Samarinda - Aktivitas pertambangan yang diduga ilegal mengakibatkan pencemaran Sungai Pelay di Loa Kulu, Kutai Kartanegara (Kukar) Kalimantan Timur (Kaltim). Kondisi ini mengancam kehidupan warga di 3 desa dan 1 kelurahan di Kecamatan. Yakni Desa Sumber Sari, Ponoragan, Sepakat dan Bukit Biru. Padahal sungai inilah menjadi sumber kehidupan mereka, untuk mengairi sawah dan kolam warga.
Kepala Desa Sumber Sari, Sutarno mengatakan ketika ada kegiatan tambang, masyarakat gelisah karena mencemari dan tergantung dengan sungai. Sutarno menyebut pada Oktober 2022 lalu, limbah akibat aktivitas pertambangan ilegal mencemari Sungai Pelay menyebabkan ikan-ikan yang hidup di aliran anak sungai mati semua. Ditakutkan Sutarno, akan berdampak lebih kedepannya. Akibat lainnya, kini debit air yang mengalir berkurang meski diguyur hujan dalam jumlah yang lama dan intensitas tinggi sebab tertutupnya aliran air oleh galian.
Sutarno menyebut ada sekitar 316 hektare (ha) areal persawahan yang produktif dan 20 ha kolam ikan di Desa Sumber Sari. Keseluruhannya, bergantung dengan keberadaan Sungai Pelay yang tercemar karena aktivitas pertambangan. Oleh karena itu kalau tidak diimbangi dengan kondisi normal tanpa keberadaan tambang ilegal akan menjadi sulit mewujudkan daerah lumbung pangan. (Mediakaltim.co, 19/1/2023)
Pernyataan kepala desa tersebut sebenarnya diperkuat dengan Surat Keputusan (SK) yang ditetapkan dan ditandatangani oleh Bupati Kukar bahwa desa Sumber Sari merupakan salah satu kawasan pengembangan pertanian di Kukar dan daerah lumbung pangan serta penyuplai pasokan pangan, baik untuk Kukar, Kaltim hingga Ibu Kota Nusantara (IKN) kelak. Terbaru imbauan presiden kepada kepala daerah agar menjaga stabilitas ketersediaan dan harga beras pun menegaskannya. Tentu menjadi ironis di satu sisi memperluas pertanian sedangkan urusan pertambangan tidak selesai.
Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari mengatakan, hal tersebut bukan hal baru di Kaltim. Menurut dia, sampai akhir 2022 terdapat sekitar 161 titik pertambangan ilegal. Artinya, dengan adanya pertambangan sepanjang empat tahun dan tidak terhenti hingga saat ini justru menjadi pertanyaan bersama. Contohnya kasus di Sumber Sari tersebut, sejak lima bulan terakhir warganya berjuang dengan berbagai cara. Ada dengan aksi, bersurat dan melaporkan tampil di media dan menghimpun kekuatan warga justru semakin dilemahkan dengan tidak adanya tindakan dari pihak berwenang. Jatam sudah memasukkan laporan ke Tipiter Barakreskrim Polri. Kini, Jatam akan melaporkan kembali bersama masyarakat. (Kaltim.prokal.co, 20/1/2022)
Tambang Merusak Lingkungan
Demikianlah ketika tambang tidak dikuasai oleh negara, tetapi justru diserahkan kepada swasta atau asing maka hasilnya hanya akan merusak lingkungan dan merugikan rakyat. Bukan persoalan legal atau ilegal tetapi paradigma pengelolaan SDAE, undang-undang dan sistem negara ini yang menjadi akar mengapa pertambangan berbuah kerusakan.
Penguasa dalam sistem sekuler kapitalisme dengan segala bentuk kebijakan telah menciptakan ruang hidup yang memanjakan pengusaha atau pemilik modal sehingga mereka leluasa mengeruk kekayaan SDAE. SDAE meski dalam undang-undang dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat tetapi faktanya dikuasai oleh swasta dan asing dan dampaknya hanyalah merusak lingkungan dan merugikan rakyat. Seperti salah satunya kasus pencemaran sungai Kelay di atas.
Bukan hanya itu, pihak berwenang pun sepertinya tidak bisa menindak penambang ilegal yang semakin marak. Buktinya mereka tetap bisa beraksi meski masyarakat sudah melaporkan. Hal ini bisa menjadi bukti bahwa penambang ilegal berjalan mulus karena ada “pulus” yang disetorkan. Seperti yang diungkapkan oknum mantan polisi, IB lewat video viralnya beberapa waktu lalu.
Aturan tentang jerat bagi penambang ilegal hanya di atas kertas. Pihak berwenang tidak bergigi menuntaskannya. Pemerintah daerah pun dengan diambilnya izin pertambangan oleh pusat berakibat tidak bisa memberi sanksi.
Sistem Kapitalisme menjadikan penguasa hanya sebagai regulator bukan eksekutor. Termasuk dilegislasinya aturan lewat undang-undang minerba, tetapi dibalik itu mengakomodir maunya pengusaha. Meski SDAE dikuasai negara, tetapi dalam konteks demokrasi yang menjamin kebebasan justru liberalisasi SDAE semakin menjadi-jadi.
Inilah yang terjadi dalam sistem Kapitalisme. Sistem Kapitalisme menjadikan para kapitalis pengusaha tambang fokus untuk mengejar materi atau keuntungan tanpa memperhatikan sisi lingkungan, apalagi keselamatan. Alih-alih kekayaan alam bisa dinikmati oleh rakyat, rakyat justru jadi tumbal para penambang dan penguasa yang memuluskan operasi mereka.
Dari sini dapat disimpulkan kapitalisme terbukti fasad dalam kelola SDAE. Terbukti dengan tata kelola yang salah hingga rusaknya lingkungan, seperti sungai tercemar, longsor, banjir, dan nyawa pun melayang akibat lubang bekas tambang.
Pengelolaan SDAE dalam Islam
Beda halnya dalam Islam, pengelolaan SDAE yang jumlahnya tidak terbatas merupakan kepemilikan umum. Tidak boleh dikuasai apalagi dimiliki oleh seseorang pengusaha, perusahaan swasta apalagi asing. Hanya negara satu-satunya yang berhak mengelola kepemilikan umum.
Sebagaimana At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abyadh bin Hamal: Abyadh diceritakan telah meminta kepada Rasul untuk dapat mengelola suatu tambang garam. Rasul semula meluluskan permintaan itu, tapi segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah tambang tersebut darinya”.
Hadits tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Hadits tersebut fokus bukan saja garam tapi tambangnya. Penarikan kembali oleh Rasulullah adalah alasan larangan dari sesuatu milik umum termasuk dalam hal ini tambang yang kandungannya terlalu banyak untuk dimiliki individu.
Rasulullah bersabda: “Manusia berserikat dalam air, api, dan padang gembalaan “. (HR. Abu Ubaid)
Air, api, dan padang gembalaan adalah sumber penghidupan bagi suatu masyarakat. Dalam konteks modern saat ini api adalah sumber energi termasuk batu bara.
Negara dalam Islam berkewajiban mengelola SDAE untuk dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk langsung atau pun tidak langsung seperti gratisnya biaya pendidikan, kesehatan, dan terjangkaunya harga kebutuhan pokok.
Seandainya, pertambangan dilakukan maka harus berdasarkan proses dan mekanisme yang telah ditentukan negara, yakni harus memperhatikan keberlangsungan kehidupan agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Pertambangan harus taat aturan dan memperhatikan lingkungan serta berkontribusi untuk kepentingan rakyat.
Pengelolaan SDAE dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari penerapan Islam secara totalitas karena saling terkait dengan sistem lain dan berakar dari sistem kehidupan
Selama sistem kehidupan kita masih berpijak pada sistem sekuler, persoalan pertambangan tidak akan berakhir. Sistem Kapitalisme terbukti fasad dalam kelola SDAE, hanya sistem Islam yang mampu kelola SDAE agar berbuah berkah dunia-akhirat. Wallahu a’lam.[]
Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd (alumni Pascasarjana Unlam Banjarmasin)
disclaimer : Tulisan ini merupakan partisipasi individu masyarakat yang ingin menuangkan pokok-pokok fikiran, ide serta gagasan yang sepenuhnya merupakan hak cipta dari yang bersangkutan. Isi redaksi dan narasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru