Raden Ajeng atau R.A. Kartini termasuk salah satu tokoh perjuangan tanah air. Usaha yang beliau lakukan merupakan bagian dari keprihatinan beliau terhadap kesengsaraan rakyat Indonesia yang saat itu dijajah kolonial Belanda. Terutama terhadap kaum wanita. Sosok beliau menjadi inspirasi bagi para perempuan. Sehingga namanya terus dikenang sepanjang masa dan hari lahirnya pun 21 April selalu diperingati sebagai hari besar nasional.
Mulai dari taman kanak-kanak hingga lembaga pemerintahan selalu menyelenggarakan peringatan R.A. Kartini dengan bermacam-macam kegiatan. Salah satu yang turut memperingati hari Kartini adalah Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kaltim mengajak seluruh masyarakat Benua Etam, sebutan Kaltim menyadari peran perempuan dalam mewujudkan perempuan yang mandiri secara pemikiran dan tindakan.
Penasehat GPMB Kaltim, Encik Widyani Sjaraddin mengatakan, perjuangan perempuan dimulai dari sadar terhadap pentingnya sebuah literasi. Misalnya Kartini yang merupakan sosok perempuan, yang memiliki akses pendidikan dan banyak literatur. (pusaranmedia.com, 24/4/2024)
Sosok Kartini memang patut dijadikan inspirasi dalam hal keilmuan. Karena memang keilmuan beliau tidak diragukan. Dengan ilmunya itu, beliau bagikan kepada perempuan yang tidak mendapatkan akses pendidikan pada masanya. Beliau memperjuangkan hak-hak perempuan, yang dimana kaum perempuan pada saat itu terkunkung dan terbelenggu.
Namun sayang, perjuangan Kartini dimanfaatkan oleh kaum feminisme untuk kampanye pemberdayaan dan emansipasi yang menyalahi fitrah perempuan.
Feminisme Membajak Perjuangan R.A. Kartini
Memang tidak bisa dipungkiri hari ini kondisi kaum perempuan tidak dalam baik-baik saja. Problem kemiskinan, kekerasan, diskriminasi, maupun marginalisasi sudah lama menjadi persoalan yang lekat dengan keseharian mereka.
Hanya saja, mengklaim bahwa itu hanya persoalan perempuan, jelas menunjukkan kesalahan memahami persoalan. Apalagi menuding bahwa akar penyebabnya adalah karena adanya ketimpangan gender. Sehingga solusinya yakni memperjuangkan kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan melalui narasi pemberdayaan dan emansipasi.
Terlebih, istilah “kesetaraan dan pemberdayaan” yang terus digaungkan sudah memiliki definisi khas berdasarkan perspektif sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan liberalisme (kebebasan). Tepatnya, mereka mengadopsi feminisme (masih serahim dengan sekuler-liberal) yang menilai ketinggian derajat kaum perempuan yakni dari kemampuan menunjukkan eksistensi dan meraih kesetaraan di berbagai bidang kehidupan sebagaimana kaum laki-laki. Sehingga seakan-akan akar dari semua problem perempuan adalah persaingan dengan laki-laki alias dominasi laki-laki.
Dalam bidang politik, perempuan disebut berdaya ketika perempuan aktif dan berpartisipasi dalam pemilu dan mampu mewakilkan perempuan dalam parlemen atau dalam jabatan-jabatan publik misal pemimpin daerah, kepala dinas dan lain sebagainya agar setara dengan laki-laki.
Pada bidang ekonomi, perempuan berdaya didefinisikan sebagai ‘perempuan yang memiliki kesempatan dan kemampuan yang sama dalam mengakses faktor-faktor ekonomi dan pekerjaan di berbagai sektor dengan laki-laki’. Oleh karenanya, isu yang diaruskan adalah pemberdayaan ekonomi perempuan melalui bantuan UMKM, buruh perempuan, pendidikan perempuan, dan lain-lain sehingga perempuan punya bargaining power di hadapan laki-laki.
Bahkan hari ini, perempuan dituntut menjadi pengendali ekonomi (economic driver) dengan dalih menyolusi problem kemiskinan, padahal sejatinya mereka jadi bumper ekonomi demi memutar mesin industri kapitalisme global.
Kemudian pada bidang sosial, perempuan berdaya digambarkan sebagai ‘perempuan yang memiliki kesetaraan dalam hak berekspresi dan bersuara’. Karenanya diaruskanlah gagasan-gagasan semisal kesetaraan dalam pernikahan perempuan boleh jadi pemimpin keluarga, hak atas tubuh dan kebebasan berperilaku, termasuk bebas berpakaian apa saja, dan sebagainya. semata-mata agar perempuan tidak disepelekan oleh laki-laki.
Jadilah selama ini program-program pemberdayaan perempuan selalu identik dengan aspek-aspek di atas. Lalu berbagai apresiasi pun diberikan kepada perempuan berdaya ini, seperti para perempuan yang mampu jadi menteri, kepala daerah, pengusaha sukses, dan lainnya.
Ironis, memang, kaum feminisme membajak perjuangan R.A. Kartini dengan perjuangan kesetaraan dan emansiapasi. Sedangkan jika menyimak ujung dari pergulatan pemikiran ideologi Kartini, beliau yang awalnya takjub oleh pemikiran Barat dan sempat tercelup pemikiran sosialisme, pada akhirnya tunduk pada tuntunan Islam. Akhirnya yang Kartini inginkan hanyalah agar kaum perempuan bisa menjalankan fungsi strategisnya sebagai perempuan, yakni sebagai ibu madrasatul ‘ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya yang artinya mengabdikan diri untuk mengurus dan mengatur keluarga dalam status tertingginya sebagai hamba Allah Taala.
Sebagaimana dalam suratnha ke Ny Abendanon, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Cita-Cita Kartini Sesungguhnya
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup. Akan tetapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat R.A. Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Itulah cita-cita Kartini yang tidak atau mungkin tidak mau disadari para pejuang emansipasi. Mereka berkali-kali membajak nama Kartini sebagai legitimasi perjuangan yang disetir Barat untuk mengalihkan peran dan fungsi politis strategis perempuan sebagai arsitek peradaban cemerlang. Padahal Kartini sendiri menyampaikan dalam suratnya kepada Ny Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.”
Seharusnya, mereka paham bahwa solusi meraih kesetaraan yang dibungkus narasi pemberdayaan, sejatinya tidak nyambung dengan akar semua problem yang diklaim sebagai problem perempuan. Karena jika dicermati, munculnya berbagai probelmatika hari ini di tengah kehidupan masyarakat pada umumnya dan perempuan khususnya justru akibat penerapan sistem hidup dan aturan yang sangat rusak, yakni sistem kapitalisme-sekulerisme dengan neoliberalnya yang serahim dengan gagasan feminisme.
Namun sayangnya mereka terus saja mencitra burukkan dan melontarkan fitnah terhadap Islam seakan-akan Islam lah yang menjadi menjadi biang kerok atas masalah yang melimpah umat hari ini terlebih kaum perempuan.
Shahabiyah Inspirasi Sejati
Sebenarnya persoalan yang melimpah perempuan bukan hanya terjadi saat ini saja. Namun, sebelum Islam datang sosok perempuan sangat tidak berharga. Bahkan kelahirannya dianggap aib sehingga harus disingkirkan dengan cara di bunuh.
Tentu kita pernah dengar cerita Khalifah Umar Bin Khattab. Sebelum beliau mengenal Islam, beliau juga termasuk yang sempat membunuh anak perempuannya. Tetapi begitu Islam datang, perempuan begitu sangat dimuliakan. Kedudukannya sama seperti laki-laki yakni sebagai hamba Allah SWT. Mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki. Yakni beribadah kepada Allah SWT. Menjalankan semua perintah dan menjauhi segala larangan Allah SWT.
Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Tidak ada larangan bagi perempuan untuk menuntut ilmu. Sebagaimana ibunda Aisyah, ra. Beliau adalah istri Rasulullah dan shahabiyah yang menjadi perawi hadist terbanyak dari kalangan perempuan.
Bahkan para sahabat pada masa itu, ketika menghadapi suatu masalah dan mereka tidak mengetahui hukumnya, maka mereka akan mendatangi ibunda Aisyah, ra untuk meminta pendapat beliau terkait permasalahan tersebut sesuai dengan apa yang Aisyah, ra dapatkan dari Rasulullah SAW. Aisyah, ra juga mengajarkan hadist-hadist yang beliau hapal kepada kaum muslimin.
Tentu masih banyak lagi kisah para shahabiyah yang seharusnya menjadi inspirasi dan patut untuk kita teladani saat ini. Karena mereka adalah bukti nyata implementasi dari bagaimana Islam memperlakukan dan memuliakan perempuan sebagaimana yang diingini R.A. Kartini sesungguhnya. Bukan “Kartini masa kini” ala Feminisme yang justru semakin membuat kita jauh dari Islam. Bahkan membuat kita menentang Islam dengan dalih pemberdayaan.
Wallahua’lam Bisshowab
Oleh : Meltalia Tumanduk, S. Pi (Pemerhati Masalah Sosial Masyarakat)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru