaris tak terdengar. Termasuk pemerintah Indonesia yang notabene negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar didunia, malah bersikap tak jelas. PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uyghur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017 Etnis minoritas berbahasa Turki ini telah ditahan di kamp-kamp dimana mereka mendapat ‘pendidikan ulang’ dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk dipaksa belajar bahasa yang berbeda dan melepaskan keyakinan mereka (Tempo.co.id, 24/12/2018).
Sejarah Konflik Suku Uyghur merupakan etnis minoritas di China yang keberadaannya di Xinjiang sudah dicatat sejarah sejak berabad-abad silam. Mereka merupakan penduduk Muslim yang secara budaya merasa lebih dekat ke Asia Tengah, dibandingkan dengan suku Han China yang merupakan mayoritas. Pada awal abad 20, suku Uyghur mendeklarasikan kemerdekaan mereka dengan nama Turkestan Timur. Namun pada 1949, Mao Zedong membawa Xinjiang ke dalam kekuasaan penuh Beijing dan menjadi daerah paling luar. Maka tak heran apabila Beijing memutuskan untuk menjadikan Xinjiang sebagai daerah kekuasaannya.
Xinjiang sendiri merupakan provinsi terbesar di China yang memiliki banyak sumber daya alam. Akibatnya hubungan China dengan etnis minoritas di Xinjiang diwarnai kecurigaan. Cara pemerintah Beijing mengontrol daerah terluarnya tersebut adalah dengan cara mendorong imigrasi massal suku Han ke Xinjiang.
Awalnya suku Han hanya berjumlah enam persen dari jumlah total penduduk China pada 1949 silam. Namun saat ini jumlah populasinya sudah mencapat lebih dari 40 persen, seperti dikutip dari Wikipedia. Secara historis, jumlah populasi suku Uyghur di Xinjiang telah melebihi suku Han. Dikutip dari Uyghur American, adanya imigrasi massal suku Han ke Xinjiang di masa lalu membuat lahan dan sumber daya air semakin terbatas. Tak hanya itu, Han juga menjadi etnis yang paling banyak menikmati kebebasan sipil. Hal tersebut justru menimbulkan ketimpangan yang membuat Han menjadi makmur meski mereka adalah suku pendatang (Tribunnews.com, 22/12/2018).
Akar Masalah Persoalan yang menimpa umat Muslim Uyghur, tak berbeda dengan nasib kaum Muslimin di belahan bumi lainnya. Seperti, Palestina, Suriah, Yaman, Rohingya dan lainnya. Tertindas! Sayangnya, cara pandang negeri-negeri muslim ketika melihat persoalan Uyghur khususnya, maupun persoalan kaum muslimin umumnya secara sempit dibatasi dengan tembok tebal bernama nasionalis. Dimana ikut serta mengurus masalah Uyghur, dianggap mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
Para pengamat mengatakan pemerintah negara-negara Muslim memang tidak dimasukkan ke dalam satu kategori, namun, ada sejumlah kesamaan utama di balik diamnya mereka, yakni pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Pakar kebijakan Cina Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim (Abc net, 24/12/2018).
Dengan demikian kita tak dapat berharap banyak kepada Pemerintah Indonesia untuk bisa mengintervensi China pada persoalan Muslim Uyghur ini. Apalagi melihat besarnya investasi yang ditanam di dalam negeri. Merujuk pada data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi dari Cina pada periode Januari-September 2018 mencapai US$ 1,8 miliar (Bbc.com, 21/12/2018).
Pun, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, melihat diplomasi Jokowi diianggap melempen dan tidak bisa menunjukkan kapasitasnya sebagai negara besar (Jawapos.com, 21/12/2018). Wajar saja, sebab Indonesia tidak memiliki ideologi yang jelas, sehingga politik luar negerinya pun tidak tegas. Dari pengamatan Amnesty, tidak ada satupun negara di Asia Tenggara yang bersuara melindungi warga Uyghur. Ini karena derasnya kucuran uang yang diberikan pemerintah china. Sebut saja, Kamboja yang memperoleh bantuan sebesar 1,2 miliar Dollar setelah memulangkan 20 orang Uyghur ke Cina.
Sebaliknya, negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat secara terbuka mengecam tindakan Pemerintah China di wilayah tersebut. Bukan karena keduanya peduli terhadap penindasan muslim Uyghur, tapi lebih pada kepentingan ideologi. Disatu sisi AS adalah pengemban ideologi kapitalis. Sementara sang “rival” China disisi lainnya. Maka wajar jika setiap kebijakan China akan dikritisi oleh AS.
Yang aneh adalah jika pemerintah negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, seperti Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan Indonesia telah menghindar mengangkat masalah ini secara terbuka. Padahal sikap mereka sangat kontras dengan masalah-masalah yang berkaitan umat Muslim lainnya, seperti konflik Israel-Palestina dan etnis minoritas Rohingya di Myanmar. Miris! Akhirnya, semua persoalan ini bermuara pada perhitungan untung-rugi. Apakah masalah ini bermanfaat bagi negara mereka serta hubungan negara mereka dengan pihak lain secara lebih luas.
Runtuhnya institusi politik pemersatu kaum muslimin menjadi penyebab utama nestapa tiada henti yang menimpa umat Islam didunia saat ini. Sehingga praktis kaum Muslimin terbelenggu dalam sekat nasionalisme dan terpecah menjadi negeri-negeri kecil yang lemah dan bergantung dengan negara adikuasa. Bantuan ekonomi atau investasi yang diberikan oleh negara adikuasa pada dasarnya adalah alat intervensi politik mereka. Akhirnya kaum muslimin tidak mampu berbuat banyak, hanya mengecam terhadap persoalan yang menimpa saudara muslim lainnya.
Padahal Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim).
Persoalan Palestina, Rohingya, Yaman, Suriah dan lain-lain termasuk Uyghur tidak mungkin diselesaikan oleh negeri-negeri muslim tanpa menggunakan cara pandang benar yaitu akidah Islam dan kekuatan institusi politik Islam. Sebab tugas memerangi orang-orang yang menentang Islam dan melindungi perbatasan kaum muslimin agar tidak ada celah bagi musuh untuk merusak kehormatan dan menumpahkan darah orang muslim adalah salah satu dari sepuluh tugas yang harus dilakukan oleh seorang khalifah (Al-Mawardi, Al-ahkan As-sultoniyah, hlm. 23).
Oleh karena itu, solusi satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan muslim Uyghur khususnya, maupun persoalan kaum muslim umumnya yaitu menyatukan negeri-negeri muslim, serta menghilangkan intervensi negara adikuasa adalah mewujudkan institusi politik Islam. Wallau a’llam bisshowab.
Oleh : Qiya Amaliah Syahidah (Muslimah Media Konawe)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru