Share ke media
Opini Publik

Ruang Hidup yang Terenggut di Tengah Pembangunan IKN yang "Hiruk Pikuk"

10 Jun 2024 08:13:56430 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : Mongabay.co.id - Buku: Nyapu, Nasib Masyarakat dalam Ruang Gelap Mega Proyek IKN - 17 November 2023

Samarinda - Ratusan massa yang bergabung dalam “Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU” membanjiri halaman Kantor ATR/BPN Penajam Paser Utara (PPU), Selasa (28/5/2024). Massa tersebut terdiri dari warga empat desa lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN), yakni Pemaluan, Rico, Maridan dan Telemow. Aksi massa ini bertujuan menuntut kejelasan dan keadilan atas hak tanah mereka yang terdampak oleh proyek IKN.

Tuntutan utama dari aksi ini adalah pencabutan status agak Guna Usaha (HGU) atas tanah warga, perubahan status lahan dari hak pakai menjadi hal milik, penghapusan Bank Tanah dari PPU, transparansi dalam administrasi dan pencatatan pertanahan, serta penetapan biaya administrasi yang jelas dalam mengurus legalitas lahan dan berbagai tuntutan lainnya. Selain itu massa aksi menuntut agar ATR/BPN memberikan kejelasan mengenai hak-hak mereka khususnya di kawasan IKN.

Aksi ini merupakan aksi lanjutan dari demonstrasi yang dilakukan pada Rabu (22/5/2024) lalu. Dengan massa yang lebih besar, warga mendesak pihak ATR/BPN PPU untuk segera merespons tuntutan mereka. Selain itu mereka menyoroti kinerja otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) yang dianggap tidak efektif dan tidak berpihak pada masyarakat serta Undang-undang IKN yang dianggap fleksibel dan mudah dimanipulasi sesuai kepentingan pihak tertentu.

Disamping itu mereka menyampaikan kekhawatiran atas dampak negatif pembangunan IKN terhadap lingkungan dan kesejahteraan warga, sebagaimana fakta bahwa sawit mereka rusak akibat proyek ini belum lagi polusi, debu dan jalan yang licin di IKN. Lebih lanjut mereka juga mempertanyakan otoritas OIKN yang disembah ketika warga ingin membuat hak milik di tanah mereka. Mereka juga menuntut agar konsesi-konsesi lahan yang ada dijelaskan secara rinci, setidaknya demikian tuntutan mereka yang jika tidak direspon mereka siap melakukan aksi lebih besar bahkan menduduki IKN. (kaltimtoday.co 28/5/2024).

Kisruh lahan di IKN merupakan pemandangan yang acap kali terjadi sejak awal pembangunannya. Tuntutan demi tuntutan yang berujung pada demonstrasi jelas membuktikan persoalan tersebut belum terselesaikan. Pembangunan IKN yang sejak awal memang menjadi kontroversi di tengah masyarakat telah banyak melahirkan deretan persoalan termasuk persoalan lahan.

Meski warga terdampak IKN tidak menolak pembangunan IKN. Namun saat ini dampak negatif dari pembangunan IKN sudah dirasakan warga. Polusi, debu, jalan licin, banjir, kesulitan air bersih hingga pada tenggelamnya sawit warga yang notabene adalah sumber penghidupan mereka adalah segelintir dari persoalan yang ada. Dampak sosial pun tak terelakkan maraknya prostitusi, narkoba, kriminalitas serta semakin ketatnya persaingan hidup menjadi bagian dari kehidupan warga. Jelas hal ini mengancam kenyamanan hidup dan kesejahteraan mereka. 

Mirisnya lagi, sulit dan berbelitnya pengurusan legalitas tanah dan lahan warga oleh pemerintah tak jarang berakhir pada sengketa yang kerap berujung pada tergesernya warga dari lahannya sendiri. Persoalan ini bukanlah hal baru, berdasarkan laporan Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencacat, sepanjang tahun 2020-2023, ada 115 letusan konflik agraria akibat Proyek Strategi Nasional (PSN). Luas lahan dan jumlah korban terdampak masing-masing 516.409 ha dan 85.555 keluarga. Beberapa konflik itu terjadi seiring percepatan (PSN) termasuk Proyek Waduk Sepaku Semoi di IKN. 

Hal ini pun terkadang memaksa warga mau tak mau akhirnya menjual tanah dan lahan mereka dengan akad ganti rugi dan ini menjadi opsi dikala sudah mendesak. Nampak jelas bagaimana ruang hidup mereka terampas dan direnggut secara paksa. Padahal tanah dan lahan tersebut adalah hak mereka yang seharusnya dilindungi negara. Namun demikianlah yang terjadi keberpihakan negara bukan pada warga terdampak IKN namun justru hadir sebagai regulator dalam memuluskan kepentingan para kapitalis/oligarki. Hal ini bukanlah tanpa sebab, sebagaimana diketahui bahwa negeri ini mengadopsi sistem kapitalisme sekuler. Di mana sistem ini menjadikan para kapitalis/oligarki sebagai pengendali negeri ini.

Kapitalisasi sekuler yang memisahkan urusan kehidupan dari agama menempatkan manfaat untung rugi sebagai tujuannya. Sistem yang juga melahirkan demokrasi ini pun meniscayaan kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam menentukan kebijakan. Maka tidak heran jika revisi UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara yang disahkan oleh DPR pada bulan Oktober 2023 lalu, justru memberikan hak atas tanah selama 190 tahun kepada investor.

Sungguh di luar nalar regulasi yang ada dan semakin mengkhawatirkan warga setempat. Hal ini membuat warga tidak memiliki akses terhadap tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Ganti rugi lahan bukanlah solusi dari permasalahan yang ada, justru ruang hidup mereka terampas dan penghidupan mereka pun hilang. Sebagaimana menurut KPA, 115 konflik di kawasan PSN saja sudah membuat 85.555 petani kehilangan pekerjaan.

Berbeda dengan Islam. Penguasa dalam sistem Islam akan menjalankan pemerintahannya sesuai apa yang Allah SWT syariatkan. Tujuan dalam pemerintahan Islam adalah riayah syu’unil ummah (mengurusi urusan rakyatnya). Semua regulasi yang ada berlandaskan pada syariat Islam dan demi kemaslahatan rakyatnya.

Islam pun tidak anti dengan pindah ibukota, ini terbukti dalam sejarah peradaban Islam pernah terjadi empat kali pindah ibukota. Semua dilakukan demi kepentingan rakyat dan kedaulatan negara. Artinya pembangunan yang ada tidak akan menimbulkan konflik, mendzalimi pemilik lahan bahkan tidak akan merusak alam. 

Dari sini jelas bahwa setiap perampasan atas kepemilikan individu adalah perbuatan dzalim dan Islam sangat menjaga hak setiap individu. Lihatlah bagaimana pada saat kepemimpinan Umar bin Khattab. Saat itu beliau kedatangan seorang Yahudi tua yang datang mengadu atas tanahnya yang diambil paksa oleh Gubernur Mesir yang notabene adalah bawahan dari Khalifah Umar bin Khattab.

Amru bin Ash selaku Gubernur Mesir pun memberikan penawaran hingga 15 kali lipat dari harga pasaran. Namun demikian Yahudi tua ini tetap pada keputusannya, ia tidak mau menjualnya sebab lahan dan bangunan itu merupakan satu-satunya miliknya yang berharga. Akan tetapi Amru bin Ash mengambil keputusan dan memerintahkan pekerja untuk mengusur lahan tersebut dan membangun sebuah masjid di atasnya.

Umar bin Khattab ketika mendengar pengaduan dari Yahudi ini memerintahkan Yahudi tersebut untuk mengambil sebuah tulang yang ada di tumpukan sampah dan menyerahkan kepada Umar. Tanpa panjang lebar Umar langsung mengambil pedang dan membuat garis lurus di atas tulang tersebut. Lalu Umar memberikan dan memerintahkan Yahudi agar tulang tersebut diserahkan kepada Amru bin Ash. Singkat cerita tulang tersebut diserahkan kepada Amru bin Ash dan kagetlah ia dan kemudian memerintahkan para pekerja masjid agar menghentikan pembangunan masjid, kemudian mengembalikan apa yang menjadi hak Yahudi tersebut.

Maknanya bahwa pemimpin dalam Islam tidak boleh berbuat dzalim kepada siapapun meskipun kekuasaan ada di genggamannya. Umar dengan tegas memperingati Gubernurnya dengan garis lurus di tulang tersebut bahwa ia harus lurus dan adil dalam memimpin rakyatnya.

Keteladanan ini menggambarkan bagaimana Islam dalam mengurusi rakyatnya dan terkait dengan lahan, negara akan hadir selain sebagai pelindung hak rakyatnya tentu urusan administrasi dan struktur negara khilafah akan memudahkan warganya. Negara hadir tidak akan menyulitkan warganya justru akan membela jika ada administrasi berbelit dan menyusahkan.

Wallahu a’lam bishowab.

Oleh: Mira Ummu Tegar (Aktivis Muslimah Balikpapan)