Samarinda - Tapera menjadi pembicaraan yang hangan di tengah-tengah masyarakat. Melalui PP Nomor 21 tahun 2024 pemerintah mengeluarkan peraturan baru yaitu penerapan Tapera yang selama ini hanya berlaku dikalangan PNS sekarang akan juga melebar kekalangan swasta termasuk di dalamnya buruh. Hal ini menuai reaksi penolakan terutama pada kalangan buruh, karena ini dianggap adalah peraturan yang tidak masuk akal. Said Iqbal menyoroti, hitungan iuran tabungan perumahan rakyat karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000. Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga 12,6 juta atau 25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” ujar Iqbal.
https://ekbis.sindonews.com/read/1385733/34/hitungan-3-gaji-buruh-buat-tapera-tak-masuk-akal-nabung-20-tahun-kekumpul-rp252-juta-1716966327?utm_medium=sosmed&utm_source=whatsapp
Reaksi lain juga diberikan oleh kalangan pengusaha, menolak adanya Tapera ini, para pengusaha menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan guna membantu pembiyaan pembelian rumah. Nining Elitos Koordinator Dewan Buruh Nasional KASBI mengatakan “Kita kini harus mendapatkan pemotongan upah melalui program tapera sedangkan masih jauh dari kata layak, ini adalah menambah beban kepada kaum buruh dan rakyat.”
https://infografis.sindonews.com/photo/29105/pengusaha-dan-buruh-menolak-pungutan-tabungan-perumahan-rakyat-1716940774
Pemerintah beralasan bahwa Tapera adalah solusi untuk menyediakan perumahan bagi rakyat. Namun pernyataan ini kontradiksi dengan keadaan pada rakyat saat ini, Pasalnya, beban hidup warga sudah begitu berat. Jika mengikuti perhitungan Bank Dunia, maka ada 40% atau 110 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin. Di sisi lain ada sepuluh juta penduduk generasi Z yang menganggur, tidak bersekolah, tidak ikut pelatihan, dan tidak punya pekerjaan. Pungutan Tapera akan semakin menambah bebab rakyat karena sebelum ada pungutan ini, sejumlah iuran seperti BPJS, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pajak dan potongan-potongan lain telah memotong penghasilan rakyat. Pungutan yang terkesan baik ini justru hanya menambah penderitaan rakyat.
Pungutan Tapera ini justru menujukkan bahwa negara abai dalam mengurus rakyat. Negara menunjukkan bahwa perannya hanyalah penyedia tanpa mempedulikan apakah rakyat mampu mengakses rumah yang layak atau tidak. Pembangunan KPR negara selalu mengandalkan pihak swasta yang pasti akan memberikan keuntungan cukup besar bagi para pengembang sehingga keputusan pungutan Taper aini diduga kuat merupakan regulasi pro korporasi karena dana yang terkumpul pada akhirnya akan diberikan kepada korporasi. Inilah buah dari system kapitalisme yang membuat negara menjadi pelayan korporasi bukan mejadi pelayan rakyatnya.
Dalam Islam, negara menjamin terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya, negara menjamin terpenuhinya kebutuhan asas (pokok) setiap warga termasuk sandang, pangan dan papan (rumah). Rumah adalah salah satu kebutuhan asas (pokok) selain sandang dan pangan pemenuhan Setiap kepala rumah tangga wajib menyediakan tempat tinggal bagi keluarga mereka sehingga negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah. Baik rumah pribadi atau rumah sementara (sewaan)
Bagi rakyat miskin ada yang belum mampu memiliki rumah, maka negara menjadi penjamin dalam pemenuhan kebutuhan pokok ini. Pembiayaan pembangunan perumahan rakyat miskin diambil dari Baitul Maal, pintu-pintu masuknya dan pengeluaran Baitul Maal sepenuhnya berdasarkan ketentuan syariat, artinya tidak dibenarkan mengunakan konsep anggaran berbasis kinerja apapun alasannya apalagi sampai mengkomersilkannya.
Wallahu’alam bissawab
Oleh : Muthmainnah (Pendidik)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru