Samarinda - Beberapa waktu lalu, Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Unmul mengadakan konferensi pers pada Rabu (28/2) lalu. Konferensi ini berkaitan dengan pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual pada konferensi persnya, Sabtu (24/2) lalu menyampaikan beberapa tuntutan yang ditujukan kepada Satgas PPKS Unmul. Koalisi tersebut mendesak Satgas PPKS Unmul agar tidak lambat dalam memproses penanganan dugaan kasus kekerasan seksual, yang terjadi di Unmul pada Oktober 2023 lalu.
Koalisi yang terdiri dari komunitas Savrinadeya Support Group, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda, serta Civitas Akademika Unmul, mempertanyakan kinerja Satgas PPKS Unmul. Pasalnya, dalam menangani kasus ini, Satgas PPKS Unmul dinilai lamban dan membatasi pelapor, serta tidak profesional dalam prosesnya
Satgas PPKS Unmul pun merespons dengan membantah keterangan dari rilis Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual tersebut dengan beberapa klarifikasi. Di antaranya jumlah korban melapor, pelaku yang sudah nonaktif, dan kasusnya terus berjalan.
Satgas PPKS Unmul pun menyampaikan pernyataan sikap bahwa apa yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual adalah tidak benar dan tidak berdasarkan kepada fakta yang sesungguhnya. Oleh karena itu mereka menuntut semua pihak yang terlibat dalam rilis pers Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual untuk melakukan permintaan maaf secara tertulis kepada Satgas PPKS Unmul dan secara lisan melalui publikasi di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.
Demikianlah perseteruan antara Satgas PPKS dan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual, tentunya hal ini menandakan bukannya fokus pada penyelesaian kasus kekerasan seksual dan korban. Seharusnya antar lembaga saling bersinergi tetapi saat ini justru saling menyalahkan.
Unmul membentuk Satgas PPKS pada September 2022 lalu. Satgas PPKS Unmul sudah sering melakukan program memberikan sosialisasi atau edukasi kepada mahasiswa tentang cara menghadapi kekerasan seksual, termasuk melakukan proses hukum. Namun hingga kini kasus kekerasan seksual masih berulang, Satgas PPKS yang dibentuk pun tak mampu mencegahnya
Fajar Apriani, Koordinator Divisi Pengaduan Satgas PPKS Unmul menyebutkan bahwa dalam rentang tahun 2023, kasus kekerasan seksual yang ditangani oleh Satgas PPKS setidaknya mencapai 23 kasus.
Banyaknya kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kawasan Unmul yang mulai naik ke permukaan, diklaim menjadikan saluran pengaduan yang disediakan oleh Satgas PPKS berjalan dengan semestinya. Meskipun di sisi lain kinerja Satgas PPKS dipertanyakan seperti yang disuarakan koalisi masyarakat anti kekerasan seksual. Namun, haruskah saling menyalahkan di tengah kasus kekerasan seksual? Akhirnya mengubah fokus penanganan korban dan penyelesaian masalah karena perseteruan antar lembaga.
Akar Persoalan Kekerasan Seksual
Perseteruan Satgas PPKS dan koalisi masyarakat anti kekerasan seksual menandakan ketidaksinergisan antar lembaga. Selain itu, berulangnya pelecehan atau kekerasan seksual di kampus tentu menjadi catatan hitam bagi dunia pendidikan. Apalagi pelaku seksual orang terdidik. Sungguh kualitas pendidikan kita dipertanyakan. Termasuk perguruan tinggi yang mencetak generasi sebagai agend pengubah masyarakat.l
Kekerasan atau pelecehan seksual di kampus sebenarnya merupakan persoalan sistematis dan ideologis. Bermula dari asas pendidikan yang memisahkan nilai agama dari kehidupan membuat kurikulum dan proses belajar mengajar jauh dari nilai agama. Mata kuliah agama sedikit, dunia kampus lebih berfokus pada nilai sehingga orientasi pendidikan bergeser hanya pada materi.
Kasus kekerasan seksual di dunia kampus tidak bisa berharap pada keberadaan Satgas PPKS yang notabene bertindak jika sudah terjadinya kekerasan. Andai untuk mencegah kekerasan seksual, dunia kampus termasuk Satgas PPKS punya program namun jika liberal menghantui kehidupan maka kekerasan seksual tetap akan terjadi. Misalnya rangsangan yang berasal dari media, pergaulan bebas, ditambah kondisi keluarga, masyarakat, dan negara apakah peduli atau justru memfasilitasi.
Liberalisme menyebabkan berulang dan maraknya seks bebas hingga pelecehan dan kekerasan seksual. Liberalisme atas nama HAM buah dari sistem kehidupan kapitalisme mewarnai kehidupan dan corak pendidikan dunia kampus. Satgas PPKS yang dibentuk dan hukuman sosial serta pelanggaran kode etik tak akan selesaikan masalah kekerasan seksual di kampus. Sepatutnya kasus kekerasan seksual yang berulang apalagi masuk dalam dunia kampus mendorong negeri ini untuk memperbaiki tata pendidikan dan sistem pergaulan di masyarakat.
Kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang berulang dan marak termasuk dalam dunia kampus sepatutnya mendorong negeri ini untuk memperbaiki tata pergaulan dan menghapus beragam nilai liberal.
Jangan sampai negara hanya seakan masuk dalam ranah pelecehan atau kekerasan seksual jika sudah terjadi tetapi penyebabnya awal atau akar masalahnya dibiarkan, yakni asas kapitalisme sekuler.
Perlu sinergitas dan pandangan ideologis untuk mencegah kekerasan seksual terjadi. Individu, keluarga, masyarakat dan negara harus berlandaskan Islam.
Islam Solusi Kekerasan Seksual
Di dalam Islam laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk sama-sama menjaga kehormatan diri dari segala perbuatan maksiat. Sebagai contoh, Islam memiliki aturan menutup aurat bagi wanita, memerintahkan untuk tetap berada di dalam rumah jika tidak memiliki keperluan syar’i, melarang bertabarruj (berhias berlebihan) dan khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan muhrim).
Kemudian pihak laki-laki Allah perintahkan untuk menundukkan pandangan dan bersegera menikah atau berpuasa. Semuanya adalah bukti bahwa hanya Islam agama sekaligus sistem yang memiliki aturan pergaulan mencegah kekerasan dan pelecehan seksual. Inilah yang dinamakan pandangan ideologis.
Permasalahan seksual perlu solusi sistemik baik dari keluarga, masyarakat, dan negara. Tidak perlu lagi ada tambahan Satgas PPKS, cukup struktur keamanan dalam negeri yakni polisi menjalankan fungsinya.
Sesungguhnya hanya Islam yang akan memberikan perlindungan dari berbagai kasus pelecehan, kekerasan dan kejahatan seksual. Melalui upaya preventif, misalnya menerapkan sistem pergaulan Islam. Melalui langkah kuratif yang akan memberikan sanksi sehingga membuat jera para pelaku termasuk mencegah munculnya kasus serupa.
Tidak hanya itu, Islam pun akan mengkondisikan sistem lainnya (ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, media, dsb) agar berjalan sesuai dengan aturan syariat. Dengan diterapkannya aturan Islam secara sistemik melalui negara maka kasus kekerasan seksual termasuk dalam dunia kampus.
Dalam Islam dunia kampus yakni mahasiswa akan kembali kepada hakikatnya, yakni menjadi mercusuar pengubah masyarakat dan kontrol bagi negara. Mahasiswa atau generasi akan berkualitas, baik kepribadian, keilmuan maupun perannya dalam masyarakat dan negara. Oleh karena itu, mari kita bersinergis dalam memperjuangkan Islam agar kehidupan dalam tatanan ideologis yakni syariat Islam kaffah bisa tercapai.
Wallahu’alam…
Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru