Samarinda - Kekuatan netizen yang dikenal dengan istilah ‘No Viral No Justice’ sepertinya tidak berlaku pada kasus kematian Dini Sera Afrianti. Walaupun kasusnya viral dan pelaku berhasil ditangkap, plot twist terjadi pada putusan hakim yang menyatakan pelaku Ronald Tanur tidak bersalah alias bebas. Padahal bukti CCTV dan hasil visum korban sudah sangat jelas bahwa korban mengalami penganiayaan hingga tewas. Hakim mengatakan kematian korban disebabkan oleh alkohol menafikan hasil visum yang menunjukan bahwa organ hati korban robek akibat hantaman benda tumpul dan luka luka bekas lindasan mobil. Hal ini sontak menimbulkan protes baik online maupun offline, sejumlah massa akan berunjuk rasa di Kejari Surabaya. Menuntut keadilan bagi korban dan menuntut diperiksanya Sang Hakim, diduga ada intervensi dari keluarga pelaku.
Rasanya apatis dengan hukum di negeri ini, seolah sudah menjadi tradisi ketika pelaku dari orang berpunya, kalangan pejabat dan keluarganya atau dari kalangan penegak hukum, maka keadilan di negeri ini pun menjadi ghaib. Namun, jika dibalik pelaku dari kalangan menengah kebawah bahkan tidak punya koneksi, maka hukumannya akan dijatuhkan sesuai aturan atau bisa lebih berat dari tuntutan, bahkan diluar nalar. Sementara itu, di kasus yang lain, mantan pimpinan BPK korupsi 40 miliar dijatuhi hukuman 2,5 tahun, hakim beralasan karena si koruptor mengembalikan utuh uang yang dicurinya. Miris, khalayak pun membandingkan dengan kasus maling ayam yang mendapat hukuman lebih lama (Indopos.co.id, 21 Juni 2024). Pencurian ternak merupakan bentuk pemberatan karena jika tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok sebagaimana dalam Pasal 362 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, maka tindak pidana pencurian ternak dalam Pasal 363 ayat (1) ke 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun (Magister Ilmu Hukum Universitas Medan Area / http: mh.uma.ac.id, 22 oktober 2022). Bagaimana mungkin adil, sama sama pencurian, korupsi dengan jumlah kerugian yang fantastis 40 miliar, dihukum lebih ringan dari pencuri satu hewan ternak.
Dua contoh kasus diatas hanya secuil realita lemahnya penegakan hukum dan ketidakadilan yang secara terang benderang di pertontonkan. Masih ada banyak kasus lain yang walaupun menjadi viral tetap saja banyak kejanggalan, diduga salah tangkap pelaku, dan hukuman yang tidak setimpal apalagi menjerakan. Sebut saja kasus pembunuhan Km 50, kasus Harun Masiku, kasus Sambo, kasus Vina Cirebon yang bahkan sudah di angkat menjadi film pun tetap kusut, dan masih banyak kasus lainnya.
Perbuatan menghilangkan nyawa seseorang tentu tidak bisa dibenarkan terlebih lagi dengan sengaja menganiaya hingga tewas, pelaku seharusnya dijatuhi hukuman yang tidak hanya sekedar penjara. Dan sangat tak masuk akal, di era teknologi yang begitu canggih, proses pembuktian kejahatan seseorang yang seharusnya mudah malah menjadi sulit, entah mendadak cctv di TKP rusak hingga bukti cctv dan visum korban di ‘cuekin’ oleh hakim seperti dalam kasus Ronald Tanur ini. Dari sini dan dari kasus lainnya yang berujung serupa menegaskan bahwa hukum buatan manusia begitu rapuh, dapat di nego, ditawar layaknya jual beli dipasar. Ketika uang sudah berbicara, semua bisa diatur sesuai kepentingan. Begitulah aturan main dalam sistem demokrasi yang tidak lain buah dari Kapitalisme, uang menjadi punca pemutus hukum dan penentu si pengendali kekuasaan.
Ditambah lagi dalam sekulerisme pastinya akan melahirkan orang orang yang tidak berstandar pada halal haram, tidak percaya pada dosa dan pertanggungjawaban setelah kematian. Si pelaku kejahatan merasa hanya perlu menghindari hukum buatan manusia dengan berbagai cara, sementara si penegak hukum harus di audit keadilannya karena cenderung tidak berpihak pada kebenaran dan si penuntut atau korban jika tidak berasal dari orang berpunya, bersiaplah menelan pil pahit ketidakadilan. Alhasil, hak dan keadilan warga negara tidak didapatkan, malah terzalimi dan terinjak. Hingga akhirnya menjadi normal keadilan dalam era demokrasi terasa ilusi saja, karena sumber hukumnya dari pikiran manusia, mahluk lemah, terbatas, dan sering terjebak pada konflik kepentingan. Bukankah Allah sudah memperingatkan kita dalam Quran surat Al-Maidah ayat 50, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”.
Dalam Islam, pembunuhan dan tindakan melukai anggota tubuh termasuk dalam wilayah Jinayah. Merupakan tindakan melanggar anggota tubuh yang menjadi bagian organ yang wajib dikisas dalam bentuk hukum badan, seperti istilah yang sering kita dengar, ‘mata diganti mata’, artinya nyawa diganti nyawa agar setimpal, jika keluarga korban tidak memaafkan. Hukuman lainnya yaitu hukuman diat, membayar ganti rugi jika korban (untuk kasus penganiayaan tidak sampai meninggal) dan keluarganya mau menerima. Ganti rugi ini senilai dengan 100 ekor unta, dimana 40 diantara nya unta yang tengah hamil. Hukuman ini tentu tidak langsung diputuskan begitu saja, hakim akan menelusuri terlebih dahulu alasan pembunuhannya, apakah disengaja seperti pembunuhan berencana dan penganiayaan terus menerus hingga tewas, pembunuhan menyerupai disengaja (termasuk khilaf) seperti melempar orang dengan kayu, melempar dengan batu kecil, atau menggunakan alat alat yang secara lazim tidak dapat membunuh, namun seseorang itu meninggal. Dan pembunuhan yang tidak disengaja seperti ketika sudah berkendara dengan benar dan sesuai aturan namun, terjadi kecelakaan lalu lintas, atau seperti saat akan menembak burung tapi terkena orang hingga meninggal.
Untuk tindakan melukai anggota tubuh hingga menimbulkan kecacatan namun tidak meninggal, maka akan diteliti dan hukuman akan disesuaikan dengan tingkat kerusakan. Jika organ tunggal yang krusial seperti lidah, maka hukumannya membayar diat 100% seperti kasus pembunuhan, jadi bukan dikisas. Jika organ yang sepasang seperti tangan atau telinga, dilukai atau dhilangkan salah satunya, maka dikenakan diat 50%, hingga satu gigi yang copot maka akan dikenakan diat senilai 5 ekor unta. Sungguh luar biasa, hukum Islam mengatur detail sanksi agar keadilan tegak, korban mendapatkan ganti rugi dan pelaku merasakan konsekuensi yang membuat jera. Hakim juga akan menghadirkan saksi saksi, dengan teknologi saat ini dan ilmu forensik yang semakin maju seharusnya proses pembuktian kejahatan hingga niat pelaku sengaja atau tidak sengaja, dapat dengan mudah diketahui. Namun, kapitalisme membuka celah selebar lebarnya untuk mengutak atik sesuai kepentingan. Sehingga pengadilan adil yang berpihak pada kebenaran tidak akan menemukan jalannya.
Hukum Islam berbeda dengan Hukum Sekuler yang diterapkan saat ini, keduanya tentu memiliki konsep yang sangat berbeda, kedaulatan hukum Islam berada pada syariat, dasarnya sudah ada dalam Quran dan Sunnah, jadi tidak bisa di utak atik apalagi di nego jual beli dalam memutuskan hukum. Sistem peradilan dalam hukum Islam berdasar pada ketundukan pada hukum Allah sehingga penegak hukum tidak akan berani mempermainkan. Kejahatan dalam hukum Islam diartikan sebagai pelanggaran terhadap Syariat, sehingga sanksi tegas dan menjerakan akan diberlakukan, sanksi ini tidak hanya bersifat sebagai kuratif (jawabir), yaitu membuat pelaku menyesali perbuatannya, bertaubat nasuha sehingga tidak akan ditemukan residivis dalam negara Islam, serta menjadi penggugur hukuman kelak di akhirat bagi si pelaku. Sanksi ini juga bertindak sebagai pencegah (zawajir), agar orang lain tidak melakukan kejahatan yang sama.
Tentu saja penegakan hukum Islam hanya bisa di lakukan dalam bingkai daulah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Celah melakukan kejahatan ditutup begitu rapat, dimulai dengan ditanamkan pemahaman untuk tidak melanggar hukum syara melalui aqidah bagi tiap individu sehingga tiap individu sadar bahwa prilakunya akan dipertanggung jawabkan kelak, lalu ada kontrol masyarakat dalam bentuk amal ma’ruf nahi mungkar untuk mencegah dan membuat orang orang berpikir berkali kali sebelum melakukan kejahatan, pengawasan tidak hanya dalam bentuk kamera cctv, dan jika masih juga melakukan kejahatan maka sanksi tegas pun diberlakukan hingga membuat pelaku dan yang menyaksikan menjadi jera.
Belum cukup gerah kah kita melihat betapa keadilan di sistem kapitalisme sekuler hanya menjadi privilege bagi mereka yang memiliki uang dan kekuasaan, sungguh hanya Islam satu satunya sistem yang sempurna dan menyeluruh dalam mewujudkan keadilan.
Wallahualam bissawab.
Oleh : Ana Fitriani
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru