Share ke media
Opini Publik

Perempuan Setara, Perempuan Sengsara

11 Mar 2023 04:54:29685 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : lppslh.or.id - Kesetaraan Gender: Kamu, Aku, Kita Setara - 12 April 2018

Samarinda - Peringatan Hari perempuan internasional atau Intenational Women’s Day (IWD) berlangsung setiap tahun pada tanggal 8 maret dengan berbagai tema. Tahun ini IWD mengusung tema kampanye dengan tagar #EmbraceEquity atau jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah #RangkulKesetaraan. Artinya kita semua dapat menantang stereotip gender, menentang diskriminasi, menarik perhatian pada bias, dan mengupayakan inklusi.

Sementara itu, tema kampanye IWD 2023 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Wanita atau UN Women adalah “DigitALL: Innovation and technology for gender equality” atau “DigitALL: Inovasi dan teknologi untuk kesetaraan gender.”

Tema yang diusung tiap tahun masih dengan tuntutan yang sama, yakni kesetaraan. Karena menganggap kaum perempuan ditempatkan lebih rendah dari kaum laki-laki. Atas dasar ini keadilan dan kesetaraan gender (KKG) menjadi isu yang disuarakan secara global. Karena dianggap sebagai sebuah solusi yang mengeluarkan perempuan dari ketertindasan selama ini.

Kesetaraan Gender Lahir dari Ide Barat

Ide feminisme (induk dari ide kesetaraan gender) lahir sejak abad 18 seiring dengan kemunculan kapitalisme. Konsep gender berawal dari buruknya perlakuan masyarakat Eropa terhadap kaum perempuan. Perempuan dipandang sebagai makhluk inferior, sumber dosa dan laki-laki yang cacat. Perempuan tidak memiliki hak atas pendidikan, ekonomi, politik, milik, berpendapat dan bahkan atas dirinya.

Ketika sistem kapitalisme menggantikan feodalisme di Eropa ternyata tidak serta-merta mengubah kondisi kaum perempuan, mereka tetap tertindas dan tidak lebih dari warga negara kelas kedua. Bahkan ketika kapitalisme mampu menancapkan kukunya dan menjadikan proses industrialisasi sebagai penyangga utama eksistensinya nasib kaum perempuan semakin terpuruk.

Fakta diskriminasi di masyarakat Barat itulah yang kemudian menyebabkan perempuan Barat menuntut keadilan dan kesetaraan perempuan. Mereka mencari kebebasan dan kemandirian. Bebas dari dominasi laki laki dan mandiri dalam menentukan sikap dan mengelola hak milik mereka baik kekayaan maupun diri (tubuh) mereka sendiri.

Lalu muncullah gerakan feminisme yang melakukan perlawanan. Feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis Sosialis Utopis, Charles Fourier, pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (Perempuan sebagai Subjek) pada tahun 1869. Kaum feminis kemudian mengembangkan konsep gender pada tahun 1970.

Kemudian wacana jender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977. Sejak itu para feminis mengusung konsep gender equality atau kesetaraan jender sebagai mainstream gerakan mereka (thisisgender, 12/05/2012).

Hal ini pula yang dipropagandakan ke negeri-negeri Islam, negeri yang mayoritas penduduknya muslim. Bahkan sengaja diopinikan bahwa hukum-hukum Islam mengekang kebebasan perempuan. Pakaian Muslimah ; jilbab dianggap sebagai bentuk kekerasan dan diskriminasi perempuan, karena memaksa perempuan untuk memakai pakaian muslimah yang boleh jadi tidak disukai.

Begitu pula mereka menggugat hukum kepemimpinan (qowwam) suami dalam keluarga, keharusan istri meminta izin suami ketika bepergian dan sebagainya. Mereka menganggap bahwa tugas domestik adalah tugas yang tak penting dan merendahkan perempuan. Disini Islam dinilai bias gender. Inilah logika yang dibangun kaum feminis. Tetapi ide kesetaraan gender ini cukup menggiurkan kaum muslim yang haus akan perjuangan.

Antusiasme sebagian masyarakat kaum muslim terhadap kehadiran ide ini tampak ketika mereka berupaya menghubungkan antara ide kesetaraan gender ini dengan Islam. Bahkan para ‘pemikir’ di antara mereka dengan bangga menyebut diri sebagai feminis muslim. Mereka memahami bahwa apa yang menjadi visi feminisme—seperti konsep kesetaraan gender ini—sesungguhnya juga merupakan spirit ajaran Islam.

Padahal jika kita mau jeli menilai, kita akan menemukan pertentangan yang sangat jauh antara spirit feminisme dan Islam, antara kesetaraan gender dan Islam, dari sisi mana pun. Hal ini dikarenakan kaum muslimin dalam cengkeraman negara penjajah. Mereka mengekor dengan ide-ide liberalisme yang diusung oleh kapitalisme global dengan mengatas namakan hak asasi manusia.

Penerapan ide kesetaraan gender justru menghasilkan kerusakan di dunia Islam. Bagaimana tidak, di tengah masifnya kampanye kesetaraan dan pemberdayaan perempuan, masyarakat justru mendapati fakta menyedihkan akibat bablasnya kaum perempuan berkiprah di ranah publik.

Perempaun telah mengabaikan tugas utamanya sebagai pengatur dan pengurus rumah tangga. Sehingga kemandirian ekonomi yang dikejar hingga di miliki kerap memicu gejolak dalam rumah tangga. Akibatnya, institusi keluarga mengalami keguncangan, pendidikan anak terbengkalai, angka perceraian meningkat, dan timbul beragam masalah rumah tangga lainnya.

Keterwakilan perempuan di politik praktis pun ternyata menuai masalah. Faktanya, meski sudah banyak tokoh perempuan (meski belum mewaikili 30%) telah menduduki posisi strategis di tampuk pemerintahan, permasalahan perempuan tetap ada. Alih-alih berkurang, yang ada justru meningkat. Angka KDRT tetap tinggi, kekerasan seksual pun terus meningkat.

Di sisi lain, tidak sedikit perempuan yang gamang saat mereka mandiri secara ekonomi, tetapi kebahagiaan terasa jauh. Karena fitrah keperempuanan mereka tidak berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan seakan menemui tembok penghalang.

Maka, kenyataannya perempuan tidak mungkin bisa menikmati kebahagiaan, ketenangan, dan terpenuhi hak-haknya dalam sistem kapitalisme saat ini. Justru setara dan berdayanya mereka membuat mereka terjajah dan sengsara. IWD yang diperingati tiap tahun dengan mengusung tema berbeda tak lebih dari sebuah racun berbalut madu yang disebarkan oleh para pegiat gender untuk menjauhkan kaum perempuan dari kodrat sesungguhnya. Maka masih pantaskah kita ikut menkampanyekannya?

Perempuan Berdaya dan Mulia Dengan Islam

Islam sering dituding sebagai agama yang tidak memihak perempuan. Karena sebagian aturan-aturannya dianggap mengekang kebebasan kaum perempuan. Aturan-aturan Islam ‘klasik’ dianggap terlalu maskulin atau male-biased, cenderung bias gender. Menempatkan perempuan pada posisi nomor dua setelah kaum laki-laki.

Karenanya, aturan-aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini. Dianggap bertentangan dengan konsep kesetaraan. Namun nyatanya Islamlah yang membebaskan perempuan dari segala kezholiman dan kehinaan.

Sebelum datang Islam, seluruh umat manusia memandang hina kaum perempuan. Jangankan memuliakannya, menganggapnya sebagai manusia saja tidak. Orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai sarana kesenangan saja. Orang-orang Romawi memberikan hak atas seorang ayah atau suami menjual anak perempuan atau istrinya. Orang-orang Arab ketika itu pun biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup tanpa dosa dan kesalahan, hanya karena ia seorang perempuan.

Setelah sebelumnya orang-orang jahiliyah memandang perempuan sebagai musibah, Islam memandang perempuan adalah karunia Allah. Islam menjaga mereka dari segala hal yang dapat menodai kehormatannya, menjatuhkan wibawa dan merendahkan martabatnya. Bagai mutiara yang mahal harganya, Islam menempatkannya sebagai makhluk yang mulia yang harus dijaga. Oleh karena itu Islam datang untuk memperbaiki kondisi kaum perempuan. Mengangkat derajat mereka. Mengeluarkan mereka dari kehinaan. Membebaskan mereka dari kezholiman.

Suatu ketika, seseorang melukai kepala seorang budak perempuan dengan batu sampai terluka. Kemudian salah seorang sahabat Nabi SAW menanyai budak wanita tersebut, siapa yang berbuat demikian kejam terhadapnya. Ketika disebutkan nama seseorang yang memukulinya. Wanita tersebut menganggukkan kepalanya.

Kemudian, orang yang melukai budak wanita tersebut dihadapkan kepada Rasulullah, tetapi ia tidak mengakui perbuatannya sampai waktu yang cukup lama. Tetapi pada akhirnya, ia mengakui perbuatannya dan Rasulullah SAW memerintahkan sahabat untuk menghukum orang tersebut. 

Riwayat dari Anas RA di atas menunjukkan, betapa ajaran Islam sangat memuliakan wanita dengan menjadikannya manusia yang sama kedudukannya dengan laki-laki dalam setiap lini kehidupan, kecuali yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, tanggung jawab, dan karier yang tidak sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita.

Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana,” (QS. at-Taubah [91]: 71)

Islam memberikan kemuliaan dan penghargaan yang tinggi kepada kaum perempuan. Sebagai contoh, Ummul Mukminin Aisyah RA banyak sekali meriwayatkan hadis yang disertai dengan penjelasannya. Aisyah sering berdiskusi dengan para sahabat Nabi SAW. Beliau juga termasuk yang menjadi salah satu sumber rujukan untuk memahami wahyu dan sunah Nabi.

Terkait masalah ekonomi, seorang wanita berhak memiliki harta benda dan menafkahkannya sesuai dengan keinginannya. Tidak seorang pun berhak memaksanya untuk menafkahkan hartanya. Termasuk kerabat dekat dan suaminya sekalipun.

Termasuk memilih pendamping hidup, seorang wanita berhak menolak ketika akan dinikahkan oleh walinya apabila dilakukan tanpa seizinnya. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Seorang perawan dimintakan izin darinya (ketika hendak dinikahkan), sedangkan pertanda izinnya adalah diamnya.”

Begitulah Islam memposisikan sosok perempuan, sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan laki-laki. Dia adalah sosok ibu, saudara perempuan, anak perempuan, dan istri yang harus dihormati dan dihargai keberadaannya.

Sejarah mencatat ketika Islam berjaya, para perempuan mengalami kemajuan yang luar biasa, dalam hal ini mereka tetap berdaya meskipun mereka tidak perlu menyetarakan perannya dengan laki-laki. Islam melindungi harkat dan martabat para wanita.

Oleh karena itu, peran wanita sangatlah penting untuk memperjuangkan kembali kehidupan Islam yang dulu pernah berjaya. Bukan memperjuangkan ide kesetaraan gender yang telah nyata tidak memberi solusi atas problematika yang mereka hadapi. Karena hanya Islamlah satu-satunya solusi atas probelamatika baik yang dihadapi perempuan maupun umat secara keseluruhan. Maka sudah saatnya kaum perempuan bergenggaman tangan memperjuangkan Islam kaffah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan.

Wallahua’lam bisshowab

Oleh : Meltalia Tumanduk, S.Pi (Pemerhati Masalah Sosial)

disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu dari masyarakat yang ingin menuangkan pemikiran, ide dan gagasannya yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

Terkini