Share ke media
Populer

TEROR, GAYA BARU PENCEGAHAN RADIKALISME

08 Feb 2019 08:00:59767 Dibaca
No Photo
Ilustrasi : Dakwatuna.com | Densusu 88

Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap ada 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terindikasi telah terpapar radikalisme.  Hal ini diungkap oleh Staf Khusus Kepala BIN Arief Tugiman, dalam diskusi Peran Ormas Islam dalam NKRI di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Jakarta, Sabtu (17/11).

Arief mengatakan terdapat tiga kategori tingkat paparan radikalisme dari 41 masjid tersebut. Pada kategori rendah ada tujuh masjid, 17 masjid masuk kategori sedang dan 17 masjid masuk kategori tinggi.  Selain itu, Arief menjelaskan secara keseluruhan dari hasil pendataan BIN, ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal.  Masjid-masjid di lingkup pemerintahan seperti kementerian, lembaga, dan BUMN, belum bebas dari paparan radikalisme. Dalam catatan Badan Intelijen Negara (BIN), dari 41 masjid yang terindikasi telah terpapar radikal, tersisa 17 lagi yang kondisinya masuk kategori parah. (CNN.com, 17/11/2018).

Penelitian yang menyebut adanya 41 masjid di lingkaran pemerintahan terpapar radikalisme, diungkap pertama kali oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyakarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan. Ketua Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Agus Muhammad menyatakan radikal rendah diartikan terkait isi khutbah yang terkandung sikap ragu-ragu jika ada yang bersikap negatif terhadap agama lain. Sedangkan radikal sedang, yakni setuju dengan sikap negatif atau intoleran terhadap umat agama lain. Sementara, radikal tinggi sudah memprovokasi umat untuk bertindak negatif terhadap umat agama lain (BBC.com, 19/11/2018).

Sejak temuan tersebut muncul, Kementerian Agama langsung menggelar pertemuan dengan takmir atau pimpinan masjid di BUMN untuk berkoordinasi. Juru Bicara Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan disepakati untuk menampilkan khatib yang lebih lebih moderat.  Selain itu, kementerian juga mendorong para khatib membaca buku panduan khotbah yang bisa diakses secara bebas yang berisi tentang cinta kebangsaan dan tanah air.  Beliau menyatakan, di BUMN sudah pro aktif menampilkan khotbah-khotbah yang lebih menyejukkan dan khotib yang terindikasi radikal sudah diganti.  “Selain itu, upaya kita yang lain adalah mengeluarkan 200 nama khatib yang sempat menimbulkan pro-kontra. Tapi itu sesungguhnya bagian dari antisipasi dan memberikan alternatif bahwa banyak da’i yang memiliki wawasan kebangsaan,” sambungnya (BBC.com, 19/11/2018).

Selain Mesjid, menurut Staf Khusus Kepala BIN Arief Tugiman riset mereka juga menemukan tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terindikasi terpapar radikalisme. Ada pula sebanyak 39 persen di 15 provinsi tertarik dengan paham radikal. Diantaranya di Provinsi Jawa Barat, Lampung, Kaliman Tengah dan Sulawesi Tengah. (CNN.com, 17/11/2018).

Kenapa pemerintah terlihat panik menunjukkan sikap khawatir terhadap ceramah-ceramah yang dilakukan oleh para khatib maupun penceramah lain di mesjid-mesjid?  Kenapa juga pemerintah begitu terlihat panic dengan keberadaan tujuh perguruan tinggi negeri yang katanya diindikasikan mereka terpapar paham radikal? Kenapa radikalisme hanya dimaksudkan di beberapa mesjid dan PTN? Apa yang ada dibalik propaganda radikalisme ini? Jika hal ini terus dilakukan pemerintah, apakah hal tersebut tidak menimbulkan teror di tengah-tengah umat, yang tentunya dengan gaya baru?

Mendudukkan Radikalisme Setelah jargon terorisme tidak laku, kini jargon baru digunakan untuk menyerang Islam: Radikalisme.  Sama seperti jargon sebelumnya, definisi dibuat multitafsir sehingga memungkinkan untuk menggebuk siapa saja baik yang masuk dalam desinisi tersebut maupun yang dianggap mengancam Negara-ala rezim berkuasa. Kata radikal berasal sari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar.  Dalam kamus, kata radikal memiliki arti : mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I, 2008).

Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh dan tajam.  Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial.

Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas. Maka radikal berdasarkan pengertian asalnya adalah sebuah kata yang bersifat ‘netral’, tidak condong kepada sesuatu yang bermakna positif atau negative.  Positif atau negatif tergantung dengan apa kata radikal itu dipasangkan. Contoh misalnya “Muslim Radikal”, maka artinya adalah seorang Muslim yang sangat memegang prinsip hidupnya sesuai dengan keyakinannya yakni agama Islam baik secara keyakinan, ucapan dan perbuatan semuanya dikembalikan kepada agama Islam sebagai bentuk prinsip hidupnya.

Dan memang sudah seharusnyalah begitu sikap seorang Muslim. Jangan sampai mengaku Muslim, namun dari segi ucapan dan perbuatan menunjukkan yang sebaliknya. Ibarat orang yang sedang shalat kiblatnya menghadap ke Ka’bah, namun dari ucapan dan perbuatan berkiblat kepada kehidupan Barat yang sekuler-kapitalistik. Dalam sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia, dikenal dua strategi politik organisasi kebangsaan dalam kaitannya untuk mewujudkan Indonesia merdeka yaitu strategi non-kooperatif (radikal) dan kooperatif (moderat). Strategi radikal artinya satu tindakan penentangan secara keras terhadap kebijakan pemerintah kolonial serta tidak mau kerja sama dengan pemerintah kolonial.

Kaum radikal berpendapat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka, haruslah dengan jerih payah anak bangsa sendiri dan bukan atas adanya sumber campur tangan dari bangsa asing (Belanda). Sebaliknya moderat artinya sebagai satu sikap lunak terhadap kebijakan pemerintah kolonial (Belanda) di Indonesia. Sayangnya, Istilah itu kini digunakan dengan pengertian yang tercabut dari maknyanya yang hakiki.  Istilah radikal selalu disandingkan dengan teroris, dan itu hanya dinisbatkan kepada kalangan muslim saja. Istilah rasdikal dan teroris kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan oleh musuh-musuh Islam kepada kelompok atau Negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat.  Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan Demokrasi), yang ingin memperjuangkan penerapan syariah Islam secaara Kaffah.

Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dr. Imran Mawardi MA, mengatakan, istilah radikalisme sengaja dibuat oleh Barat untuk menghancurkan umat Islam. Sebab, pasca keruntuhan Komunisme, satu-satunya ideologi yang menjadi ancaman paling menakutkan bagi dunia Barat adalah Islam. Islam Melarang Tindakan Teror dan Memata-matai Atas nama mencegah radikalisme, apa yang dilakukan pemerintah adalah melakukan pengawasan terhadap berbagai aktifitas warga Negara.  Membreidel situs-situs berbau keislaman, mengawasi dan mengatur penceramah, bahkan mengawasi aktivitas mahasiswa disertai pembekuan beberapa lembaga mahasiswa yang dianggap radikal.  Aktivitas ini dapat dianggap tindakan terror terhadap warga Negara, khususnya umat Islam. Ajaran Islam sendiri melarang tidakan teror. Bukti dalil yang menyatakan bahwa islam tidak setuju dengan tindakan teror (al irhab) adalah firman Allah SWT:  “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS. Al Maidah: 32).

Meneror atau menakut-nakuti orang lain itu termasuk berbuat dosa. Pernah di antara sahabat Nabi SAW berjalan bersama beliau, lalu ada seseorang di antara mereka yang tertidur dan sebagian mereka menuju tali yang dimiliki orang tersebut dan mengambilnya. lalu orang yang punya tali tersebut khawatir (takut). Lantas Rasulullah SAW bersabda:   “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Daud No. 5004 dan Ahmad 5: 36, Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Disamping teror, Islam pun melarang tindakan memata-matai warga negara.  Dari Ibnu Abbas r.a dia berkata: Nabi SAW bersabda: “ Tidak ada seorangpun yang menguasai suatu wilayah, kecuali dihadapankannya padanya keselamatan. Apabila dia menerimanya, maka akan dibukakan perkara yang dia tidak sanggup menanggungnya”.  Perawi dari Ibnu Abbas bertanya kepada Ibnu Abbas: “ Apa maksud menjahui keselamatan?” Ibnu Abbas menjawab: “mencari-cari kesalahan dan aib” (Disebutkan dalam Majmu’uz Zawaid. Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani).

Riwayat ini jika benar-benar menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap kebebasan pribadi umat Islam. Kebebasan ini apabila dilanggar akan menjadi kerusakan yang besar dalam masyarakat. Apabila penguasa mencari-cari kecurigaan atau berpasangka yang bukan-bukan dan meragukan kepercayaan rakyat, mengawasi setiap gerak-gerik mereka, maka hal itu akan merusak mereka dan menimbulkan permusuhan mereka terhadap dirinya dan orang lain.

Dengan propaganda tersebut, radikal dikonotasikan ketika seseorang memperjuangkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Maka, jelaslah isu radikalisme yang sekarang digalakkan kepada kaum Muslim sesungguhnya adalah propaganda melawan Islam. Jika propaganda tersebut berhasil, sungguh itu musibah besar. Bagaimana bisa justru menentang dan memusuhi agamanya sendiri hanya gara-gara menolak disebut radikal. Jadi, narasi radikal hanya propaganda mereka saja. Wallahu a’lam bishawab. (dir/dr)

Oleh: Erna Rusliana M. Saleh - Pemerhati Masalah Umat