Share ke media
Politik

Sengkarut Politik Indonesia, Ulama Solusinya

07 Aug 2018 05:00:552293 Dibaca
No Photo
Muhammad Husni Fahruddin Al Ayub, Koordinator Youth Institute

Alam demokrasi, meniscayakan semua manusia memiliki hak politik dan hak menilai. Memilih Joko Widodo (Jokowi) kembali menjadi Presiden untuk kedua kalinya, mari mendukung dan memilihnya, yang menginginkan Prabowo Subianto untuk menjadi Presiden menggantikan Jokowi, dukung dan ciptakan karya nyata untuk menonjolkan idolanya, yang tidak setuju bila Jokowi dan Prabowo menjadi Presiden bangsa ini, bersuara dengan menyampaikan penilaian yang kritis, namun terlepas dari itu semua, demi kepentingan bangsa dan negara, jangan ada penilaian, gerakan dan bahasa destruktif, black campaign, perang berita hoax, dan personifikasi kecebong untuk pendukung kubu Jokowi dan kampret untuk pendukung kubu Prabowo sebuah pertanda dekadensi moralitas bangsa Indonesia. Lunturnya budaya dan adat ketimuran yang selama ini menjadi jati diri bangsa Indonesia.   


Melihat peta politik yang ada saat ini, nampaknya sangat sulit munculnya capres selain Jokowi dan Prabowo, sehingga kontestasi Head to Head akan kita jumpai, telah tersaji di menu hidangan informasi yang selalu kita saksikan dan akhirnya membuat kita bosan, ketika perang retorika tanpa etika dan kampanye hitam nan sesat, yang merusak relung berpikir, emosi spritual dan kecerdasan sebagian anak bangsa.   


Politik Islam dan Politisasi Islam  

Jokowi tampak mendapat dukungan oleh kalangan Islam liberal dan Islam moderat sedangkan Prabowo identik memiliki pendukung Islam fundamental dan Islam garis keras, hal ini bisa terlihat dengan munculnya asatidz dan ulama yang berada dalam lingkaran kedua kubu. Umat Islam harus sadar bahwa politik dalam Islam dibenarkan, umat Islam harus memahami, menjalankan dan melakoni politik namun Islam tidaklah untuk dipolitisasi, karena sangat berbeda antara politik Islam dan politisasi Islam.   


Politik Islam sering diartikan sebagai politik yang dipengaruhi oleh nilai-nilai Islam.  Umat Islam haruslah berpolitik dengan menggunakan cara-cara Islami yang merupakan bagian dari syariah.  Sedangkan, politisasi Islam merupakan manipulasi pemahaman tentang ke-Islam-an dengan menggunakan metode propaganda, indoktrinasi, dan kampanye yang dipopulerkan agar terbentuk pemahaman baru yang seolah-olah merupakan pengetahuan dari ajaran Islam, agar dapat memanipulasi publik demi tercapainya   kepentingan politik. 


Ulama dapat di artikan sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam, pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Ulama itu untuk seluruh umat, bukan untuk sebagian umat, golongan tertentu, keberpihakannya adalah pada kebenaran, kebenaran yang dijalankan dengan penuh kedamaian, tidak vulgar dan keras menyatakan keberpihakannya dalam urusan politik, ulama harus netral, tidak pro terhadap pemerintah atau kontra terhadap oposisi, tidak pro terhadap partai politik tertentu atau kontra terhadap salah satu presiden atau wakil presiden. 


“Sesungguhnya ulama pewaris para Nabi”, sebagaimana para Nabi, Ulama itu hadir untuk mencerahkan yang gelap gulita, menghimpun yang tercerai berai, mencerdaskan yang membabi-buta, melembutkan yang keras, melapangkan yang tersekat, menyatukan yang terkotak-kotak, membuat yang intoleran menjadi toleran, memusyawarahkan dan memufakatkan yang berbeda pandangan, bergotong-royong dan bekerjasama dalam setiap tantangan dan permasalahan. Menjaga bangsa dan negara ini untuk tetap dalam kerukunan dan kedamaian di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kewajiban para Ulama.   


Satu-satunya kelembagaan yang telah terbentuk selama 43 tahun untuk bisa merepresentasikan umat Islam secara utuh karena hadirnya para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim dari berbagai macam perbedaan dan latar belakang yang menyatu dalam wadah berhimpun di Indonesia saat ini hanyalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). 


Sebagai sebuah wadah berhimpun semua komponen umat Islam di Indonesia, tanpa memandang asal usul dan tempat perkhidmatannya. Indonesia telah menunjukkan kepada dunia, sebagai laboratorium kemanusiaan dan maket peradaban terbaik yang bisa dijadikan ukuran bagi bangsa lain di dunia ini bahwa dengan begitu banyaknya keheterogen suku, kultur, ras, agama dan golongan, umat muslim di Indonesia sebagai agama mayoritas tetap bisa memanusiakan manusia dan menjaga kebersamaan dalam sebuah bangsa.   


Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama melalui hasil ijtima’, memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai calon Presiden dan merekomendasikan Salim Segaf Al Jufri dan Ustadz Abdul Somad (UAS) sebagai calon wakil Presiden dalam suksesi di 2019. Dengan tegas, UAS menolak untuk masuk dalam wilayah politis yang bernama Calon Wakil Presiden. Kesadaran terhadap spektrum opini publik dan absorpsi umat muslim atas pengambilan keputusan seorang ulama sangat di fahami seorang UAS. 


Politik praktis yang dimainkan GNPF ini telah menyeret paradigma berpikir di kalangan umat Islam untuk saling bersilangan. Konsekuensi atas sikap politik GNPF ini akan diuji ketika Prabowo lebih memilih calon wapres dari luar hasil ijtima GNPF. Popularitas dan logistik adalah dua hal yang terkait dalam kontestasi politik, Prabowo membutuhkan penopang logistik yang mapan dalam perebutan kekuasaan.   


Sebuah ijtima’ yang melahirkan keputusan politik untuk merekomendasikan nama capres dan cawapres, bukan merupakan sebuah keputusan yang wajib di ikuti oleh umat Islam di Indonesia, ijtima’ ini hanya merupakan pilihan yang di sodorkan GNPF kepada umat Islam, apalagi ada banyak ulama mengeluarkan ijtima’ yang tidak berkesesuaian dengan GNPF.   


Ulama dan cendekiawan muslim yang berbeda pandang terhadap cara pergerakan dan keputusan GNPF, khususnya dalam hal-hal politis, menganggap GNPF tidak mewakili umat Islam Indonesia secara keseluruhan, ribuan ulama ada di Indonesia, sampai-sampai Departeman Agama yang kemudian mengeluarkan daftar nama mubalig atau juru dakwah yang diakui oleh pemerintah pun menuai protes yang kuat, sebab setiap daerah, tempat pendidikan Islam dan tempat ibadah di Indonesia selalu memiliki asatidz, mubalig dan ulama untuk membimbing umat di daerah tersebut.   


Said Aqil Siradj dan Haedar Nashir mewakili NU dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan dengan tegas bahwa payung besar mereka adalah gerakan pendidikan dan dakwah kemasyarakatan. Pun, Kiyai-kiyai yang merupakan ulama besar, pemimpin pondok pesantren yang memiliki santri dan pengikut yang berjumlah ratusan ribu orang juga memilih untuk tidak melakukan politik praktis.   


Muhammad Zainul Majdi sebagai politisi, dalam arah politiknya mendukung Jokowi sebagai Presiden untuk kedua kalinya, pernyataan politik yang sangat krusial tersebut, bisakah diucapkan ketika dirinya menjelma sebagai sosok Tuan Guru Bajang, cucu dari Zainuddin Abdul Madjid (Tuan Guru Pancor), pendiri organisasi Islam terbesar di NTB, Nahdlatul Wathan (NW) dan pendiri Pesantren Darun Nahdlatain. Jawabnya tentu saja tidak, karena kesadaran sebagai anak bangsa membuat seorang ulama pada diri Tuan Guru Bajang, untuk tidak memberikan maklumat  politis secara terbuka kepada pengikutnya. Memposisikan diri sebagai politisi di satu waktu dan ulama di waktu lainnya adalah sangat penting untuk menghindari perpecahan ditubuh bangsa yang besar ini.   

Islam Tradisonal sebagai Zona Penyangga 

Islam Trasidional yang masih menguasai jagat keislaman di Indonesia adalah benteng terakhir untuk menjaga faham-faham baru yang memicu pergolakan dan memperuncing perbedaan pada bangsa ini. Ajaran Islam tradisional yang secara kultural melekat dalam khazanah pendidikan di pondok-pondok pesantren di Indonesia, sangat difahami para kiyai yang mendidik para santri dan pengikutnya, salah satunya adalah “Sami’na Wa Atho’na” telah mendarah daging sebagai sebuah ajaran turun-temurun, kami dengar dan kami patuh merupakan ikrar yang suci, dan terus dijaga para kiyai besar dan ulama mumpuni untuk bersikap hati-hati dalam setiap keputusan politis yang membawa dampak bagi bangsa ini.   


Begitu juga demonstrasi umat Islam yang dinamakan dengan 212, gerakan yang berlangsung dalam satu kurun waktu dan untuk tujuan tertentu yakni menyadarkan setiap elemen bangsa bahwa jangan masuk ke wilayah hak universal khususnya berkeyakinan akan cara pandang suatu agama dalam hal ini umat Islam. 


Terlepas dari kontroversi tentang benar atau tidaknya penistaan tersebut, Basuki Tjahaja Purnama telah memasuki wilayah yang dia tidak patut untuk mengkritisinya, yang saat itu telah ditunjukkan oleh pendemo, dengan menggambarkan sebuah gerakan yang sangat etis, damai dan penuh suri tauladan, sebagai agama yang patut untuk tidak dinistakan. 


Berakhirnya pergerakan tanggal 1 Bulan Desember 2016 tersebut karena tujuan dari demonstrasi tersebut telah tercapai dan “sang penista” telah mendapatkan sanksinya. Namun tanpa dinyana, muncullah sekelompok orang yang mengatasnamakan Alumni 212, klaim gerakan demonstrasi 212 dengan massa jutaan tersebut ternyata digunakan untuk bermanuver mengambil langkah-langkah politik dan dukung mendukung atas nama umat Islam. Padahal gerakan 212 adalah gerakan kesadaran yang murni dari hati umat Islam untuk hadir berdemonstrasi saat itu, namun dapat dipastikan, bila saat ini kelompok alumni 212 merencanakan gerakan yang serupa maka pastilah tidak akan mendapati massa sebanyak dan semurni gerakan 212 sebelumnya.   


Parade Bhineka Tunggal Ika yang di ikuti ribuan orang, gerakan yang disinyalir bentuk gerakan tandingan 212. Parade ini memberi pesan bahwa Indonesia tidak dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu bahkan kelompok mayoritas sekalipun. Namun, Parade Bhineka Tunggal Ika menunjukkan ada keresahan yang tersingkap, terlihat bahwa bangsa ini semakin lepas dari semangat berbeda-beda tetapi tetap satu.   


Gerakan dan gaya kampanyenya sekelompok umat Islam akhir-akhir ini, telah menakutkan bagi sebagian agama yang lain, karena bila melihat dari sejarah yang ditorehkan, agama Islam sangat diterima oleh sebuah komunitas masyarakat karena dakwah yang santun dengan menggunakan metode kearifan lokal, kesesuain Islam dan adanya unsur keterdekatan dengan budaya atau kultur yang melekat pada suku di daerah tertentu, karena ada sebagian budaya yang sangat bertentangan dengan syariat Islam sehingga sangat sulit Islam untuk diterima masyarakat lokal setempat. Namun, pendekatan dakwah para ulama terdahulu yang penuh kesantunan yang menyebabkan tidak adanya penolakan dan pergolakan terhadap Islam.   


Akibat metode dakwah dan gaya kampanye yang cenderung keras dan mengarah pada pengujian terhadap dasar negara inilah yang menyebabkan daerah-daerah yang mayoritas non muslim, kini tergerak untuk melakukan hal yang sama, menunjukkan keagresifan dalam menilai Islam.   


Islam Terejawantahkan Dalam Empat Dasar Pemersatu Bangsa Local Wisdom di Papua, Manado, Medan, sebagian Kalimantan, sebagian Ambon, Nusa Tenggara Timur, dan Bali, dan beberapa daerah lainnya, mayoritas menganut agama dan kepercayaan non muslim, ini menunjukkan bahwa Indonesia terbangun atas pondasi keberagaman yang disatukan oleh sebuah komitmen untuk bersama dalam perahu yang bernama Indonesia, untuk itulah kemudian perintis dan pendiri bangsa ini yang mayoritas berlatar belakang agama Islam tetap menyepakati, bahwa Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai empat pegangan kehidupan berbangsa dan bernegara.   


Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, itulah Indonesia. Jangan sampai penyebutan pulau-pulau tersebut menjadi terpotong-potong tidak sesuai dengan arah mata angin, cukuplah sudah Timor-timur terlepas dari genggaman bangsa ini, terlepas karena disinyalir ada permainan pihak asing dalam sengkarut referendumnya, namun bila saat itu rakyat Timor Timur merasa bagian dari bangsa Indonesia, maka tentu saja hasil dari referendum tersebut tetaplah menyatakan dirinya sebagai bagian dari Bangsa Indonesia.   


Adanya sebagian anak bangsa yang minoritas kemudian merasa termarjinalkan, sehingga tidak memiliki kebebasan berekspresi dan berkreasi, pembatasan terhadap ruang gerak jelas tampak ke permukaan, tidak berani lantang beragumentasi tentang pemimpin negeri pemilik paru-paru dunia ini, begitu juga sebaliknya, bila pandangan tersebut skalanya di per sempit ke suatu daerah yang muslimnya menjadi minoritas, bila fenomena yang sama dirasakan masyarakat muslim yang minoritas, maka negeri ini akan menuju kejurang perpecahan. 


Fenomena Umat Islam harus kafah menjalankan ajaran agamanya terus berkibar disetiap media yang bernuansa Islami, termasuk tempat ibadah umat Muslim, khutbah dan ceramah sangat lazim dijumpai yang memudahkan sesama Islam untuk saling menyatakan salah terhadap syariat dan fikihiyah yang dijalaninya, mudah menyatakan benar dan salah, mudah menjadi takfiri dengan vulgar menyatakan kafir kelompok tertentu, penghuni neraka dan ahlil surga terus di lantunkan melalui video yang tersebar di media sosial, dan “didominasinya” mesjid atau mushola oleh sekelompok orang yang memaksakan kehendak dengan fiqih yang diyakininya juga tampak di pelosok negeri. 


Sekarang sedikit demi sedikit hilang senandung sholawat sebelum sholat, dzikir di akhir sholat, sarung dan kopiah menjadi barang langka, qunut subuh menjadi sirna, silang pandang terhadap tradisi ziarah kubur, perayaan maulid Nabi serta tahlilan arwah menjadi semakin klimaks, apalagi silaturahmi di hari besar non muslim menjadi kegaduhan setiap bulan hari besar keagamaan. 


Padahal, sejak dahulu perbedaan penafsiran tentang kultur tersebut telah ada, namun tetap menjadi perbedaan pemikiran bukan perbedaan yang dibawa dalam realitas konflik sosial kemasyarakatan. Umat Islam harus menyadari bahwa empat pilar penyangga yang membuat kokohnya bangsa ini merupakan penjabaran nilai-nilai keislaman yang tertuang dalam semangat musyawarah mufakat dan kerjasama dalam gotong royong, konsensus suci yang harus di jadikan falsafah berkehidupan sebagai pondasi sebuah rumah besar yang bernama Republik Indonesia. 

Kompetisi Pemikiran dan Gagasan 

Indonesia telah terbelah menjadi #2019GantiPresiden yang klaim faksinya umat Islam fundamental, disertai munculnya kelompok dengan faham yang menginginkan Khilafah Islamiyah menjadi sebuah tujuan perjuangan, memang terlihat nisbi, namun menjadi hal yang patut diwaspadai oleh tokoh-tokoh di internal kubu Prabowo. Kelompok-kelompok Islam yang selama pemerintahan Jokowi merasa tertekan, pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyebabkan wajar kiranya menyeruak di blok ganti presiden, kelompok-kelompok yang dianggap radikal oleh pemerintah secara otomatis akan mengadakan perlawanan dan momentum yang tepat saat Pilpres 2019. 

#2019TetapJokowi yang faksinya Islam moderat dan liberal, non muslim serta isu haluan ekonomi, kerjasama politik dan pemahaman bernegara yang berhaluan ke China menjadi keengganan sebagian rakyat untuk memberikan dukungannya. Gambaran penguasaan asing yang dominan sangat mengkhawatirkan cara berpikir sebagian rakyat. Keterikatan untuk patuh dengan sosok Megawati Soekarno Putri dan PDIP adalah signal yang kuat meradiasi popularitas Jokowi, pemahaman untuk meninggalkan sosok petugas partai dan meleburkan diri secara total sebagai seorang Presiden rakyat Indonesia, karena sejatinya presiden adalah pelayan dan pelayan lebih bernilai dibandingkan petugas. Sejatinya partai politik dapat menghasilkan kader-kader partai yang memiliki pemikiran politik putih dan berjiwa patriotik, mengutamakan kepentingan negara dan bangsa jauh diatas segala macam kepentingan. 


Partai politik di lahirkan oleh pemikiran seorang tokoh yang kemudian menjadi sosok figur sentral, Soeharto menciptakan Golkar, Megawati Soekarno Putri membangun PDIP, Soesilo Bambang Yudhoyono mendesign Demokrat, Amien Rais mencetuskan PAN, Hilmi Aminuddin mendirikan PKS, Prabowo Subianto melahirkan Gerindra, Surya Paloh merangkai NasDem, Yusril Ihza Mahendra menggagas PBB, Hary Tanoesoedibyo membuat Perindo dan Hutomo Mandala Putra pemrakarsa Berkarya. 


Di Indonesia, terlepas dari Golkar yang telah menjadi partai modern, setelah keruntuhan rezim Soeharto, tokoh-tokoh utama partai politik tersebut, merupakan tokoh sentral yang menjadi ikon bagi eksistensi sebuah partai, namun berbanding terbalik untuk mengembangkan sebuah partai yang modern, para tuan partai tersebut kini telah mengalih fungsikan partai politik sebagai sebuah perusahaan bisnis yang saham terbesarnya harus mereka miliki agar perusahaan selalu berada dalam genggaman. 


Politik di Indonesia sejatinya diarahkan kepada kompetisi dalam hal pemikiran, adu gagasan, kecemerlangan solusi, inovasi dan kreasi. Kerinduan akan sebuah kontestasi yang melahirkan pemimpin berkualitas wahid. Pemimpin itu dilahirkan dan terlahir dari sebuah proses perjuangan, rekam jejak perjuangan jelas tergambar dalam diri seorang pemimpin, pemimpin tidak serta merta hadir karena sebuah kebetulan. Pemimpin tumbuh berkembang dari pergolakan dan tantangan yang menghasilkan kekuatan. 


Bangsa ini lupa bahwa memilih pemimpin itu bukan dari penampakan luar, jangan diukur dari gagah dan lunglai, gemuk dan kurus, muda dan tua, Jokowi jangan hanya dinilai dari “blusukan” karena akhirnya hanya dijadikan “bablasan”, Prabowo juga jangan dinilai dari keberanian karena latar belakang kemiliteran, keberanian yang arogan sangat berbahaya dalam memimpin sebuah negara. Presiden itu wajib memiliki kapasitas, kapabilitas, integritas dan kebijaksanaan dalam membuat sebuah keputusan. 


Jokowi dan Prabowo bukan manusia yang sempurna, saat ini sangat tampak jelas kekurangan Jokowi, karena Jokowi yang paling sering terlihat. kelak akan tampak juga kelemahan Prabowo, bilamana Prabowo sering terlihat. Peran ulama menjadi faktor utama untuk meluruskan sengkarut perpolitikan di tanah air. Ulama dapat menularkan pemahaman kepada para pemimpin dan rakyat, untuk selalu bersikap nasionalis tanpa meninggalkan kereligiusan, mengajak rakyat agar dapat memberikan kontribusi aktif dan nyata, dengan menutupi kelemahan pemimpinnya dan mempertajam kelebihan pemimpinnya. 


Ulama wajib menyampaikan dan mengamalkan “hubbul wathan minal iman”, cinta tanah air sebagian dari iman. Mencintailah sebagai sesama anak bangsa, karena ketika mencintai maka seribu keburukan akan sirna dan satu kebaikan akan selalu dikenang. Damailah Indonesia. 

Penulis: 

Muhammad Husni Fahruddin Al Ayub 

Koordinator Youth Institute