SAMARINDA. Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Samarinda meminta Ketua Pengadilan Negeri (PN) Samarinda Hongkun Otoh membuktikan pernyataan yang menyebut aksi demo Permahi disponsori.
Demikian disampaikan Ketua Koordinator Advokasi Bidang Lingkungan Hidup DPN Permahi Abdul Rahim pada Konferensi Pers di dampingi rekan mahasiswa lain, Dedi Dores dan Wahyudi, Kamis (28/11/2019).
Menurut Rahim pernyataan tersebut mencedarai gerakan mahasiswa dengan membangun opini menyesatkan.
“Ini penghinaan terhadap kami (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia),” kata Rahim.
Rahim menjelaskan aksi yang dilakukan pihaknya pada Selasa 26 November 2019 di depan Kantor Pengadilan Negeri Samarinda adalah murni gerakan mahasiswa tanpa tunggangan seperti yang di sampaikan Hongkun.
Menurut Rahim gerakan Permahi sebagai sistem of balance di penegakan hukum khususnya di Kota Samarinda serta sosial of control terhadap masyarakat yang mana di kriminalisasi tanpa tahu perbuatan salahnya dimana namun harus masuk bui.
Aksi tersebut, kata Rahim lahir dari keprihatian terhadap penegakan hukum yang semena-mena kepada warga sipil yang bernama Achmad AR AMJ.
Menurut Rahim, Achmad menjadi korban kriminalisasi oleh oknum penegak hukum di Kota Tepian.
“Kami turun ke jalanan karena melihat ada masyarakat kecil yang harus di perjuangkan hak-haknya sebagai warga negara tanpa pengecualian dan kami melihat ada prosedur hukum acara yang sengaja di hilangkan dalam proses hukum Achmad di Pengadilan Negeri Samarinda,” tegas Rahim.
Karena hal tersebut lembaga Permahi menyurati kepada Ketua PN dua kali agar memperhatikan bawahannya untuk patuh menjalankan tugasnya sesuai perintah UU Nomor 48 tahun 2009 pasal 5 ayat 1, namun saat di konfirmasi surat tersebut justru ditanggapi di persidangan dengan cara-cara yang merusak nama baik Permahi.
“Bahkan kami merasa aneh dan bingung pada saat persidangan masih berjalan majelis hakim yang memimpin persidangan perkara Nomor : 742/Pid.B/2019/PN.Smr,” jelas Rahim.
Rahim menjelaskan, saat sidang majelis yang bernama Yoes yang memimpin sempat mengatakan kepada terdakwa sekarang sudah pintar tidak seperti dulu
di dalam perkara 134/Pid.B/2019/PN Smr dengan tuduhan pemalsuan KTP sambil memengang surat dari Permahi dan mengatakan tidak akan tanggapi, dan menyebut intervensi.
“Saat itu persidangan sedang full di saksikan oleh mahasiswa dan pengujung persidangan pada umumnya hadir dalam persidangan jadi langsung saya respon bahwa surat itu dari permahi itu berisikan agar hakim untuk mengali, menguji dan memahami norma hukum di masyarakat amanat undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat 1,” terang Rahim.
Rahim menyayangkan peristiwa tersebut tidak seharusnya terjadi. Justru kata dia memperlihatkan ketidakmampuan dalam menjalankan tugas secara profesional sesuai amanat Undang-Undang melainkan kesemena-menaan yang mengabaikan hukum acara yang telah diatur dalam Undang-Undang.
“Justru menunjukan indikasi pembiaran dan tidak bertanggungjawabnya untuk menegakan keadilan sesuai amanat Undang-Undang, tetapi justru bertingkah arogansi kekuasaan yang membangun opini jahat untuk mendiskriditkan Permahi dimuka umum dalam persidangan terbuka Achmad,” jelas Rahim.
Lebih lanjut, Rahim menjelaskan semua pasang mata yang menyaksikan persidangan Achmad, bahwa alat bukti yang diserahkan terdakwa dianggap nota pembelaan ini jelas mengebiri hak Achmad secara brutal dan tidak beradab.
Bahkan, lanjut dia alat bukti terdakwa tidak di periksa sama sekali dan di kesampingkan dengan alasan yang memutar balikan fakta alat bukti disebut nota pembelaan, maka dari itu Permahi terpangil atas dasar keprihatinan akan kesewenang-wenangan hakim yang mengadili perkara Achmad.
Atas peristiwa tersebut, lanjut Rahim oknum-oknum hakim yang mengadili Achmad sehingga menimbulkan reaksi demo di PN dan DPRD oleh Permahi.
“Jadi tidak pula para hakim ini intropeksi diri tetapi justru malah menuding Permahi yang bukan-bukan dari ucapan Hongkun Otoh selaku Ketua PN Samarinda, dimana semakin berlebihan dengan menuding permahi aksinya disponsori,” kata dia.
“Hal ini semakin membuat kami geram sehingga menantang Ketua PN Hongkun Otoh agar segera membuktikan ucapannya yang dia sebarkan di media-media masa agar dapat dia pertanggungjawabkan, dan kami siap untuk membuktikan pula semua ucapan kami bahwa telah terjadi kesewenang-wenangan terhadap hak Achmad dalam persidangan dan kriminalisasi terhadap diri Achmad yang berpendidikan SMP tidak tamat secara zolim,” tutup Rahim.
Sebelumnya, Hongkun yang menanggapi aksi Permahi mengatakan kriminalisasi yang disampaikan mahasiswa belum bisa dibuktikan.
Karena, menurutnya, setiap perkara dimulai dari proses penyelidikan di polisi kemudian dilimpahkan ke kejaksaan lalu disidangkan di PN Samarinda.
“Majelis hakim lalu memeriksa fakta dan terbukti (dalam kasus Achmad ini). Kami bukan jalur komando. Silahkan saja majelis periksa, ketika para pihak keberatan silahkan tempu jalur hukum (banding),” jelas Hongkun.
Hongkun mengaku heran jika yang disoal perkara namun merembet ke dirinya secara personal dan meminta mundur.
“Saya nggak masalah. Nggak usah suruh turun, kalau saya salah saya mundur. Kalau saya nggak salah, jangan coba,” tegas Hongkun.
“Nggak ada urusan sama saya kok. Kami bukan jalur komando. Ketika saya tunjuk majelis periksa perkara ya sampai putus. Ketika para pihak tidak terima silahkan ambil jalur hukum,” tambah Hongkun.
“Permahi kalau dilihat sepintas seperti advokat begitu. Advokat saja tidak berbuat begitu kok. Advokat jelas identitasnya. Ini bertindak seperti penasihat hukum bayangan. Saya tidak tahu. Mereka sadar atau nggak kalau melihat kata-kata dari dua surat yang saya terima dari polisi, seperti ada kesan sponsor,” tutup Hongkun.
(Arm/*)
Masukkan alamat email untuk mendapatkan informasi terbaru