Share ke media
Opini Publik

RUMAH TANGGA RAPUH DALAM SISTEM KAPITALISME

08 Nov 2024 03:00:1057 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : tangselpos.id - Janda di Banten Selama 2023 Mencapai 19.031, Tigaraksa Berada Di Peringkat Pertama - 4 Januari 2024

Samarinda - Pada bulan Agustus 2024 kemarin, Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Samarinda merilis data terkini kasus perceraian di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) selama enam bulan pertama tahun 2024.

Sebanyak 3.360 kasus perceraian tercatat di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) selama enam bulan pertama tahun 2024, dengan rincian 2.477 kasus cerai gugat dan 883 kasus perceraian.

Balikpapan mencatat angka perceraian tertinggi di Kalimantan Timur sebanyak 823 kasus, disusul Samarinda 803 kasus, dan Bontang 599 kasus.

Berdasarkan data PTA, penyebab tertinggi kasus perceraian adalah perselisihan dan pertengkaran, disusul permasalahan ekonomi, penelantaran pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan mabuk-mabukan.

Maraknya kasus perceraian menjadi salah satu bukti bahwa struktur dan stabilitas keluarga di Kalimantan Timur semakin rapuh. Permasalahan keluarga tidak hanya dipicu oleh kondisi internal keluarga, namun juga kondisi eksternal. Lapangan kerja yang berujung pada PHK, sulitnya mencari lapangan kerja baru, bahan pangan semakin mahal, pajak semakin meluas dan meningkat, usaha mandiri semakin terhimpit hingga gulung tikar, harga bahan bakar minyak dan listrik terus meningkat, biaya sekolah yang semakin tidak masuk akal, merupakan salah satu hal yang membuat kondisi pernikahan semakin rentan terhadap konflik. Belum lagi suasana masyarakat yang semakin hedonis, norma-norma yang semakin lemah, akhlak yang semakin terpuruk, membuat kondisi keluarga ibarat kristal yang retak disana-sini, siap pecah.

Kondisi ini bukannya tanpa kendala. Dan intinya bukan sekedar masalah keimanan yang kuat dalam membangun sebuah keluarga. Namun kondisi dan suasana lingkungan hidup dipengaruhi oleh sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara dan masyarakat yaitu sistem kapitalisme.

Sistem kapitalisme ini berperan sangat besar dalam membuat keluarga menjadi rapuh.

Permasalahan eksternal yang ada di luar keluarga di atas, muncul karena penerapan sistem ini. Belum lagi sebagian besar individu yang menikah merupakan produk dari sistem kapitalis. Cara berpikir dan berperilaku mereka lebih sesuai dengan cara pandang sistem tersebut. Maka tidak mengherankan jika penyelesaian dalam berbagai hal didasarkan pada cara pandang sistem kapitalis.

Sistem kapitalis menjadikan materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Seseorang merasa bahagia ketika mampu memenuhi segala kebutuhannya, baik kebutuhan primer hingga tersier. Baik untuk rumah mewah, makanan enak, perhiasan, fashion, atau jalan-jalan, semua menjadi kebutuhan. Jika “kebutuhan” tersebut tidak terpenuhi, ia merasa kurang bahagia dan timbul berbagai konflik dalam rumah tangga.

Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan sumber daya hanya dapat diakses oleh mereka yang bermodal. Lalu ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Selain itu, kapitalisme mengubah segala kebutuhan menjadi ladang bisnis. Pendidikan dan perawatan kesehatan menjadi sangat mahal.

Tak heran jika tekanan hidup terus meningkat. Suami rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Istri mudah mengambil keputusan cepat: meninggalkan suami bekerja, menjadi TKW di luar negeri, atau beralih ke laki-laki lain. Hal inilah yang memunculkan faktor ekonomi di balik perceraian.

Kapitalisme biasanya berjalan seiring dengan liberalisme ‘pemahaman kebebasan’. Perempuan yang tidak menutup aurat, laki-laki dan perempuan bercampur tanpa perlu mempunyai kepentingan, kesendirian, atau pergaulan yang tidak terbatas, menjadikan perselingkuhan merajalela di tengah masyarakat. Bukan hanya suami saja yang selingkuh, istri juga kerap selingkuh dengan menjaga PIL (pria idaman lainnya). Apalagi dengan menjamurnya media sosial, peluang terjadinya kecurangan pun semakin terbuka lebar.

Akibat liberalisme, permasalahan perselingkuhan dianggap sebagai permasalahan pribadi yang tidak layak untuk melibatkan orang lain. Kontrol sosial menjadi steril.

Belum lagi sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Pemahaman ini menjadikan umat Islam memandang agama hanya sekedar ritual belaka. Dalam kehidupan sehari-hari, hukum agama dipinggirkan. Umat ​​Islam semakin jauh dari ketakwaan.

Yang terjadi kemudian adalah para suami yang tidak memahami kewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya, menelantarkan dan melalaikan tanggung jawabnya. Begitu pula dengan suami yang suka melakukan kekerasan terhadap istri, berselingkuh, melakukan poligami yang tidak adil, dan kezaliman lainnya yang melanggar hukum syariah. Semua ini berujung pada perselisihan dan perpecahan keluarga yang seringkali berakhir dengan gugatan cerai istri terhadap suaminya.

Hal inilah yang sebenarnya menjadi penyebab tingginya angka perceraian, khususnya perceraian. Selama kapitalisme dan keturunannya belum dibongkar seluruhnya, permasalahan perceraian akan terus meluas. Faktanya, di negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi lokomotif kapitalisme, angka perceraian hampir mencapai 50%.

 Mekanisme Islam untuk Mencegah Perceraian

Kondisi dan suasana ini tentu jauh berbeda dengan kondisi dan suasana ketika sistem Islam diterapkan. Islam merupakan agama yang unik karena merupakan satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur tentang ritual atau aspek spiritual saja, namun Islam juga mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Islam merupakan akidah politik, yaitu akidah yang mengeluarkan seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan.

Islam memandang permasalahan ekonomi dari sudut pandang terpenuhinya kebutuhan individu setiap individu, baik kebutuhan pokok, kesehatan, maupun pendidikan. Dengan demikian, masyarakat dikatakan sejahtera bila seluruh individunya sejahtera.

Aturan Islam juga mengenalkan kita pada kewajiban pemeliharaan. Suami secara hukum wajib menafkahi istri dan anak-anaknya. Jika suami wanprestasi, pengadilan berhak memaksa atau menyita harta milik suami untuk menghidupi keluarganya secara layak. Apabila suami tidak mampu karena sakit atau cacat, maka kewajibannya berpindah kepada wali dari garis suami. Kalau ternyata mereka semua miskin, negaralah yang membiayai mereka dari kas negara.

Selain itu, negara harus menyediakan lapangan kerja yang luas agar suami bisa bekerja dan menafkahi keluarganya. Dalam Islam, seluruh sumber daya alam yang strategis adalah milik rakyat yang dikelola oleh negara. Dengan pendapatan yang besar dari pertambangan, hutan, perairan, dan sumber daya alam lainnya, bukan tidak mungkin negara dapat menciptakan lapangan kerja yang luas dan menjamin kebutuhan individu warganya. Dengan mekanisme ini, penyebab perceraian dari faktor ekonomi bisa dihindari.

Dari sudut pandang kebebasan, Islam memang menghargainya, namun tetap menjaga agar kebebasan tersebut mempunyai nilai positif bagi kehidupan. Islam memberikan kebebasan bagi perempuan untuk beraktivitas di luar rumah, misalnya. Untuk mencegah dampak negatif perempuan yang keluar di ruang publik, seperti pergaulan bebas dan perselingkuhan, Islam mengharuskan perempuan dan laki-laki untuk terikat oleh serangkaian aturan. Mereka wajib menutup aurat, tidak menjadi khalawat, menjaga mata, dan menjaga izzah (kehormatan). Khusus bagi wanita, wajib berhijab, tidak bertabaruj, dan tidak berpergian semalaman tanpa mahram.

Kemudian media massa bebas menyebarkan berita, namun wajib memberikan edukasi kepada masyarakat, menjaga keimanan dan keagungan akhlak, serta menebar kebaikan di tengah masyarakat.

Dengan kaidah Islam maka ketakwaan dan harkat dan martabat masyarakat akan selalu terjaga. Perselingkuhan bisa dicegah sehingga keberlangsungan rumah tangga bisa tetap terjaga. Selain itu, Islam memberikan seperangkat aturan agar perceraian tidak terjadi dengan mudah. Salah satunya adalah dengan memediasi setiap perselisihan antara suami dan istri.

Allah SWT. dikatakan,

وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ اَهْلِهِ و َحَكَمً مِنْ اَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصلَاحً يُوَفِقِ اللَّّ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا

“Dan jika kamu khawatir terhadap perselisihan antara keduanya, maka kirimkanlah hakim dari keluarga laki-laki dan hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua hakim itu berniat melakukan perbaikan, niscaya Allah akan mengabulkan taufik kepada suami istri tersebut. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengetahui.” (QS An-Nisa’: 35)

Dengan demikian, melalui penerapan Syariat Islam secara menyeluruh, seluruh permasalahan manusia, termasuk dalam perkawinan, akan menemukan solusi tuntas. Dengan begitu, ketangguhan keluarga sesungguhnya akan terwujud sehingga kebahagiaan dan kesejahteraan bukan lagi sekedar impian yang sulit diraih.

Oleh : Rina Rachm S. S.E.