Share ke media
Opini Publik

Tekan DBD dengan Wolbachia, Untuk Rakyat Jangan Coba-Coba

12 Dec 2023 10:53:11501 Dibaca
No Photo
Ilustrasi Gambar : detik.com - Tekan DBD, Denpasar Sosialisasi Teknologi Wolbachia di Desa-Kelurahan - 9 Mei 2023

Belakangan, nyamuk Wolbachia tengah hangat diperbincangkan. Lantaran nyamuk ini dapat menekan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD). Namun dibalik manfaatnya, keberadaan nyamuk ini juga menuai pro dan kontra. 

Kementerian Kesehatan akan menerapkan inovasi teknologi Wolbachia untuk menekan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Efektivitas teknologi Wolbachia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) dan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Terdapat lima kota besar yang akan diterapkan teknologi ini, antara lain Jakarta Barat (DKI Jakarta), Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Bontang (Kalimantan Timur), dan Kupang (NTT).

Bontang terpilih sebagai wilayah yang mewakili Kalimantan Timur untuk diterapkan teknologi Wolbachia karena tingginya angka kasus DBD di Bontang. Sejak awal tahun 2023, penderita DBD telah mencapai 399 orang. Bahkan Dinas Kesehatan (Dinkes) mencatat dari angka tersebut, ditemukan dua kasus yang berujung kematian. (Bontangpost.id, 28/11/2023)

Untuk menyukseskan program tersebut di atas, Dinkes Bontang telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum merilis program Wolbachia tersebut. Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bontang, drg. Toetoek Pribadi Ekowati. 

Drg. Toetoek menyampaikan bahwa pihaknya melakukan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat sehingga masyarakat siap dan mendukung ketika program dirilis.(Radarbontang.com, 17/11/2023)

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Dilansir dari laman kemenkopmk.go id, Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah bentuk demam berdarah yang dapat mengancam jiwa. Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

Negara beriklim tropis dan subtropis beresiko tinggi terhadap penularan virus tersebut. Hal ini dikaitkan dengan kenaikan temperatur yang tinggi dan perubahan musim hujan dan kemarau disinyalir menjadi faktor risiko penularan virus Dengue. 

Kasus DBD di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2021 sebanyak 73.518 kasus dengan angka kematian 705 orang. Tahun 2022 sebanyak 131.265 kasus dengan angka kematian 1.183 orang. Pada periode Januari – Juli 2023, sebanyak 42.690 orang terinfeksi DBD dan 317 orang meninggal. (Kemenkopmk.go.id, 29/08/2023)

Tentu pemerintah tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah dan mengobati penyakit DBD. Antara lain, fogging (pengasapan), menerapkan 3M Plus ( Menguras, Menutup, Mendaur ulang dan Mencegah perkembangbiakan), serta menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat.

Teknologi Wolbachia untuk DBD

Kini, teknologi nyamuk Wolbachia akan diterapkan untuk menanggulangi penyakit DBD. Kementerian Kesehatan telah menentukan lima kota yang akan disebar nyamuk tersebut, yang diatur melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai inovasi penanggulangan DBD. (detikHealth.com, 22/11/2023)

Tidak hanya di Indonesia, pemanfaatan teknologi Wolbachia juga telah dilaksanakan di negara lain (Brasil, Australia, Vietnam, Fiji, Vanuathu, Mexico, Kiribathi, New Caledonia, Sri Lanka). Hasilnya, terbukti efektif untuk pencegahan dengue.

Wolbachia dapat melumpuhkan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga virus dengue tidak akan menular pada tubuh manusia.

Jika Aedes aegypti jantan ber-Wolbachia kawin dengan Aedes aegypti betina maka virus dengue pada nyamuk betina akan terblok.

Sedangkan jika nyamuk betina yang ber-Wolbachia kawin dengan Aedes aegypti jantan tidak ber-Wolbachia maka semua telurnya akan mengandung Wolbachia.

Sebelumnya, uji coba penyebaran nyamuk ber-Wolbachia telah dilakukan di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada tahun 2022. Hasilnya, di lokasi yang telah disebar Wolbachia terbukti mampu menekan kasus demam berdarah hingga 77 persen dan menurunkan proporsi rawat inap sebesar 86 persen. (Kemenkes.go.id, 18/11/2023)

Pro dan Kontra

Diantara yang menolak program Wolbachia adalah mantan Menkes RI, Siti Fadilah Supari.

Menurutnya, penyebaran nyamuk Wolbachia ini membawa risiko bagi kesehatan masyarakat dan bisa menimbulkan penyakit baru yang berbahaya bagi kesehatan rakyat Indonesia.

Beliau pun menyampaikan bahwa program ini seperti menjadikan rakyat seperti kelinci percobaan. Karena belum tau risiko-risiko yang akan muncul dari penyebaran nyamuk ber-Wolbachia ini.

Kelola Kesehatan di Bawah Sistem Kapitalisme

Adanya teknologi baru dalam penanganan suatu penyakit, tentunya merupakan dampak dari kemajuan sains dan teknologi itu sendiri. Apalagi jika teknologi tersebut membawa dampak yang positif. Dalam hal ini, terkait teknologi nyamuk Wolbachia untuk menekan jumlah kasus DBD.

Terkait perkembangan sains dan teknologi maka yang paling memahami hal ini adalah para pakar atau ahli di bidangnya. Sehingga, sudah semestinya kita mendengar pendapat para ahli ini. Sehingga teknologi tersebut tidak terkesan uji coba, apalagi jika membahayakan jiwa.

Hanya saja, dalam sistem kapitalisme saat ini, hal yang wajar terjadi kekhawatiran juga ketakutan-ketakutan. Karena kendali tatanan dunia global termasuk kesehatan berada di bawah sistem kapitalisme.

Sistem ini berasaskan sekulerisme yakni pemisahan agama dari kehidupan. Artinya agama tidak boleh dipakai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Walhasil, aturan yang dipakai adalah aturan buatan manusia yang lemah dan memiliki banyak kepentingan.

Dalam sistem kapitalisme pun, hidup adalah untuk mencari sebesar-besarnya kenikmatan jasmani atau duniawi. Maka, manfaat dan keuntungan yang dicari serta menghalalkan segala cara adalah hal yang wajar.

Begitu pula dengan isu kesehatan saat ini. Juga merupakan bagian dari pengelolaan kesehatan ala kapitalisme. Kesehatan menjadi komoditas yang bisa dikomersilkan. Kesehatan adalah lahan bisnis yang menggiurkan. Semisal masa pandemi beberapa tahun lalu akibat virus Covid-19. Mulai dari tes antigen, PCR, vaksin 1, vaksin 2, juga booster, semua menjadi lahan bisnis bagi para kapitalis modal.

Maka wajar, dalam sistem kapitalisme, pelayanan kesehatan berbayar mahal. Dan, termasuk hal yang lumrah, adanya kekhawatiran atas program-program kesehatan yang menggunakan inovasi teknologi baru.

Islam dan Teknologi Kesehatan

Islam sebagai suatu sistem kehidupan memiliki seperangkat aturan yang komprehensif dan lengkap. Termasuk masalah kesehatan.

Dalam pandangan Islam, kesehatan adalah hal yang mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Maka negara hadir untuk menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan ini dengan pelayanan yang terbaik dan tidak diskriminatif. Bahkan pelayanan ini tanpa berbayar.

Rasulullah SAW pernah menjamin kesehatan rakyatnya dengan mengirimkan dokter kepada rakyat yang sakit tanpa memungut biaya dari rakyatnya sendiri.

Meski gratis, bukan berarti asal-asalan. Tetap diberikan dengan kualitas yang terbaik. Tidak hanya dari sisi SDM-nya juga sarana dan prasarananya. Karena negara adalah raain (penanggung jawab) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Tidak boleh mengalihkan tanggung jawab tersebut kepada swasta apalagi individu masing-masing.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri maupun bahaya bagi orang lain di dalam Islam.” (HR Ibnu Majah dan Ahmad). 

Hadits ini menunjukkan bahwa negara bertanggung jawab penuh menghilangkan bahaya yang dapat mengancam rakyat. Tidak boleh mempertaruhkan keselamatan jiwa rakyat dengan memberikan kesempatan pihak lain untuk mengambil keuntungan materi atasnya.

Perihal ini, Khilafah akan menyediakan dana dari baitul mal untuk membiayai kebutuhan rakyat dalam bidang kesehatan. Sektor kesehatan tidak menjadi lahan bancakan karena penguasa dalam sistem Islam paham bahwa setiap nyawa manusia begitu berarti di hadapan Allah Taala.

Maka, inovasi-inovasi terbaru dalam bidang kesehatan akan didukung oleh negara. Negara akan mendanai dan memfasilitasi serangkaian penelitian dan uji coba yang dilakukan oleh para pakar dan ahlinya demi menunjang pelayanan kesehatan yang maksimal oleh negara. Bukan untuk keuntungan materi sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme saat ini.

Sungguh, hal ini hanya bisa terwujud dalam sistem Islam. Maka, sudah seharusnya kita mewujudkan tatanan kehidupan kita dengan aturan-aturan Islam yang sempurna agar terjamin kesejahteraan masyarakat termasuk kesehatan di dalamnya.

Wallahu a’lam.

Oleh: Desy Arisanti, S.Si