Samarinda - Baru-baru ini Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang menjadi topik hangat pembicaraan. SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang terbit pada 17 Juli 2023 tersebut berisikan larangan hakim mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan atau pernikahan beda agama. Surat Edaran tersebut ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin dan telah disampaikan kepada seluruh pengadilan di Indonesia (kaltimpost.com, 20/07/2023).
Terdapat dua poin utama yang tercantum dalam SEMA tersebut. Pertama, terkait aturan tentang perkawinan yang sah, yaitu sesuai dengan UU No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 tentang perkawinan. Kedua, terkait larangan MA agar pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat. Tujuan diadakannya SEMA ini adalah untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum. Seperti yang diketahui, selama ini ada pihak yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan agar pernikahannya sah dan lolos pencatatan. Mereka menggunakan rujukan hukum UU No 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) tentang administrasi kependudukan (kaltimpost.com, 20/07/2023).
Surat Edaran Mahkamah Agung ini pun menuai pro dan kontra. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut baik SEMA tersebut, Ketua MUI Bidang Fatwa Ansorun Niam Sholeh mengatakan penerbitan SEMA ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan. Ia menambahkan, aturan ini juga menjadi upaya untuk menutup celah bagi pelaku perkawinan antar agama yang berusaha mengakali hukum. Begitu pula hakim yang selama ini menurutnya tidak paham atau pura-pura tidak paham tentang hukum perkawinan (kaltimpost.com, 20/07/2023).
Berseberangan dengan MUI, Direktur Pusat Studi Agama dan Perdamaian ICRP, Ahmad Nurcholis justru menyayangkan keluarnya SEMA tersebut. Ia menyebutkan sejak 2005 ICRP mengadvokasi setidaknya 1.655 pasangan nikah beda agama. Di tahun ini, hingga 19 Juli 2023, ICRP mencatat ada 89 pasangan beda agama, 24 pasangan diantaranya sudah menikah. Menurutnya, seharusnya negara bisa bersikap adil terhadap pencatatan pernikahan beda agama, karena di agama apa pun selalu ada dua pandangan, yang melarang dan yang memfasilitasi pernikahan beda agama (kaltimpost.com, 20/07/2023).
Tidak Cukup Berhenti pada SEMA
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie menyatakan adanya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 merupakan hal positif yang patut disyukuri. Sebagai upaya supremasi UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun, menurutnya ruang perkawinan tetap masih ada dengan keberadaan UU No 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Ia pun menyatakan bahwa adanya SEMA saja tidak cukup. Pertentangan antar norma di UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar undang-undang, dengan tetap berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM (kaltimpost.com, 20/07/2023).
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ahmad Tholabi, problematika nikah agama ini tidak akan dapat diselesaikan jika tidak ada undang-undang yang dapat menghapus ketimpangan antar undang-undang yang ada saat ini. Tentu butuh peran besar negara dalam hal ini. Selain membuat satu undang-undang yang dapat menjadi rujukan pasti, negara juga harus memberikan edukasi penguatan akidah kepada masyarakat. Akidah yang kuat tentu akan mencegah masyarakat melanggar aturan yang telah Allah tetapkan, termasuk menikah dengan non muslim. Edukasi penguatan akidah ini dapat diberikan melalui pendidikan sejak dini hingga perguruan tinggi, juga diterapkan dalam sistem sosial.
Namun, hal demikian akan sulit diwujudkan jika negara masih menganut sekularisme. Pernikahan beda agama justru semakin marak terjadi, bahkan pelaku nikah agama bangga memperlihatkannya. Mereka merasa bisa menembus batas, memecah jurang pemisah dengan spirit cinta dan hak asasi manusia. Fenomena ini merupakan salah satu manifestasi dari liberalisasi agama yang tumbuh subur dalam sistem sekuler. Pada akhirnya penganut agama tidak meyakini bahwa agamanya beserta seperangkat aturannya adalah hal yang benar dan wajib ditaati. Sebaliknya mereka justru berpandangan bahwa semua agama benar dan baik. Maka jika ada aturan agama yang tidak sesuai dengan keinginan atau tujuan, sah-sah saja untuk dilanggar.
Dari sini terlihat jelas, maraknya fenomena nikah beda agama serta dikabulkannya permohonan pencatatan pernikahan beda agama oleh pengadilan adalah dampak dari penerapan sekularisme di negeri ini. Di mana penganut paham ini enggan diatur oleh agama dalam seluruh aspek kehidupannya. Peraturan agama hanya diterapkan pada aspek individual dan ibadah-ibadah yang dianggap dapat mendatangkan keuntungan, seperti haji dan zakat. Bahkan dalam aspek individu pun sekarang sudah teracuni, misalnya dilarangnya tenaga kesehatan wanita menggunakan rok dan kerudung yang menjulur menutupi dada. Pun juga disahkannya pernikahan beda agama atas dasar HAM.
Padahal pernikahan beda agama mendatangkan sejumlah dampak buruk bagi pelaku dan keturunannya. Pertama dalam hal akidah, pernikahan beda agama mencederai penjagaan akidah. Tidak jarang kita temui pasangan nikah beda agama yang pada akhirnya murtad. Kalaupun bertahan pada agama masing-masing, tidak dipungkiri toleransi agama yang kebablasan akan sulit dihindari. Kedua, pernikahan beda agama juga mencederai penjagaan harta. Karena dalam Islam, jelas bahwa muslim dan non muslim tidak saling mewarisi. Ketiga, tidak terjaganya keturunan. Dalam Islam, nasab dan perwalian seorang anak tidak bisa didapatkan dari seorang non muslim.
Pandangan Islam
Islam dengan tegas melarang muslimah menikah dengan laki-laki non muslim. Berdasarkan firman Allah:
“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik dari pada perempuan musyrik meskipun mereka menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari pada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga, dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (TQS. Al-Baqarah: 221)
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Allah mengharamkan wanita-wanita mukmin untuk dinikahkan dengan lelaki musyrik manapun (baik ahli kitab maupun bukan).” (Jami’ al-Bayan 2/379). Memang benar bahwa Islam memperbolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kafir dari kalangan ahli kitab. Dengan syarat tetap memperhatikan aturan Islam yang lain, seperti tentang kepemimpinan suami dan kewajiban menjaga keluarga dari api neraka yang dijelaskan dalam QS. At-Tahrim: 6.
Islam pun akan tegas menindak pelaku pernikahan beda agama. Sebagaimana yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Rasulullah saw. Salah satu putri Rasulullah, yaitu Sayyidah Zainab menikah dengan seorang lelaki musyrik Abul Ash bin Rabi’. Pernikahan itu terjadi sebelum Rasulullah menerima wahyu tentang larangan menikah beda agama. Setelah turun wahyu larangan menikah beda agama, Rasulullah segera memisahkan putrinya dengan Abul Ash bin Rabi’. Sampai pada akhirnya Abul Ash mengucapkan dua kalimat syahadat secara terang-terangan di depan kaum Quraisy, yang membuktikan bahwa dirinya sudah masuk Islam. Setelah itu Abul Ash hijrah menghadap Rasulullah saw di Madinah. Kemudian Rasulullah menikahkan kembali Abul Ash dengan Zainab, sebagaimana diriwayatkan dalam HR. at-Tirmidzi:
“Diriwayatkan dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, sungguh Rasulullah saw mengembalikan putrinya sendiri yaitu Zainab ra kepada mantan suaminya Al-Ashi bin ar-Rabi’ dengan mahar dan akad nikah yang baru.”
Begitulah tegasnya Islam dalam menindak pelaku pernikahan beda agama. Aturan ini diberlakukan tidak lain sebagai pemenuhan kewajiban negara dalam menjaga akidah, harta, dan keturunan masyarakat. Dan dengan spirit ketaatan kepada aturan Allah SWT. Kondisi seperti ini tentu hanya bisa dicapai ketika aturan Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan. Bukan pada sistem sekuler yang mencampakan agama dalam kehidupan sebagaimana sekarang.
Wallahu a’lam..
Oleh: Rizqa Fadlilah, S.Kep
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang hak ciptanya sepenuhnya dimiliki oleh yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru