Share ke media
Populer

Tidak Seharusnya Kaltim Peringkat 6 dalam Kemiskinan

08 Feb 2019 08:00:341055 Dibaca
No Photo
Ilustrasi - ANTARA/Aprillio Akbar | Bisnis.com

Tiga orang miskin dan terlantar di Samarinda, Kaltim meninggal di hari yang sama Jumat(18/1). Ketiga jenazah dimakamkan bersamaan malam hari itu juga oleh para relawan. Kisah ketiga warga itu sangat memprihatinkan. Dua gelandangan sudah tua kurus yang biasa tidur di emperan toko beralas kardus dan satu bayi prematur yang lahir sendiri di rumah karena tidak ada biaya bersalin. Demikianlah salah satu potret kemiskinan di Samarinda, tiga warga terlantar hingga meninggal dunia (merdeka.com, 20/1/2019).

Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim mencatat, jumlah penduduk miskin di Kaltim terhitung September 2018 sebanyak 222,39 ribu (6,06 persen). Jumlah itu meningkat dibandingkan Maret 2018 sebanyak 218,90 ribu (6,03 persen). Artinya jumlah penduduk miskin secara absolut bertambah 3,49 ribu orang (naik 0,03 persen). Kepala BPS Kaltim Atqo Mardiyanto menjelaskan, Kaltim berada pada urutan ke-6 terendah secara Nasional. “Yang paling tinggi Papua, dan terendah DKI Jakarta,” ujarnya.

Selama Maret 2018 - September 2018, garis kemiskinan (GK) naik sebesar 4,09 persen, yaitu dari Rp 574.704 per kapita perbulan pada Maret 2018 menjadi Rp 598.200 perkapita perbulan pada September 2018 (korankaltim.com,16/1/2019).

Tidak seharusnya Kaltim berada diperingkat 6 dalam kemiskinan. Padahal, Kaltim memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang besar. Seperti tambang batu bara, migas, hasil hutan, perikanan, hasil laut, pertanian, perkebunan, termasuk pariwisata. Memang banyak PR bagi pemerintah Kaltim, yakni tidak terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, mulai dari listrik, air bersih, termasuk infrastruktur khususnya jalan dan jembatan terutama di pedalaman dan daerah perbatasan.

Salah satunya, kabupaten Kutai Kartanegara di Kaltim mencatat ada 26 desa yang masih krisis listrik di sana. 26 desa ini agak jauh dari jalur transmisi listrik, untuk menarik distribusinya terlalu jauh. Diantaranya desa Menamang Kanan, kec. Muara Kaman, Kukar. Desa ini merupakan wilayah perbatasan Kukar dan Kutim.                              (tribunkaltim.com.Tenggarong,14/1/2019).

Mengapa masalah kemiskinan ini terjadi dan terus bertambah di Kaltim? Tidak seharusnya Kaltim ada dalam deretan peringkat kemiskinan. Kaltim kaya. Oleh karena itu, ke depan Kaltim harus menepis dan membuang peringkat 6 dalam kemiskinan. Harus ada upaya pemerintah dalam mengatasi berbagai hal tentang kebutuhan masyarakat, sehingga tidak ada lagi yang mengeluh dan menderita kemiskinan.

Tidak dapat dipungkiri terjadinya kemiskinan di Indonesia, khususnya Kaltim karena kuatnya cengkraman kaum kapitalis. Kapitalisme menjadikan orang-orang kaya mendominasi negara, menjadikan kekuasaan ada dalam genggamannya sehingga penguasa lebih berpihak kepada mereka dengan kebijakan dan regulasi.

Bahkan, penguasa sendiri mengundang investor asing untuk mengelola SDA, hasil laut, pariwisata, dan produksi pangan. Padahal, kalau dikelola sendiri dengan aturan yang berpihak kepada rakyat tentu itu lebih baik.

Selain memberdayakan pekerja lokal yang mana mereka butuh pekerjaan juga pertimbangan mereka lebih memperhatikan keasrian, kehalalan, dan kemaslahatan. Kemiskinan khususnya di Kaltim kalau dilihat dari klasifikasi penyebabnya, maka penyebab kemiskinan adalah Agensi, yakni kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain seperti pengusaha/para pemilik modal.

Pengusaha mengendalikan kebijakan penguasa sehingga tidak berpihak kepada masyarakat. Sedangkan kemiskinan kalau dilihat dari penyebab pembagiannya, maka kemiskinan terjadi karena struktural. Yakni ketidakmampuan sistem dalam menyediakan kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja. Dengan melihat kondisi ini, hendaknya ada upaya dari pemerintah dan masyarakat untuk mengubah sudut pandang bahwa jangan sampai urusan kekayaan dalam negeri dikelola oleh asing atau pemilik modal. Mandiri, tanpa ketergantungan asing itu hal yang pokok.

Jangan sampai pemerintah melepas tanggung jawab yang memang sudah kewajibannya, sehingga urusan pelayanan kepada masyarakat diserahkan kepada pihak lain dan berubah menjadi bisnis. Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan sepertinya masih dalam tataran permukaan, belum mendasar. Selain itu, kebijakan satu dengan yang lain justru bertentangan. Misalnya kebijakan impor padahal produk pangan melimpah. Kebijakan masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA), padahal banyak pengangguran yang membutuhkan pekerjaan.

Dalam hal mengentaskan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sebenarnya bisa dilihat dari dasar perekonomiannya. Kapitalisme, pemegang ekonomi berada ditangan para pemilik modal. Setiap orang bebas menempuh cara apa saja. Tidak dikenal sebab dan jenis kepemilikan, jumlahnya pun bebas dimiliki tanpa batasan. Sehingga penyelesaian kemiskinan dalam sistem ini mewujudkan kemakmuran/ kesejahteraan individu secara perkiraan (rata-rata). Sama halnya dalam sistem BPS, mengukur kemiskinan dengan konsep memenuhi kebutuhan dasar. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar tersebut, bukan dari pengeluaran. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan (BPS).

Berbeda dengan Islam, dasar perekonomiannya adalah akidah Islam. Setiap orang bebas menjalankan aktivitas ekonomi dengan membatasi sebab dan jenis kepemilikan. Artinya, ada pembagian kepemilikan negara yang tidak boleh dikuasai/ dimiliki oleh individu, swasta atau asing misalnya Sumber Daya Alam (SDA). Penyelesaian kemiskinan dengan mewujudkan kesejahteraan individu secara real. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Jika terjadi kesenjangan maka negara harus memecahkannya dengan cara mewujudkan keseimbangan dalam masyarakat. Caranya dengan memberikan harta negara kepada orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Negara memberikan harta baik yang bergerak atau tidak, pemberiannya pun bukan sekedar memenuhi kebutuhan bersifat temporal. Apabila negara tidak mampu, maka negara tidak boleh memungut harta dari hak milik rakyat. Demikianlah perbedaan dalam dasar perekonomian menentukan arah kebijakan dan keberpihakan serta solusi yang ditawarkan. Pemimpin ideal tentu pemimpin yang bisa memilih mau dibawa ke sistem mana negeri ini. Wallahu’alam… (*red/dr)

Oleh: Rahmi Surainah, M.Pd warga Kutai Barat, Kaltim